Seorang pria duduk sambil menggaruk-garuk kepala. Di balik tanggul pengaman abrasi ia menatap kerikil yang telah tercampur di palung garamnya. Alih-alih terisi oleh bersendok-sendok kristal garam siap panen, palung garam itu kering dengan kerikil yang berserak di sekitarnya. 

“Kalau sudah begini, bagaimana cara memanen garam!” keluhnya. “Sudah sepuluh hari saya tidak bekerja. Setelah abrasi, tidak bisa langsung bekerja. Harus memilah kerikilnya dulu dan itu perlu waktu. Kalau seperti ini kondisinya, dua atau tiga hari baru bisa kembali normal. Itu pun kalau tidak abrasi lagi,” lanjut Nengah Kertayasa. 

Tempat penjemuran air garam dengan menggunakan media geomembran milik Wayan Ana di Pantai Kusamba, Kabupaten Klungkung, Bali.

Di pantai Kusamba, Klungkung, Bali, petani garam hanya tinggal tujuh belas orang. Di balik tanggul pengaman abrasi, tiga petani tampak bekerja dan tiga lainnya duduk memilah kerikil yang datang bersamaan dengan ombak. Petani lain memilih libur, memberi makan ayam, tidur, atau duduk mengobrol dengan yang lain. Meskipun kerap disebut “pekerjaan stres” karena lebih banyak kerja ketimbang upah yang diterima, ini tak menyurutkan usaha petani garam yang masih bertahan. Bagi mereka bertani garam adalah melanjutkan warisan, melanjutkan apa yang ditinggalkan. Namun, di hadapan krisis iklim, kondisi mereka kini bak pipa penyaring air garam, rapuh dan rentan hanyut.

Garam sebagai identitas

Sejak abad ke-17 petani garam di Kusamba telah bertani garam. Mereka memanfaatkan sinar matahari yang terik dan angin laut yang sejuk untuk menguapkan air laut sehingga meninggalkan kristal garam yang siap diambil. Cara bertani garam yang dilakukan petani di Kusamba bukan hanya soal produksi, melainkan juga soal warisan. Saat ditemui, Wayan Ana menjelaskan bahwa meskipun ia baru beberapa tahun bertani garam, namun belong, nama alat berbentuk seperti bak yang terbuat dari kayu, sudah lama ada di tempat bertani garam. Belong ini diisi pasir dan menjadi penyaring air garam sebelum dijemur. 

“Bah, sudah lama! Belong ini sudah ada sejak saya SD dulu. Sekarang saya yang menggunakannya untuk mengolah garam. Ya sudah turun temurun. Saya sekarang yang melanjutkan untuk bertani garam,” jelas Wayan Ana yang ditemui saat menurunkan pasir dari belong ini. 

Di Kusamba garam bukan sekadar komoditas, bukan sekadar bahan dapur, tetapi juga bagian dari identitas masyarakat Kusamba. Ini adalah mata pencaharian yang diwariskan dari generasi ke generasi, menandai keberlanjutan tradisi mereka. Garam adalah warisan yang dihormati dan budaya yang dijaga. Memilih menjadi petani garam adalah bentuk perikatan yang kuat dengan bumi dan air laut di sekitarnya, menjaga tradisi yang telah diberikan oleh para leluhur, dan bertahan dalam menghadapi perubahan zaman. Garam adalah cerita hidup mereka yang tak pernah berhenti mengalir. Seolah garamlah yang mengalir dalam darah mereka. 

Di antara masyarakat pesisir yang bermukim di desa-desa pantai, terdapat beberapa komunitas yang mempunyai kemampuan memproduksi garam yang diperoleh dari pengalaman secara turun-temurun. Dalam sejarahnya, sejak abad ke-17 Klungkung menjadi salah satu pusat pembuatan garam di Bali, selain Amed dan Kubu di Kabupaten Karangasem dan Suwung di Kota Denpasar. Di masa itu di wilayah Kabupaten Klungkung terdapat tiga desa penghasil garam, yaitu Desa Kusamba dan Desa Pesinggahan di Kecamatan Dawan serta Desa Jungutbatu di Kecamatan Nusa Penida. Pembuatan garam di Desa Jungutbatu dilakukan dengan cara merebus, sedangkan di Desa Kusamba dan Pesinggahan mengunakan cara alam, yaitu penguapan dengan sinar matahari. Pembuatan garam tradisional dengan teknik penguapan sinar matahari ini, jika ditinjau dari tradisi maritim, dapat dikategorikan sebagai warisan budaya maritim. Produk garam asli Kusamba menggunakan teknik yang unik dan disebut sebagai garam laut. Teknik ini berbeda dengan produksi garam di daerah lain. Ia disebut garam laut karena garam dihasilkan dari penguapan sinar matahari.

Krisis iklim membuat semuanya berubah dan tampak lebih sulit. Muncul abrasi yang berakibat hilangnya lahan produksi. Cuaca kini tak lagi bisa diprediksi. Keduanya menghasilkan kerugian ekonomi. Ditambah lagi, timbul kerugian akibat ingatan-ingatan kolektif yang hilang ataupun tak bisa diulang kembali akibat krisis iklim.

Abrasi dan Hilangnya Lahan Produksi

Dalam beberapa dekade terakhir garis pantai Kusamba mulai berubah signifikan. Abrasi, proses alami di mana pantai terkikis oleh gelombang dan arus laut, meningkat dengan kecepatan yang mengkhawatirkan. Faktor-faktor seperti perubahan iklim dan peningkatan aktivitas manusia di daerah pesisir diketahui mempercepat proses abrasi.

Dampaknya bukan lagi hanya pada keindahan pantai, tapi juga masa depan petani garam di Kusamba yang telah mengandalkan pesisir ini selama berabad-abad. Bagi petani garam, abrasi berarti hilangnya lahan produksi yang vital. “Setiap tahun saya kehilangan beberapa meter lahan saya,” jelas Wayan Ana. “Dengan berkurangnya lahan, produksi kami juga turun drastis. Dulu saya punya tiga kali lipat dari lahan yang saya garap sekarang. Bisa mengajak dan mempekerjakan beberapa orang juga karena lahannya luas. Bapak lihat tanggul ini? Nah, dua kali dari lahan saya yang sekarang ini. Di bagian sana, Pak!” jelas Wayan Ana menunjuk kira-kira dua ratus meter dari tanggul abrasi. “Kalau sekarang, karena lahan cuma segini, saya garap bersama istri atau sendiri,” tambahnya sembari mengelap keringat di dahinya.

Petani garam mengambil pasir yang bergaram untuk disuling menjadi air garam di Pantai Kusamba, Kabupaten Klungkung, Bali, 8 Oktober 2023.

“Kalau soal abrasi, sudah ada dua ratus meter lebih. Dulu di sini pasirnya luas. Masih bisa ada lomba layang-layang. Dulu di depan sana, yang sekarang jadi laut, ada sawah dan pura. Sekarang sudah hilang. Saya kasihan sekali melihat petani bengang-bengong, apalagi setelah abrasi. Tolonglah ini disampaikan bagaimana caranya menolong. Ini syukur juga ada tanggul. Kalau tidak, sudah tidak ada ini petani garam di Kusamba,” kata Gung Aji yang ditemui saat berjalan-jalan pagi di atas tanggul. 

Selain berkurangnya lahan karena abrasi, situasi bertambah rumit ketika ombak datang membawa kerikil dan bahkan batu besar. Akibat abrasi yang meningkat, kerikil terbawa dan bercampur dengan lahan produksi garam. “Kalau abrasi, bukan garam kita dikasi, tapi batu besar-besar. Dikira kita akan bangun rumah!” kata Ibu Sumianti berseloroh sembari cekikikan.

Lahan yang dulu luas dan hampir bebas dari kerikil, sekarang penuh kerikil. Proses mengumpulkan garam menjadi lebih sulit karena mesti dipilah dulu. Ini menambah pekerjaan dan mengganggu jumlah dan waktu produksi. Yang harusnya dua hari bisa digunakan untuk bertani garam. Akibat yang lain, kerikil masuk palungan dan pipa patah. “Sekali rusak pipa kena abrasi, itu minimal habis uang seratus lima puluh ribu. Buat ganti pipa yang patah atau rusak, atau ganti klep saringan air yang hanyut. Itu baru sekali abrasi. Bayangkan dalam sebulan itu abrasi ada empat kali. Sudah enam ratus ribu uang keluar. Belum tentu dapat jual garam segitu di  bulan itu. Makanya kita disebut nak buduh (orang gila) karena bekerja seperti ini.”

Kilau Harapan dan Hal yang Tak Pernah Kembali

Dampak dari abrasi tidak hanya terbatas pada waktu dan jumlah produksi garam. Mereka yang terbiasa hidup dengan mengandalkan laut kini harus beradaptasi dengan kenyataan baru. Bagi generasi muda, ini mungkin berarti meninggalkan tradisi keluarga dan mencari mata pencaharian lain. Namun, di tengah keputusasaan ada kilauan harapan. Pemerintah membuatkan tanggul untuk menghalau abrasi. Keberadaan tanggul sedikit membantu petani garam untuk bertahan. Hal ini disampaikan langsung oleh Sumantini, “Ya, syukur ada tanggul, Pak. Jika tidak ada tanggul ini, semua petani garam di Kusamba mungkin sudah tidak ada. Mungkin hanya tinggal cerita kalau tempat ini adalah lahan bertani garam karena ombaknya pasti sampai ke sini. Areal bertani garam ‘kan cuma segini saja.”

Ada tanggul pun tak serta-merta menyelesaikan masalah. Dengan adanya tanggul, petani tak lagi bisa mengambil air laut dengan timbanya, harus menggunakan mesin. Menurut petani, karena areal tanggul berbatu, permukaannya licin dan berbahaya jika mengambil air dengan menimba. Akibatnya, mau tidak mau petani garam menggunakan pipa. Saat abrasi melanda, pipa saluran mesin ini akan patah dan klep, saringan yang terdapat di ujung pipa, akan hanyut entah ke mana. Untuk mengganti pipa dan saringan, petani garam harus kembali mengeluarkan uang yang tidak sedikit. Orang Bali selalu bilang ada saja aget (untung) dalam setiap masalah. Untung ada tanggul. Kalau tidak begitu, ya hilang semua lahan petani garam dan tidak akan ada yang bertani garam lagi.

Tidak hanya produksi garam, abrasi juga menghilangkan ingatan-ingatan bersama soal pantai Kusamba. Misalnya, Gung Aji bercerita tentang betapa luasnya pasir yang dulu digunakan untuk lomba layang-layang. Areal pasir yang dulu membentang sebelum abrasi bisa digunakan banyak orang untuk main bola, jalan-jalan, atau bahkan lomba layang-layang. “Sekarang sudah tidak bisa lagi lomba layang-layang. Bagaimana main layang-layang di atas laut?” tanya Gung Aji sambil tertawa.

Hidup di Tengah Ketidakpastian

Pantai Kusamba adalah rumah bagi komunitas petani garam yang telah menjalankan tradisi produksi garam selama berabad-abad. Namun, cuaca yang tidak menentu telah membawa tantangan yang tak terduga untuk mereka. Mereka yang menggantungkan mata pencarian pada produksi garam seringkali merasa seperti berjalan di atas tali tipis, mencoba untuk mengikuti irama alam yang semakin tidak bisa ditebak. Musim hujan yang tak terduga dan intensitas sinar matahari yang berfluktuasi membuat produksi garam menjadi lebih tidak pasti. Saat hujan datang lebih awal, atau berkepanjangan, kolam garam menjadi tergenang air tawar yang merusak garam yang sudah ditinggalkan untuk mengkristal.

Petani garam, Ketut Sumartini (43) mengeringakan garam setelah dipanen di Pantai Kusamba, Kabupaten Klungkung, Bali, 8 Oktober 2023.

“Ya namanya hidup bersama cuaca dan cuaca mengatur jadwal kami, tapi belakangan ini cuaca semakin tidak bisa kami tebak,” cerita Ibu Sumianti. Jika dulu, petani garam bisa memprediksi ombak pasang, kini yang mereka bisa lakukan adalah pasrah. “Dulu kita tahu. ‘Oh, Sasih Karo, ombak pasti besar. Oh, Purnama atau Tilem, ombak pasti besar.’ Kita bisa tahu. Tapi sekarang kadang hari ini abrasi, lima hari lagi abrasi lagi. Tidak bisa ditebak, Pak,” tambah Sumantini. “Uang habis hanya untuk mengganti pipa yang dihanyutkan ombak,” keluhnya.

Ketidakpastian cuaca juga berdampak pada jadwal panen garam. Petani harus bersiap-siap untuk panen kapan saja sinar matahari bersinar cukup lama untuk menghasilkan garam yang cukup kualitasnya. Ini mengakibatkan beban kerja yang tidak terjadwal. Meski demikian, mereka tetap bersemangat mengerjakan apa yang mereka bisa kerjakan. Mereka tetap melakukan semampunya, sebaik-baiknya. Bagi mereka ini bukan hanya soal menjaga mata pencarian, tetapi juga menjaga warisan dan tradisi dari generasi ke generasi.

Krisis iklim mengakibatkan perubahan mendalam yang menyulitkan kehidupan, termasuk hilangnya lahan produksi, ketidakmampuan meramalkan cuaca, kegagalan produksi, serta kehilangan ingatan kolektif yang tidak dapat dipulihkan. Dengan semakin memburuknya krisis iklim, tantangan ini tampak semakin nyata dan berdampak luas pada kita, tidak hanya pada petani garam di Kusamba. 

Berkolaborasi dengan iklimku.org

Teks: Putu Juli Sastrawan

Foto: Johannes P. Christo

Penyunting Teks: Kurniawan Adi Saputro