Meski usianya sudah sepuh, tetapi Moses Tulaseket (70) masih cekatan turun dari salah satu pohon cengkih miliknya. Beberapa kali dia berhenti demi menyeka keringat yang membasahi dahi. Siang itu, Rabu 27 September 2023, cuaca lumayan panas, tapi angin menyapa bukit kebun cengkih dan membawa udara yang sejuk. 

Tangan lelaki yang akrab disapa Bote ini merogoh isi baju longgarnya. Dia mengeluarkan tangkai-tangkai cengkih yang baru saja dipetik untuk dimasukkan ke dalam karung plastik. Karung yang dia gantung pada ranting paling bawah ini biasanya digunakan untuk mengumpulkan dan membawa hasil panen.

Tuntas memasukkan tangkai-tangkai cengkih, karung plastik itu kembali ia gantung. Bote mengempaskan pantatnya dengan lega pada hamparan semak di bawah pohon cengkih. Sambil menyantap makan siang, matanya mengamati beberapa pohon cengkih miliknya di bukit itu. Dia menuturkan ada dua cara orang memanen cengkih di kampungnya. Pertama, cengkih dipanen sendiri oleh pemiliknya. Cara kedua, menyewa jasa pekerja pemetik untuk memanen cengkih. “Kalau naik sendiri, bisa dapat banyak. Kalau menggunakan tenaga orang lain, hasilnya dibagi dua dengan orang yang naik,” jelasnya.

”Kira-kira lima tahun terakhir ini hasil panen cengkih kurang bagus. Cuma bisa dapat satu karung cengkih kering. Kalau yang bagus itu pas panen semua, dapat lima karung cengkih kering,” ungkap lelaki pemilik 50 pohon cengkih di Negeri (desa) Lilibooi, Kecamatan Leihitu Barat, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku ini. 

Sampai enam tahun lalu, Bote masih bisa mendapatkan hasil panen sebanyak 125 kg hingga 150 kg. Kini jumlahnya berkurang jauh, hanya sekitar 25 kg sampai 30 kg. ”Ini karena faktor cuaca. Jadi, hasilnya jauh menurun dan kualitasnya tidak bagus. Cengkih kering yang kualitasnya tidak terlalu bagus saat ini dihargai sekilo Rp30.000. Untuk yang kualitasnya bagus, sekilo bisa dapat Rp133.000.“

Meninggalkan Cengkih dan Pala

Hasil panen sedikit, bahkan ada petani yang cengkihnya tidak berbuah, dialami sebagian besar petani di Lilibooi. Kondisi tersebut tentu saja mengkhawatirkan sebab Lilibooi sangat dikenal karena pertaniannya, terutama dalam menanam cengkih dan pala. Dua komoditas ini menjadi tulang punggung ekonomi negeri ini. Khusus untuk komoditas pala, negeri ini tercatat memiliki lahan aktual dengan luas areal sebesar 55 hektare, yang setiap tahunnya menghasilkan produksi 20 ton.

Sayangnya kondisi hasil panen yang buruk lima tahun belakangan ini membuat sejumlah petani Lilibooi meninggalkan pohon-pohon cengkih mereka. Lebih jauh, banyak warga Lilibooi, terutama para pemudanya, memilih merantau mencari pekerjaan ke daerah lain ketimbang menjadi petani cengkih dan pala.

“Mayoritas anak-anak muda di sini berangkat untuk bekerja pada tambang nikel di Maluku Utara,” ungkap Niko Marlissa (50), seorang warga Lilibooi yang memilih bertahan di kampungnya karena panggilan hati untuk menjadi salah satu tokoh adat dari marganya. Beberapa orang lainnya ada yang beralih menjadi penambang pasir pantai. Ada juga yang beralih ke tanaman lainnya seperti buah-buahan, seperti yang dilakukan Wempi Yacob Hetharion (63).

Wempi adalah salah satu mantan Petani Teladan Nasional tahun 2011. Ia merasa cengkih sudah tidak menguntungkan akibat penurunan produktivitas. Selain itu, tahun-tahun belakangan ini dirinya maupun petani setempat kesulitan menentukan jadwal panen cengkih maupun pala, padahal panen sangat bergantung pada cuaca. “Bila terlalu lembap karena curah hujan tinggi, buah akan busuk. Sebaliknya, jika cuaca terlalu panas, [cengkih] akan rusak,” terangnya.

“Dulu kita bisa berharap banyak dari hasil panen cengkih. Banyak orang tua bisa menyekolahkan anaknya sampai sarjana dari hasil cengkih,” ujar Wempi. Sekarang sudah tidak bisa berharap banyak dari cengkih. Biaya perawatan dan menyewa tenaga orang untuk petik cengkih lumayan besar, sedangkan hasil panen tidak seberapa. Akhirnya Wempi menyerahkan kebun cengkih ke saudaranya.

Wempi sempat menggantungkan hidupnya dari pembibitan cengkih, ketika pemerintah mencanangkan program Penanaman 100 Juta Pohon di Indonesia. Program ini berupaya meningkatkan ketahanan lingkungan dan mitigasi bencana alam dengan menanam 100 juta pohon di seluruh Indonesia dalam lima tahun. Dalam program ini pemerintah bekerja sama dengan masyarakat, pemerintah daerah, dan swasta, untuk menanam pohon di hutan, lahan kritis, dan pinggiran sungai. Pohon-pohon yang ditanam juga beragam, mulai dari pohon buah-buahan, pohon kayu, hingga pohon pelindung.

Warga menunjukan cengkeh yang rusak saat dijemur dirumahnya di Desa Lilibooi, Kecamatan Leihitu Barat, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku Cuaca yang tidak menentu membuat para petani cengkeh terpaksa mengeringkan cengkeh 2 kali lebih lama dari hari biasanya.

Bekerja sama dengan Dinas Pertanian Provinsi Maluku, Wempi menjadi orang pertama di Lilibooi yang menggeluti usaha pembibitan, terkhusus cengkih.  Dia juga menularkan ilmu pembibitan ini ke warga lain. Program ini belakangan dirasa sangat berdampak pada perekonomian masyarakat Lilibooi. Pembibitan juga dilakukan oleh Pemerintah Negeri Lilibooi mulai tahun 2015 sampai 2022. Puncaknya sangat dirasakan pada kurun waktu 2015 sampai 2018, tapi mulai mengalami penurunan ketika pandemi COVID-19 melanda.

“Waktu itu Dinas Pertanian beli bibit dari saya sampai ribuan bibit dengan harga satuan Rp.6.000,” ungkap Wempi. Namun, tahun 2019 pembelian mulai menurun karena sudah banyak warga yang juga melakukan pembibitan. Ini semakin menurun saat pandemi COVID-19, sampai tahun 2022.

Tahun kemarin Wempi mencoba merintis usaha perkebunan pepaya, yang menurutnya tidak memerlukan waktu lama sudah bisa produksi. Sayang, saat ia tinggal dua bulan untuk ke Surabaya, pohon-pohon pepayanya tidak tumbuh dengan baik. “Gara-gara curah hujan yang tinggi, akhirnya budidaya pepaya itu gagal,” tuturnya sembari geleng-geleng kepala. 

Beralih Profesi

Curah hujan yang tinggi beberapa tahun terakhir di Lilibooi disebut Wempi maupun Bote sebagai penyebab paling utama penurunan hasil panen cengkih dan pala di Lilibooi. Keluhan yang sama disampaikan Heydilester Tulaseket (40). Pohon yang berbuah sedikit membuat pemilik kebun cengkih tidak lagi menggunakan jasa suaminya untuk memanjat cengkih. Saat pemilik kebun tidak bisa naik, barulah mereka menggunakan jasa tukang naik cengkih. “Itu pun dapatnya sedikit saja,” ujar Heydi, Kamis, 28 September 2023, sembari sibuk mengangkut pasir di tepi pantai.

Heydi mengaku dia dan suami terpaksa menjadi penambang pasir di pinggir pantai. Hasilnya cukup lumayan untuk menutup kebutuhan sehari-hari. Pasir yang mereka tambang ditumpuk dekat rumah yang berada tidak jauh dari pantai dan dekat dengan jalan raya. “Kami biasanya cuma menunggu pembeli. Harga 1 rit [berkisar 1,3-1,5 m³] Rp.450.000, tapi terkadang dua bulan baru ada yang datang untuk membeli pasir,” jelasnya.

Usai mengangkut pasir, Heydi buru-buru mengangkat cengkih yang sedang ia jemur. Cuaca cerah tiba-tiba berubah mendung. Awan gelap memenuhi punggung hutan Negeri Lilibooi. Butir-butiran gerimis mulai jatuh. Ibu empat anak itu buru-buru menuangkan cengkih ke karung di sampingnya. Cengkih yang ia jemur itu didapat dari upah jasa suaminya naik pohon memanen cengkih pemilik kebun. Baru dua hari ini kepiawaian lelaki tersebut sebagai pekerja pemetik kembali digunakan. 

Biar pun banyak yang beralih pekerjaan dari bertani, tetapi Demianus Tulaseket (63) tetap bertahan merawat kebun palanya. “Kebun pala ini peninggalan orang tua, turun-temurun,” ujar Demianus, yang oleh warga di kampungnya lebih akrab disapa Om Kumis.

Om Kumis menuturkan sampai hari ini tetap mengelola pohon pala keluarga yang berjumlah 50 pohon. Jumlah pohon ini dari tahun ke tahun berkurang. “Berkurang karena serangan hama, tapi tidak banyak. Cuma terasa beberapa tahun belakangan ini hasil produksinya tidak sebanyak dulu,” ujarnya.

Dia mengaku memilih setia mengurus pohon-pohon palanya dengan berbagai risiko yang ada. “Mau buka kebun baru, tidak ada lahan lagi. Masing-masing hanya berharap dari dusung [persil tanah, sebidang tanah dengan ukuran tertentu yang dapat difungsikan sebagai lahan untuk perkebunan atau perumahan] warisannya. Jadi, kalau adanya cuma kebun cengkih atau pala, ya hanya itulah yang diurus,” ucapnya.

Hujan dan Hama

Sejauh pengamatan Om Kumis, menurunnya hasil pohon pala miliknya karena terkena hama. Dia terus mencari solusi untuk mengatasi serangan hama ini sebab hujan panjang akan setengah mati dampaknya pada panen.

Daun pala terkena hama putih di perkebunan di Desa Lilibooi, Kecamatan Leihitu Barat, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku. Penyakit ini dapat meengurangi produksi buah pala.

“Curah hujan tinggi itu yang mengganggu. [Hujan] bisa sampai banjir. Akhirnya muncul hama. Tiap tahun sama, hama makan di musim timur,” terang Om Kumis. Untunglah, kata dia, tidak seluruh pohon palanya diserang hama. Hanya beberapa pohon saja yang diserang. Hama penyerang ini, dari informasi yang ia dapat, adalah hama penggerek batang pala (Batocera sp), juga penyakit busuk buah kering (Stigmina myristicae). Sementara itu, hama tanaman cengkih adalah penggerek batang (Nothopeus sp.).

“Di musim ini [Mei-Juli] biasanya hujan nonstop sampai banjir. Kalau pohon pala diserang itu, semua batang pohon rusak dari bawah. Pohon mati total. Kalau cengkih seng [tidak] apa-apa, diperhatikan baik-baik saja. Pohon pala paling cepat terlihat dampaknya. Langsung mati,” ujarnya.

Di masa-masa awal pohonnya terkena hama, Om Kumis tidak tahu harus berbuat apa. Dia mengusahakan bermacam-macam solusi. Ada yang menyarankan pakai campuran isi baterai dan sabun cuci. Dia juga menggunakan obat pemberian Dinas Pertanian, seperti obat antijamur dan antilarva.

Dari berbagai upaya yang dilakukan, Om Kumis akhirnya paham bagaimana seharusnya memperlakukan pohon palanya, mulai dari penanganan penyakitnya, sampai antisipasi faktor iklim yang berpengaruh pada kesuburan serta produktivitas pohon palanya. Dia juga rajin melakukan peremajaan, mengganti pohon yang sudah tidak produktif.

Menurunnya produktivitas cengkih dan pala juga diakui Ismali Lararu, salah satu pengepul di kawasan Pertokoan Mardika, Kota Ambon. “Sudah sekitar lima tahun ini cengkih-pala ke tempat saya ini berkurang. Entah karena faktor apa, tapi kemungkinan besar faktor iklim,” ujar pemilik usaha UD Neira Permai ini. Dulu dia bisa membeli sampai satu ton. Sekarang ini hanya sekitar 200 kg sampai 300 kg ia beli.

Kepala Bidang Perkebunan pada Dinas Pertanian Provinsi Maluku, Donny Lekatompessy menyampaikan pernyataan yang berbeda. Cengkih yang tersebar di beberapa pulau dengan jumlah total 40.000 hektar justru sementara ini mengalami peningkatan produksi, yakni sebesar 22.000 ton per tahun. “Komoditas unggulan lainnya, yaitu pala, di Maluku sudah memiliki sekitar 36.000 hektare dengan produksi hampir 6.000 ton per tahun,” ujar Donny saat ditemui di ruang kerjanya, Senin, 9 Oktober 2023.

Ia katakan, khusus untuk pala, produksinya memang secara rata-rata masih ada peningkatan, yaitu 2%  per tahun. “Kalau cengkih, itu kan ada masa produksi. Misalnya, tahun ini produksinya tinggi, lalu tahun berikutnya turun. Cengkih itu fluktuatif. Dikenalnya sebagai siklus dua tahunan,” terangnya.

Rentan Perubahan Iklim

Perihal penurunan produksi, Donny belum mendapatkan data penurunan ini.  Ia menilai itu mungkin hanya pengamatan sepintas petani setempat, tetapi tidak menutup kemungkinan ada kaitannya dengan perubahan iklim saat ini. “Memang secara teori dibilang iklim berpengaruh sangat besar terhadap fisiologi tanaman. Perubahan iklim terkait dengan cuaca. [Pada gilirannya] curah hujan tinggi dan rendah berpengaruh terhadap produktivitas cengkih dan pala,” terangnya.

Terlalu banyak hujan, menurut Donny, kurang bagus. Sebaliknya, kurang hujan lebih tidak bagus lagi. Oleh karena itu, cengkih membutuhkan kondisi optimum. Menurunnya produktivitas tanaman cengkih dan pala ini, tambah Donny, sebenarnya merupakan akumulasi dari berbagai proses. Jadi, bukan saja faktor iklim, tapi juga pola pemeliharaannya.

Faktor perubahan iklim ini juga ditemukan oleh penelitian para akademisi dari Program Studi Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Pattimura, Ambon, yaitu Herman Rehatta, J. Audrey Leatemia, dan almarhum  Max . J. Pattinama, dalam riset tahun 2017 berjudul Dampak Perubahan Iklim terhadap Produktivitas Pala dan Cengkih di Provinsi Maluku, yang didanai oleh USAID.

Ditemui di ruangan kerjanya, 11 Oktober 2023, Herman menuturkan sektor pertanian termasuk cengkih dan pala, sangat rentan terdampak karena perubahan iklim berpengaruh terhadap pola tanam, waktu tanam, produksi, dan kualitas hasil. “Variabel iklim yang paling berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman adalah curah hujan, suhu, dan kelembapan udara. Perubahan tersebut dapat menurunkan produksi pertanian antara 5-20 persen,” ujarnya.

Warga melintas didepan cengkeh yang dijemur di Desa Lilibooi, Kecamatan Leihitu Barat, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku Cuaca yang tidak menentu membuat para petani cengkeh terpaksa mengeringkan cengkeh 2 kali lebih lama dari hari biasanya.

Berdasarkan penelitian mereka di sejumlah daerah di Maluku termasuk di Pulau Ambon, lanjut Herman, akhir-akhir ini perubahan iklim sangat terlihat. Curah hujan sangat tinggi. Pola hujan juga berubah. Hujan banyak, tetapi durasinya pendek. Ada situasi di mana satu hari hujan terus, tetapi besok panas lagi, tidak ada hujan. 

Menurut Herman, cengkih terkena banyak hujan itu berbahaya. Cengkih akan membentuk auksin atau asam indol asetat, yaitu hormon yang berada di ujung-ujung tanaman dan daun yang masih muda. “Yang terbentuk nanti justru pertumbuhan tunas baru atau vegetatif, tidak masuk ke generatif [pembungaan]. Hujan sangat berpengaruh [terhadap ini]. Jadi, tidak terbentuk bunga dan buah,” terangnya.

Menyikapi hal ini, Herman dan para koleganya menilai perlu pendampingan petani untuk menguasai teknik budidaya organik secara intensif. Caranya, antara lain, adalah penggunaan bibit tanaman bersertifikat, pemupukan, pengendalian hama penyakit terpadu, dan pemeliharaan kebun secara teratur. 

“Perlu juga ada sekolah lapang petani, sebagai sarana peningkatan kapasitas budidaya cengkih dan pala, serta pusat informasi iklim,” imbaunya. Harapannya para petani di Negeri Lilibooi bisa kembali merawat cengkih dan pala mereka dan mengembalikannya sebagai sumber perekonomian keluarga.

Berkolaborasi dengan iklimku.org

Teks: Embong Salampessy

Foto: Andri Saputra

Penyunting Teks: Kurniawan Adi Saputro