Asap mengepul di atap dapur rumah Hermina Ugha pada 2 Oktober 2023 siang. Dari jarak sekitar sepuluh meter terdengar bunyi dengan nada yang teratur. Di dalam dapur berukuran tiga kali empat meter, perempuan 46 tahun itu terlihat sedang memarut kelapa. Sesekali kegiatan itu terhenti saat tangan Hermina membetulkan posisi kayu bakar pada tungku api di dekatnya. “Di dalam periuk ini ada kacang hitam. Kacang direbus supaya lembek,” katanya sembari membuka tutup periuk berdiameter 24 sentimeter yang terletak di atas tungku.

Di salah satu sisi dapur tersebut ada sebuah meja kayu. Di atasnya berjajar beberapa wadah kecil berisi beras sekitar ⅓ liter, ubi talas yang sudah diiris, dan daun pepaya yang juga sudah dipotong-potong. “Kalau kacang [yang direbus] sudah lembek, baru dicampur dengan beras, ubi talas, daun pepaya, dan santan kelapa. Setelah itu, direbus lagi hingga semuanya matang, baru disajikan,” jelas warga Dusun Lokawolo, Desa Woloede, Kecamatan Mauponggo, Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur itu. Masyarakat setempat menamai makanan lokal mirip kolak itu ae yame.

Desa Woloede yang terletak di kaki Ebulobo, gunung vulkanik di Nagekeo, memang terkenal subur. Komoditas pertanian seperti cengkih dan pala tampak hijau dan rimbun. Namun, topografinya yang perbukitan menyulitkan petani membikin sawah untuk sumber beras. 

Setelah menunggu sekitar 45 menit, ae yame siap disajikan. Hermina mencedok dan memindahkannya ke sebuah wadah yang lazim digunakan untuk menyimpan sayur. Setelah semua anggota keluarganya berkumpul, mereka pun santap siang bersama. “Setelah makan ini, kita tidak makan nasi lagi karena sudah kenyang,” ujar Hermina.

Hermina mengatakan ia dan ibu-ibu lain di kampungnya mulai rutin membikin ae yame sejak dua bulan terakhir. “Sebelumnya kami selalu rebus pisang untuk menghemat beras,” katanya merujuk kepada pisang kepok, jenis pisang yang paling banyak dibudidaya oleh warga di desanya. Sekarang, katanya, “pisang sudah terserang penyakit langka.”

Harga Beras Naik, sedang Pisang Tinggal Kenangan

Hermina terdiam ketika ditanya tentang kondisi pisang kepok yang ia sebut ‘terserang penyakit langka’ itu. Ia menarik napas panjang. “Sekarang pisang tinggal kenangan,” katanya lirih. “Saya tidak tahu, kami mau makan apa ke depan kalau harga beras terus naik. Tidak mungkin kami bikin ae yame terus karena prosesnya rumit dan lama.”

Saat ini, kata Hermina, satu kilogram beras dihargai Rp15 ribu dari sebelumnya Rp13 ribu. Ini menambah deretan derita warga desa yang mayoritas petani itu. “Cengkih sudah empat tahun tidak berbuah, pisang kena penyakit. Kehidupan kami makin sulit ke depannya,” ujar Hermina. Hermina berkata penyakit mulai menyerang pisang-pisang di kebunnya sejak akhir Juli 2023. “Awalnya hanya satu pohon. Lama-lama, semua pohon pisang kena penyakit itu,” ujarnya. 

Sesuai pengamatannya, kata Hermina, “penyakit itu sepertinya masuk melalui jantung pisang.” “Kita lihat awalnya itu ada cairan yang menetes dari jantung pisang. Ada yang warna putih dan ada yang warna merah,” katanya. “Kalau pada jantung pisang sudah ada tanda-tanda [keluar cairan], maka buah pisangnya pasti rusak. Isinya tidak bisa dimakan karena penuh cairan,” tambahnya. Penyakit ini baru pertama ia lihat selama hidupnya.

Lanjut Hermina, sebelum terserang penyakit, selain dikonsumsi, pisang kepok menjadi primadona bagi petani di desanya dan desa-desa lain di Kecamatan Mauponggo karena bernilai ekonomi tinggi. “Dulu kami jual satu tandan pisang dengan harga 30 hingga 40 ribu rupiah,” katanya. Dalam sebulan, kata Hermina, keluarganya memanen hingga 20-an tandan pisang yang ditanam di sela-sela pohon cengkih di tiga kebunnya. “Sekarang kami di rumah ini kehilangan pendapatan sekitar 600 ribu sampai satu juta rupiah setiap bulan,” ujarnya.

Hermina mengatakan bahwa selain penopang beras dan sumber pendapatan, pisang kepok juga merupakan salah satu tanaman penting dalam tradisi masyarakat Mauponggo umumnya. “Pisang [kepok] itu menjadi bahan utama dalam pembuatan muku ghe’u saat ada upacara adat seperti peletakan fondasi rumah,” katanya. 

Muku gheu adalah makanan khas dari buah pisang kepok muda yang diiris dan direbus bersama usus dan lemak babi atau ayam. Muku ghe’u, Hermina menerangkan, menjadi lauk utama saat makan bersama dalam upacara adat itu. Sisanya kemudian dibagikan kepada kerabat yang datang sebagai oleh-oleh dari penyelenggara upacara. “Kalau pisang [kepok] suatu saat benar-benar punah karena penyakit ini, kami khawatir tradisi membuat muku ghe’u ketika ada upacara adat akan hilang ke depannya,” ujarnya.

Natalis Mere Medo, warga Desa Woloede lain, menguatkan cerita Hermina. Pria 39 tahun yang memiliki kebun pisang kepok seluas tujuh hektar itu mengaku kehilangan pendapatan sekitar Rp12 juta setiap bulan setelah penyakit menyerang pisang-pisang kepok di kebunnya itu. Natalis menanam pisang di kebun itu sejak 17 tahun lalu. Awalnya ia menanam pisang kepok sebagai kanopi untuk tanaman pala.

“Saya dulu tanam pisang-pisang ini bersamaan dengan pala. Saya dengar cerita orang bahwa kalau tanam pala itu harus berdampingan dengan pisang supaya tanah itu jangan kering,” ceritanya saat ditemui di lokasi kebun pisang miliknya. “Saat pisang mulai berbuah, ternyata ada yang mau beli. Jadi, begitu panen pertama langsung jual,” tambahnya. Natalis mengatakan setiap bulan ia memanen hingga 400 tandan pisang di kebunnya itu. Ini sudah tidak ia lakukan selama dua bulan terakhir. “Kami ini pasrah saja,” katanya. “Kami sampaikan ke pemerintah desa, tapi tidak ada tindak lanjut.”

Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Nagekeo Olivia Monika Mogi mengatakan penyakit yang menyerang pisang kepok di wilayah Kecamatan Mauponggo itu adalah penyakit darah pisang. Penyakit tersebut, kata dia, mulai ditemukan pada 29 Maret 2023. Lokasi yang terserang paling banyak ada di Kompleks SMA Mauponggo, sekitar 10 kilometer arah selatan Desa Woloede. “Saat hasil identifikasi lapangan petugas menyarankan agar lokasi tersebut segera melakukan eradikasi/pemusnahan tanaman pisang yang terserang berat dan tidak merekomendasikan petani untuk memberi makan ternak batang pisang yang sudah terserang,” katanya.

Merujuk penjelasan pada laman resmi Kementerian Pertanian, penyakit darah pada pisang disebabkan oleh bakteri patogen tanaman yang disebut Ralstonia solanacearum ras 2, P. celebensis atau banana blood disease (BDB). Penyakit ini memiliki gejala luar, yaitu terjadinya penguningan pada daun yang telah membuka penuh. Pada tanaman dewasa pangkal daun akan patah sehingga daun akan menggantung di sekitar batang. Anakan akan menunjukkan gejala layu, meskipun infeksinya tidak selalu sistemik. Seringkali tanaman sakit dapat menghasilkan anakan yang sehat. Tanaman pisang yang sudah berbuah, jika jantung pisangnya masih ada, akan tampak mengering dan mengerut serta menghitam.

Gejala dalam pada penyakit darah pisang adalah apabila batang dipotong akan tampak pada pembuluh vaskularnya adanya nekrosis yang berwarna merah kecoklatan. Selain itu, dari bagian yang dipotong akan keluar lendir bakteri yang berwarna putih sampai coklat kemerahan atau kehitaman. Apabila dilihat dari luar, buah pisang yang terserang penyakit darah seringkali tampak sehat. Namun, jika dipotong, buah pisang yang sakit akan busuk dan berisi lendir bakteri yang berwarna kuning kemerahan ataupun merah kehitaman. Warna daging buah berubah dan buah pisang kepok muda membusuk.

Olivia mengatakan, selain di Kecamatan Mauponggo, kini penyakit darah pisang di Nagekeo telah meluas Kecamatan Boawae, Kecamatan Nangaroro, dan Kecamatan Keo Tengah. 

Menurutnya el-Nino memicu cepatnya laju penyebaran bakteri pada penyakit darah pisang. “El-Nino itu panas, kering, dan angin. Angin ini memungkinkan percepatan berpindahnya bakteri [ralstonia solanacearum ras 2] dari satu tempat ke tempat lain,” katanya.

Profesor Loekas Soesanto, ahli hama dan penyakit tanaman dari Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, mengatakan perubahan iklim memang dapat menyebabkan berubahnya perilaku makhluk hidup, termasuk serangga. “Jika serangga sebagai vektor penyakit darah pada pisang, maka perpindahan serangga juga terjadi karena dampak iklim, terutama kondisi panas,” katanya. “Serangga lebih suka kondisi panas daripada dingin atau hujan,” lanjutnya.

Kasus yang sama menurutnya juga terjadi pada beberapa tanaman di Pulau Jawa, seperti penyakit kuning pada cabai, yang juga ditularkan oleh serangga vektor. Beberapa tahun lalu, masih menurut narasumber, penyakit itu tidak dijumpai pada tanaman cabai yang ditanam di dataran tinggi. “Tetapi dengan terjadinya perubahan iklim, beberapa tahun ini penyakit tersebut ditemukan pada tanaman cabai di dataran tinggi,” katanya.

Satu-satunya cara untuk penyakit darah pada pisang, katanya, hanya dengan metabolit sekunder mikroba antagonis—salah satu mekanisme penghambatan penyakit tanaman oleh mikroba antagonis.

Adapun upaya yang telah dilakukan Dinas Pertanian Kabupaten Nagekeo, kembali menurut Olivia Monika Mogi, adalah membuat edaran tertulis di setiap kecamatan melalui BPP dan diteruskan ke Radio Suara Nagekeo. Selain itu, mereka melakukan identifikasi bersama antara penyuluh pertanian lapangan (PPL), petugas pengendali organisme pengganggu tumbuhan (POPT), dan petani. Dinas Pertanian juga, kata dia, memberi pemahaman kepada petani terkait penyakit darah pisang.

Klaim Olivia dibantah Hermina dan Natalis. Menurut mereka, hingga saat ini belum ada perhatian pemerintah terhadap penyakit pisang di desanya. “Kami tidak pernah mendapat penyuluhan terkait penyakit pisang ini,” tutur Hermina. Sementara itu, Natalis mengatakan, “Saya hanya mendengar ‘cerita dari mulut ke mulut’ bahwa cara untuk menghilangkan penyakit tersebut adalah dengan membasmi dan membakar pohon-pohon pisang.”

“Saya tidak membasmi pohon pisang karena ada pala yang butuh kelembaban tanah. Apalagi tahun ini kemarau panjang,” katanya. Ia melanjutkan, “berdasarkan cerita dari mulut ke mulut” itu juga bahwa cara lain agar buahnya terhindar dari penyakit darah adalah “dengan memotong jantung pisang.” “Saya sudah pernah melakukan cara kedua ini [memotong jantung pisang], tetapi tidak ada perubahan. Buah pisangnya tetap rusak.”

Petani Merana

Wilhelmina Wona, 61 tahun, petani lain di Desa Woloede, juga mengeluhkan fenomena penyakit darah pisang yang menyerang tanaman-tanaman di wilayahnya. Ia mengatakan penyakit yang menyerang pisang kepok itu membuat kehidupan keluarganya kian sulit. “Pisang ini sebenarnya salah satu harapan kami untuk bertahan hidup ke depan selain pala,” katanya. “[Tapi] sekarang pisang sudah tidak bisa dimakan dan dijual lagi, cengkih sudah tidak berbuah. Beras mahal. Kami pikir mau makan apa ke depan,” lanjutnya. 

Katanya dulu saat penyakit darah belum menyerang, sama seperti keluarga Hermina, mereka kerap menjadikan pisang sebagai makanan alternatif untuk menghemat konsumsi beras. Wilhelmina yang punya tiga anggota keluarga di rumahnya mengatakan, “Sebelum pisang ini kena penyakit, sebulan kami hanya menghabiskan 10 kilogram beras.” “Sekarang sebulan kami habiskan 20 kilogram beras karena tidak ada makanan lain untuk dimakan saat pagi dan sore hari,” katanya.

Pisang juga, kata dia, menjadi komoditas andalan petani di desanya setelah cengkih tidak berbuah sejak 2020. Hasil penjualan pisang, lanjutnya, kerap digunakan untuk membeli beras dan membiayai kebutuhan lain dalam keluarga. 

Penulis bertemu Wilhelmina di kebunnya pada Senin sore, 2 Oktober, saat ia baru saja selesai mengisi air di bambu yang dijadikan media penetes air pada beberapa pohon cengkih. Wilhelmina mengatakan bahwa ia melakukan cara ini untuk mengantisipasi ancaman kematian pada tanaman itu karena kemarau panjang yang berlangsung sejak Juli. “Saya pakai cara ini karena lihat daun pada beberapa pohon cengkih ini sudah mulai layu,” katanya. “Siapa tahu tahun depan dia berbuah,” tambahnya.

Wilhelmina menduga cengkih tidak berbuah karena anomali cuaca. Pada 2020 hingga 2022, katanya, curah hujan sangat tinggi, sementara pada 2023 musim panasnya lebih panjang. “Terakhir kami panen cengkih tahun 2019,” katanya. “Cengkih itu, kalau terlalu banyak hujan, buahnya tidak jadi,” ujarnya. 

Sementara memikirkan pisang dan cengkih yang gagal panen, Wilhelmina juga khawatir dengan kondisi pala yang kini menjadi satu-satunya sumber pendapatan keluarganya. “Sekarang saya juga pusing lihat buah pala yang keriput pada beberapa pohon,” katanya sembari mengajak penulis untuk melihat kondisi buah tanaman itu. “Kami juga tidak tahu kenapa bisa terjadi begini. Apakah karena terlalu panas?”

Penyakit darah pisang tidak hanya berdampak kepada petani, tetapi juga kepada para pedagang yang kerap membeli pisang di Mauponggo, termasuk Desa Woloede. Anselmus Jo Gay, 48 tahun, salah satu pembeli pisang kepok mengatakan saat ini ia kehilangan pendapatan hingga delapan juta rupiah setiap bulan sejak penyakit darah menyerang pisang-pisang di Kecamatan Mauponggo. 

“Saya bawa pisang itu setiap minggu. Saya beli di petani dengan harga Rp5.000 per sisir atau Rp25.000 per ikat,” katanya. Ia kemudian menjual lagi ke sejumlah pedagang di Kabupaten Ngada, Manggarai Timur, dan Manggarai, dengan harga 50 hingga 60 ribu rupiah per ikat. “Setiap minggu itu saya bawa paling sedikit 100 ikat atau 500 sisir,” ujarnya. “Keuntungan bersih yang saya dapat, di luar sewa kendaraan dan biaya lain-lain, sekitar dua juta rupiah per minggu,” tambahnya. 

Saat ini, kata Anselmus, ia harus mencari pekerjaan lain untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan membiayai pendidikan anak-anaknya. “Saya masih pikir-pikir sekarang mau kerja apa ke depan selain berkebun,” ujarnya.

Di tengah minimnya intervensi pemerintah menghadapi dampak perubahan iklim terhadap pangan dan komoditas pertanian di Woloede, sebagian warga desa itu terpaksa harus merantau. “Sejak cengkih tidak berbuah, banyak orang dari sini yang merantau, kerja di kebun sawit di Kalimantan,” kata Natalis tanpa merinci jumlah warga yang merantau itu. “Tahun depan pasti akan bertambah lagi orang yang merantau karena penyakit pisang ini,” tambahnya. 

Hermina membenarkan cerita Natalis terkait warga yang merantau itu. Ia berkata salah satu dari sekian warga Woloede yang merantau tersebut adalah anak sulungnya. “Dia berangkat bulan lalu. Kami di rumah sepakat dia yang merantau supaya bisa bantu biaya hidup kami,” katanya.

Berkolaborasi dengan iklimku.org

Teks: Rosis Adir

Foto: Ignas Kunda

Penyunting Teks: Kurniawan Adi Saputro