Kiprah Mengare yang dikenal sebagai penghasil bandeng jumbo terancam musnah. Para petani bandeng bertarung dengan krisis iklim dan polusi pabrik demi bertahan.

Pekerja memanen bandeng ditambak yang dikelola oleh Aribin di Mengare, Kabupaten Gresik, Sabtu (16/9/2023).

Seorang pria paruh baya tengah mengaso seraya bertelanjang dada di sebuah gubuk di tengah pematang tambak. Ia seperti tak peduli dengan sengatan matahari yang pada siang itu seolah hanya berjarak sejengkal dari kepala. Sepoi angin yang bertiup dari arah laut membuainya menuju lelap. Pria itu adalah Aribin, seorang petani bandeng di pulau Mengare, Gresik, Jawa Timur. 

“Meskipun panasnya udah kayak neraka bocor ‘gini, tapi saya suka musim kemarau,” kata pria yang akrab disapa sebagai Cak Bin itu. “Apalagi kalau kondisi kemarau dan angin sepoi-sepoi kayak ‘gini. Aduh, damai betul hidup rasanya.”

Bagi Cak Bin musim kemarau adalah masa tenang sebab ia tak perlu khawatir akan ancaman banjir yang senantiasa menghantuinya. Lebih-lebih hanya pada kemarau jadwal panen bandeng bisa ia terka dengan mudah. 

“Kalau seandainya saya bisa memilih, saya sih lebih suka kemarau terjadi sepanjang tahun. Ya, bolehlah hujan, tapi sebentar saja ya,” celetuk Aribin diiringi tawa berderai. “Tapi kalau deras, aduh, ampun! Bisa jantungan saya.”

Cak Bin memiliki pengalaman pahit saat musim hujan. Peristiwa itu terjadi pada awal bulan Mei tahun 2022 lalu. 

Saat itu hari raya Idulfitri baru lewat lima hari. Cak Bin tengah tertidur di sebuah geladak bambu di sekitar tambak. Teriakan dari seorang kawan membangunkannya. Pemandangan pertama yang ia lihat saat bangun adalah wajah ketakutan dari sumber suara teriakan.

 “Cak Bin, banyune munggah! Banyune dhuwur! [airnya naik! Airnya tinggi],” kata Cak Bin menirukan teriakan karibnya.

Ketika ia menoleh ke arah laut, matanya disambut oleh ombak besar yang ia taksir setinggi dua meter tengah berarak menuju arah tambak. Ia melihat bambu-bambu pembatas antara ombak dan laut sudah pecah. Air telah menelan pantai dan apa saja yang dilewatinya. Laut hanya berjarak sepelemparan batu dari tempatnya berdiri. Dalam waktu singkat air laut melewati tanggul dan menelan habis tambak bandeng yang ia kelola.

Kawasan tambak bandeng rusak oleh abrasi di Mengare, Kabupaten Gresik, Minggu (17/9/2023).

Cak Bin sempat mematung beberapa saat. Ketika kesadarannya pulih, ia segera meraih sepeda anginnya dan bergegas pulang ke rumah. Di sepanjang perjalanan pikirannya melayang pada nasib keluarga di rumah. Ia sekaligus ingin segera sampai untuk mengabari warga desa agar bersiaga. Pikiran tentang desa yang terancam tenggelam menggelayuti hatinya. Waktu seolah bergerak lamban dan hatinya kian ciut seturut kayuhan sepedanya mendekati rumah.

“Seluruh jalan setapak ini udah tergenang air. Jarak antara kolam dan pematang sudah enggak kelihatan. Kalau enggak hapal medan, ya pasti tercebur,” kenang Cak Bin. 

Ketika sampai di rumah, hatinya terasa sedikit lega karena abrasi tak sampai menenggelamkan desanya. 

Cak Bin mula-mula tak mengetahui bahwa peristiwa itu adalah dampak dari abrasi. Ia justru mengira kenaikan air laut secara tiba-tiba adalah pertanda bahwa desanya akan diterjang tsunami. Meskipun menghabiskan hidup di sana, ia mengaku tak pernah sekalipun menyaksikan ombak seganas itu.

“Hati saya masih ngeri kalau ingat-ingat. Air sangat tinggi seperti sudah mau tenggelam saja Mengare ini. Suara [ombak] gemuruh, padahal langit terang benderang,” kenang Cak Bin.

Pria ini dikenal warga desa Mengare sebagai salah satu petani bandeng senior. Ia membantu orang tuanya mengelola tambak sejak berusia 10 tahun. Ia terpaksa berhenti sekolah sebab kesulitan biaya dan memilih untuk bekerja di tambak bersama bapaknya.

“Saya telah menjalani profesi sebagai petani bandeng ini sudah lebih dari lima puluh tahun, tetapi banjir di tahun 2022 kemarin adalah yang terburuk. [dan] Kerugiannya udah habis-habisan,” ujar Cak Bin.

Dampak Abrasi: Kerugian dan Utang 

Mengare adalah sebuah pulau mungil yang terletak di ujung daratan utara kota Gresik. Luasnya sekitar 1.700 hektare dan secara administratif berada di kawasan kecamatan Bungah, Gresik, Jawa Timur. Ia dikelilingi oleh sungai dan hanya terpisah selat selebar tiga kilometer dari pulau Madura. Meskipun kecil, nama Mengare akrab tatkala membicarakan budidaya bandeng.

Ikan bandeng Mengare kerap menjuarai perhelatan Bandeng Kawak, suatu acara lelang bandeng jumbo yang digelar setiap tahun di Gresik. Pada tahun 2021 misalnya, Zainal Arifin, warga Mengare, berhasil menjuarai kontes dengan memamerkan bandeng seberat 6,5 kilogram. Di acara lelang, bandeng tersebut laku di angka 25,5 juta rupiah.

Namun menurut Cak Bin setelah abrasi yang melenyapkan 800 hektare tambak bandeng tersebut, sejarah ini muskil terulang. Berdasarkan penelitian Kurniawan dan Efendy (2020), pada tahun 2014 hingga 2018 Mengare adalah salah satu daerah yang terdampak abrasi parah. Dalam kurun lima tahun garis pantai pulau Mengare menyusut hingga setengah kilometer.

“Setelah diterjang abrasi, lebih dari satu tahun tambak ini lumpuh, bahkan pada empat bulan pertama kami tidak bisa bekerja. Sebab, tambak posisinya sejajar dengan air laut. Ikan-ikan pada kabur. Akhirnya saya mengais sisa-sisanya. Ada sedikit dan kami jual, dapat sekitar 5 juta rupiah. Itu sudah buat kami hidup dari bulan Mei sampai Agustus 2022,” kata Cak Bin.

Tak hanya berdampak pada ternak, abrasi juga memaksa Cak Bin dan para petani bandeng lain terjerumus kubangan utang. Jika ditaksir dalam hitungan kasar, Cak Bin menderita kerugian ratusan juta rupiah.

“Dalam waktu enam bulan kita butuh sekitar 500 karung pakan. Nah, satu sak harganya sekitar 275 ribu rupiah. Belum lagi biaya untuk memperbaiki tambak itu juga tidak murah. Saking banyaknya, saya enggak tahu kapan bisa melunasinya,” tukas Cak Bin.

Dilansir oleh Mongabay, para petani tambak di Mengare dalam satu hari setidaknya membutuhkan 500 sak pakan bandeng. Jika dihitung dengan harga berkisar Rp 275 ribu, dalam satu hari kerugian mereka sekitar Rp 137 juta. Sebelum dilibas abrasi, mereka telah mengelola tambak dalam waktu lebih dari empat bulan. Uang itu, belum termasuk modal bibit, lenyap. 

Tumpukan karung berisi pakan bandeng di Mengare, Kabupaten Gresik, Minggu (17/9/2023).

Selain itu, petani tambak yang mengontrak lahan seperti Cak Bin juga mesti mengganti lahan yang hilang. Dari total delapan hektare kolam yang ia kelola, ada satu hektare wilayah yang tak bisa lagi difungsikan sebagai tambak sebab telah sejajar dengan laut dan mustahil dibenahi. 

“Tapi yang punya lahan mana mau tahu. Itu sudah jadi urusan saya. Dia tahunya saya ngontrak delapan hektare. Nanti kembali pun harus utuh. Tumpuk-tumpuk [utang] tanggungannya.” 

Cak Bin hanyalah satu dari puluhan petani bandeng yang mengalami bencana serupa. Mayoritas warga Mengare, jika tak menjadi buruh pabrik, bertani bandeng. 

“Saya ingat waktu itu wajah tetangga-tetangga saya kecut semua. Kita [kami] tidak saling berbicara, tapi saling tahu, bahwa kita [kami] sama-sama terlilit utang dan tak tahu cara membayar,” katanya seraya terkekeh. 

Selama diterpa kemalangan beruntun, Cak Bin mengatakan, tak ada secuil pun bantuan yang diberikan oleh pemerintah. Meskipun putaran uang di Mengare dalam satu hari bernilai ratusan juta, ia menganggap negara tak acuh pada nasib mereka. Janji-janji pemerintah untuk menyediakan pemecah ombak hanyalah isapan jempol belaka. Meskipun telah berkali-kali disurvei oleh pelbagai instansi pemerintah, hasil tak pernah ada.

“Sudah sejak zaman Soeharto, berkali-kali ganti walikota, gubernur, dijanjiin pemecah ombak. Tetapi lihat, sampai sekarang enggak ada wujudnya,” terang Cak Bin. 

Dampak abrasi tak pernah sepenuhnya pulih. Cak Bin mengatakan bahwa kualitas tanah tambak juga menurun akibat kontaminasi air laut yang mengendap dalam waktu yang lama. Ia begitu kesulitan mengelola air meskipun telah menjajal pusparagam formula. 

Warga Mengare masih percaya dengan metode klasik yang diwariskan turun-temurun oleh nenek moyang mereka. Misalnya, Cak Bin tak begitu percaya pada kualitas pupuk urea untuk memulihkan kandungan hara di dalam tanah. Mereka lebih memilih untuk menggunakan pupuk yang terbuat dari daun si api-api yang tumbuh di sekitar pulau. 

Petani tambak Mengare biasanya menggunakan pupuk dari cacahan daun si api-api, yang dicampur dengan kulit ranting dan kemudian dikeringkan. Formula itu mereka gunakan untuk sterilisasi air laut dan membuat air menjadi jernih. Setelah abrasi, resep itu tak lagi ampuh. Ia pun terpaksa menambahkan urea untuk mempercepat proses penjernihan air tambak.

“Dampaknya, kondisi ikan jadi enggak bisa sebesar dulu. Mungkin karena ada kandungan kimia. Tidak lagi murni. Mengelola air jadi sangat sulit sekali,” terang Cak Bin. 

Setelah peristiwa abrasi 2022, Cak Bin mengatakan bahwa hasil panennya menyusut. Jika pada tahun-tahun sebelumnya ia bisa menghasilkan sekitar enam sampai delapa ton tiap kali panen, belakangan tambak miliknya hanya mampu menghasilkan empat hingga lima ton bandeng.

Faktor utama dari penyusutan hasil panen adalah karena mereka mesti ‘memanen paksa’ bandeng mereka. Jika biasanya mereka leluasa memelihara ikan dalam kurun waktu tujuh hingga delapan bulan, karena takut akan kembali direnggut oleh abrasi, mayoritas petani memanen ikan mereka dalam waktu enam bulan saja. Akibatnya pertumbuhan ikan tak bisa maksimal.

Kualitas ikan yang tak maksimal juga berdampak terhadap harga jual. Jika biasanya bandeng dengan kualitas terbaik dibeli seharga Rp33 ribu, hasil panen terakhir Cak Bin mentok terjual di pasar dengan harga Rp25 ribu. 

“Apalagi setelah abrasi, ikan itu mudah stres. Jadi, kebutuhan pakan juga ikut naik. Biaya pakan membengkak, tapi harga jual anjlok.”

Polusi dan Krisis Regenerasi

Waktu berlalu begitu cepat. Cak Bin menghitung bahwa titimangsa kemarau akan segera berakhir. Mendung yang kerap bergelayut menandakan musim hujan akan segera tiba. Kecemasan kembali menghantuinya. Ini berarti masa yang ia sebut sebagai musim tenang juga akan turut habis. Ia mesti berjibaku dengan pergolakan air yang tak bisa diprediksi. 

“Saya melihat apa yang terjadi di tahun 2022 itu sebagai awal. Bisa jadi tahun-tahun berikutnya bakal lebih parah karena setelah kejadian itu enggak ada langkah pencegahan apa-apa. Sementara, kalau kami sendiri yang bangun pemecah ombak, uang dari mana? Rugi tahun lalu belum ketutup,” kata Cak Bin.

Musim hujan tak hanya membawa ancaman abrasi. Racun yang menguar dari puluhan cerobong pabrik-pabrik yang berada di Gresik juga kerap membunuh ratusan nener, bibit bandeng. 

Bandeng yang baru dipanen dikumpulkan di pelabuhan di Mengare, Kabupaten Gresik, Sabtu (16/9/2023).

Menurut kesaksian Cak Bin, tiap kali hujan ia akan menjumpai buih-buih serupa busa yang menyelimuti permukaan air tambak. Setelah itu biasanya bibit-bibit bandeng akan stres dan sebagian ditemukan tewas di tepi kolam. Fenomena seperti itu terjadi paling sedikit empat kali setiap tahun. Setiap kali buih-buih berbau menyengat itu tiba, ratusan bibit bandeng akan menjadi korban.

“Biasanya akan turun seperti kabut gitu. Warnanya pekat dan aromanya bikin tenggorokan terasa tercekat. Nah, kalau sudah gitu, ikan-ikan yang kecil itu akan mati. Semakin hari hal seperti itu terjadi semakin sering. Saya tidak tahu apa kandungan dari awan itu,” kata Bin.

Selain itu, Cak Bin menganggap kemunculan ‘kabut hitam’ itu juga menghambat pertumbuhan bandeng. Berdasarkan penelusuran penulis, kabut itu diduga berasal dari gas amonia (NH3) yang disemburkan oleh pabrik yang berdiri di kawasan Gresik. Dugaan itu mengarah pada pabrik petrokimia, yang menjadikan amonia sebagai salah satu bahan baku produksi pupuk urea.

Berdasarkan penelitian Firmansyah, Khambali, Koerniasari (2020), pabrik PT. Petrokimia Gresik adalah salah satu aktor penyebar amonia di udara Gresik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi rata-rata gas amonia di Gresik adalah 6,6 mg/m3, sementara konsentrasi tertinggi mencapai 9,2 mg/m3 per hari.

Menurut Royan, Solim, dan Santunumurti (2019), amonia tak hanya berbahaya bagi paru-paru manusia, tetapi juga berpotensi mencemari kualitas air, yang kemudian berimbas pada pertumbuhan makhluk hidup di dalamnya.

Jika melewati ambang toleransi, amonia dapat menghambat pertumbuhan makhluk-makhluk air dan, yang paling fatal, menyebabkan kematian. Sebabnya adalah amonia berisiko mengganggu proses pengikatan oksigen di dalam darah dan mengubah kadar pH dalam darah makhluk-makhluk air. Masih menurut penelitian tersebut, angka kematian pada kolam dengan kadar amonia berlebih adalah 5-20%.

Keresahan Cak Bin soal kehadiran ‘kabut hitam’ mendapat penjelasan dari penelitian-penelitian ini. Racun tersebut adalah faktor yang beberapa tahun belakangan membuat hasil panennya tak lagi maksimal. Akibatnya anak-anak muda di sekitar Mengare enggan melanjutkan tradisi menjadi petani bandeng. Mayoritas dari mereka memilih bekerja sebagai buruh pabrik, yang memberi penghasilan lebih pasti dan jauh dari dampak abrasi.

“Biarlah. Biar mereka jadi buruh pabrik semua. Jadi petani bandeng di kondisi serba tidak pasti seperti ini memang sulit. Jika tidak ada langkah penanggulangan apa-apa dari pemerintah, nasib tambak Mengare tinggal menunggu waktu,” ujar Cak Bin seraya menghisap dalam sebatang rokok yang ia apit di bibirnya.

“Mungkin 10 tahun lagi tambak bandeng Mengare hanya menjadi sebuah kisah. Semuanya akan rata. Semuanya akan habis, ditelan laut.”

Berkolaborasi dengan iklimku.org

Teks: Reno Surya

Foto: Idealita Ismanto

Penyunting Teks: Kurniawan Adi Saputro