Sore itu saya duduk di aula bersama puluhan santriwan dan santriwati di pondok pesantren Darul Afkar, Ujung Kulon, Banten. Sesi kali ini adalah sesi quiz, para santri harus menjawab pertanyaan yang diajukan oleh para pengajar kelas, kemudian mereka yang menjawab dengan benar diperbolehkan mengambil baju layak pakai yang sengaja sudah kami declutter.

Pesantren Darul Afkar adalah pesantren binaan PPI Unas yang memiliki program eco-pesantren. Bekerja sama dengan Greenpeace, melalui aliansi Ummah for Earth, di pesantren ini akan dipasang 10 buah panel surya, yang diperkirakan sanggup digunakan untuk penerangan seluruhnya di lingkungan pesantren. Darul Afkar menaungi setidaknya 80 siswa yang mondok disini. Usia mereka rata-rata 11- 15 tahun. 

Sebelum pemasangan, para santri dibekali dengan sejumlah materi pengayaan seperti penjelasan energi kotor dan energi bersih, bagaimana proses terciptanya energi, listrik dari matahari yang ramah lingkungan, serta bagaimana cara kerja panel surya. Selain kelas energi, para santri juga diberikan pemahaman tentang sampah. Mereka diajarkan jenis-jenis sampah, pemilahan sampah, hingga bagaimana membuat kreasi dari sampah plastik sekali pakai.

Seperti Rodi misalnya yang tertarik mengikuti kelas energi. Ia mengatakan sangat tertarik mengikuti kelas ini karena bersangkutan dengan teknologi yang belum pernah ia ketahui sebelumnya. Rodi bilang, listrik dari matahari ini energi bersih, beda dengan listrik yang selama ini kita gunakan dari PLTU batubara, itu kotor, ujarnya, di sela-sela kelas saat bercakap-cakap dengan saya.

Lain lagi dengan Rifa, santriwati ini justru memilih mengikuti kelas sampah. Menurutnya, pengelolaan sampah di pesantrennya masih sangat kurang. Rifa mengatakan belajar sampah ternyata menyenangkan dan berkesan, saya jadi mengerti sampah organik atau sampah sisa makanan, terlebih lagi jadi paham kalau sampah anorganik ternyata bisa diolah lagi jadi barang berguna. 

Antusiasme para santri mengikuti pelatihan ini mendorong saya untuk mempunyai harapan. Kondisi bumi yang tidak baik -baik saja, akibat krisis iklim, masih bisa kita pulihkan keadaannya. Namun, dengan catatan gerakan-gerakan aksi iklim seperti ini harus diamplifikasi di tempat lain, diperbanyak, dipercepat, dan didukung dengan regulasi tentunya. Apalagi jika aksi iklim serupa diinisiasi oleh kelompok-kelompok muda seperti pelajar, dan gerakan pemuda Muslim. Sebab, di tangan merekalah masa depan bumi ini kelak akan diemban.

Menjelang perhelatan COP 28 di Dubai, komitmen para pemimpin di dunia kembali dipertanyakan. Pasalnya, komitmen-komitmen tersebut akan kembali dievaluasi pada ajang ini, menyusul laporan IPCC sebelumnya yang memberi mandat negara-negara harus memangkas emisi global sebanyak 50% hingga 2030. Hanya tersisa enam tahun lagi. Tidak banyak waktu, dan kita terus berkejaran dengan krisis iklim yang semakin laju. 

Aliansi Ummah for Earth, bersama dengan beragam pelaku dan komunitas agama, akan banyak hadir dan dipresentasikan di Faith Paviliun. Semua acara yang diselenggarakan di paviliun ini bertujuan untuk menegaskan kembali pentingnya suara Muslim dan antaragama karena suara tersebut berasal dari komunitas yang paling terkena dampak iklim. Suara-suara Muslim khususnya harus dilibatkan secara luas dalam gerakan iklim dengan memanfaatkan pengalaman dan solusi iklim mereka, karena mereka juga memperjuangkan keadilan iklim dan memahami tanggung jawab bersama untuk mengatasi dampak perubahan iklim.

Harapan dari acara ini adalah mengambil langkah-langkah nyata untuk mewujudkan komitmen-komitmen yang telah dibuat. Faktanya, negara-negara berpenduduk Muslim banyak terdapat di belahan bumi Selatan, yang masuk sebagai kelompok rentan akibat krisis iklim. Kesepakatan global COP 28 hendaknya harus menerapkan proses yang adil untuk dana kerugian dan kerusakan, memastikan bahwa para pencemar membayar kontribusi mereka terhadap krisis lingkungan yang terjadi, dan juga melindungi kelompok yang paling rentan.