Hand Over Customary Area Knasaimos in Southwest Papua. © Jurnasyanto Sukarno / Greenpeace
Papuan Indigenous People during a ceremony in Teminabuan, South Sorong, Southwest Papua. Indigenous Tehit-Knasaimos people have title over their traditional land recognized by Indonesian law. The decree is issued by the South Sorong Regency of Southwest Papua Province on 6 June 2024. © Jurnasyanto Sukarno / Greenpeace

Libur semester pada awal Agustus 2007 menjadi momen saya pertama kali menapaki tanah adat suku Tehit-Knasaimos di Kampung Mlaswat, Distrik Saifi, Sorong Selatan. Saat itu, saya masih berstatus mahasiswa di Universitas Papua Manokwari, sekaligus relawan Greenpeace Indonesia.

Saya menginjakkan kaki di tanah suku Tehit-Knasaimos lantaran ajakan Belantara Papua. Ini lembaga masyarakat sipil yang menjadi rekan Greenpeace dalam awal kerja-kerja pendampingan dan advokasi masyarakat adat di Sorong Selatan. 

Tanpa berpikir panjang, saya langsung mengiyakan. Kapan lagi saya bisa menjelajah ke wilayah Sorong Selatan? Kelak jika selesai kuliah dan bekerja, belum tentu saya bisa mendapatkan kesempatan itu. 

Saya ingat betul bagaimana kondisi jalan dari Kota Sorong menuju Sorong Selatan kala itu. Sebagian besar permukaan jalan masih berupa tanah liat dan berbatu, sehingga untuk melewatinya harus dengan kendaraan dengan dua poros roda (double gardan). 

Ada sejumlah kegiatan di Kampung Mlaswat, yang ujungnya ialah sebuah deklarasi menolak investasi sawit yang saat itu gencar-gencarnya melobi agar bisa beroperasi di wilayah adat Tehit-Knasaimos. 

Sejak saat itu, saya melihat kegigihan warga Knasaimos berjuang mempertahankan wilayah adat mereka dari berbagai ancaman, hingga hari ini. Para orang tua bercerita tentang kasus pembalakan ilegal yang bahkan menyeret beberapa dari mereka untuk berurusan dengan hukum. Sebab, menurut cerita yang saya dengar, sebagian orang terpedaya oleh cukong kayu hingga menebang ribuan pohon kayu merbau.

Masyarakat adat juga harus beradu argumen dengan pemerintah yang hendak menjadikan wilayah adat mereka salah satu tujuan transmigran. Bukan cuma khawatir akan terpinggirkan, mereka juga waswas program transmigrasi tersebut malah memicu kerusakan hutan. Dalam cerita perlawanan itu, ada kisah masyarakat adat ‘memarahi’ bupati karena memberikan izin untuk perusahaan sawit.

Kunjungan saya ke tanah orang Knasaimos saat itu ternyata bukanlah perjalanan pertama dan terakhir. 

Saya berkesempatan kembali ke sana lagi tahun 2011. Bukan lagi sebagai relawan, tapi pekerja kontrak di Greenpeace Indonesia. Saya bertugas membersamai masyarakat untuk mengelola hutan hingga memetakan wilayah adat mereka. 

Sejak saat itu, Sorong Selatan bak menjadi rumah kedua saya. 

Documentation of Tehit Tribe in Papua. © Jurnasyanto Sukarno / Greenpeace
Greenpeace Indonesia Forest campaigner Amos Sumbung poses at the native house of the Indigenous People of Tehit tribe in Sira village, Knasaimos landscape, South Sorong Regency, Southwest Papua. The Papuan community is fighting to protect their customary forests against the logging industry for the future generations. The forest was inherited from their ancestors and the only source of their livelihood. © Jurnasyanto Sukarno / Greenpeace

Kerja-kerja di Sorong Selatan meliputi upaya mencari solusi pengelolaan hutan yang berkelanjutan, hingga mendorong pemerintah daerah agar mengakui keberadaan masyarakat Knasaimos secara hukum. Pengakuan ini penting, agar hak-hak mereka dilindungi pula oleh negara.

Buah Manis Perjuangan Knasaimos

Hampir 17 tahun kemudian, sehari setelah Hari Lingkungan Hidup Sedunia, perjuangan masyarakat adat Knasaimos berbuah manis. Pada 6 Juni 2024, masyarakat adat Knasaimos mendapat pengakuan atas wilayah adat mereka melalui surat keputusan Bupati Sorong Selatan. Pengakuan ini mencakup wilayah seluas 97 ribu hektare yang membentang di dua distrik, yakni Distrik Saifi dan Seremuk. Luas wilayah ini melebihi luas Provinsi DKI Jakarta. 

Dengan SK ini seharusnya tidak ada lagi izin-izin pengelolaan kawasan, pemanfaatan hutan, dan izin lain dalam wilayah adat Knasaimos tanpa sepengetahuan bahkan seizin masyarakat adat Knasaimos.

Hand Over Customary Area Knasaimos in Southwest Papua. © Jurnasyanto Sukarno / Greenpeace
South Sorong Regional Secretary Dance Nauw (center) walks as he is welcomed with a traditional dance from the community during a ceremony in Teminabuan, South Sorong, Southwest Papua. © Jurnasyanto Sukarno / Greenpeace

Keberhasilan masyarakat Knasaimos yang berada di dua wilayah distrik ini tentu saja merupakan buah dari kesabaran dan kerja keras para warga. Beberapa yang semangatnya tidak pernah redup dalam berjuang adalah pengurus DPMA Knasaimos: Bapak Fredrik Sagisolo, Bapak Simson Sremere,  Bapak Arkilaus Kladit, Bapak Yoel Sremere, Bapak Soleman Woloin, serta banyak lagi orang-orang yang  pertama kali saya jumpai di awal menginjakkan kaki di tanah Knasaimos.

Beberapa orang lainnya bahkan sudah berpulang ke Sang Pencipta, seperti Bapak Hosea Kladit, Bapak Aser Kladit, Bapak Guru Yulius Momot, dan beberapa lagi. Mereka adalah sosok yang selalu ada dan sigap dalam kegiatan apa pun demi penyelamatan wilayah adat Knasaimos.

Knasaimos adalah satu dari beberapa wilayah adat di Papua yang kini mendapatkan pengakuan dari pemerintah setempat. Meski demikian, masih banyak masyarakat adat di Tanah Papua dan bahkan Tanah Air, yang harus berjibaku mempertahankan wilayah adat mereka. Ada juga yang tanah dan hutan adatnya terampas karena pemerintah melego izin-izin untuk korporasi. 

Keberadaan masyarakat adat pun belum mendapat tempat yang layak dalam negara kita. Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat, yang sudah diusulkan sejak 2009, tak kunjung dibahas dan disahkan. Lantaran pemerintah absen, pelindungan masyarakat adat kini bertumpu pada political will pemerintah lokal, seperti yang terjadi di Knasaimos ini.

Semoga saja perjuangan masyarakat adat Knasaimos menyentil pemerintah yang selama ini absen melindungi hak-hak masyarakat adat. Semoga akan banyak lagi wilayah adat yang diakui serta dilindungi keberadaannya oleh negara. 

Yang terpenting, semoga masyarakat adat bisa mengelola potensi dari wilayah adat mereka berdasarkan kearifan lokal, yang sudah terbukti mampu menjaga kelestarian alam Papua.

Sago Processing in Sira Village. © Jurnasyanto Sukarno / Greenpeace
Papuan Indigenous Woman of Tehit tribe Alfonsina Kladit processes the sago in Sira village, Knasaimos area, South Sorong Regency, Southwest Papua. The Papuan community is fighting to protect their customary forests against the logging industry for the future generations. The forest was inherited from their ancestors and the only source of their livelihood. © Jurnasyanto Sukarno / Greenpeace

Amos Sumbung, Juru Kampanye Hutan Papua Greenpeace Indonesia