Puluhan petani sayuran di kawasan Malino, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, hanya bisa memandang nanar, menghela nafas panjang, atau bahkan menertawai keadaan. Mereka sudah tak kuasa melawan perubahan cuaca yang demikian cepat ini. Namun, mereka juga tak tahu harus mencari pertolongan dari mana.

Tulisan ini berkisah tentang sosok-sosok petani yang menghadapi kerentanannya sendiri. Mereka hanya bisa berpasrah dan menunggu keajaiban. Mereka seperti sekrup-sekrup kecil di bangunan masyarakat negara ini, tetapi sebenarnya secara bersama-sama mereka menghasilkan triliunan pendapatan.

Daeng Ba’rang

Perkenalkan Daeng Ba’rang (53 tahun), seorang petani sayuran yang bermukim di lingkungan Batu Lapisi Dalam, Kelurahan Malino, Kecamatan Tinggi Moncong, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Ba’rang duduk di ruang tamu rumahnya yang terbuat dari tembok. Lebarnya sekitar enam meter, dengan panjang sekitar 20 meter. Di tempat itu dia tinggal bersama istrinya, Mina (55 tahun), dan anak perempuan semata wayangnya yang berusia 25 tahun.    

Dia memiliki lahan seluas 200 meter persegi. Di tanah itu dia menanam berbagai macam jenis sayuran, mulai dari kembang kol, sawi, hingga cabai rawit. Setiap hari keluarga itu merawat tanaman dengan tekun, membersihkan rumput, dan menyiraminya. Selama puluhan tahun tanah itu telah memberi hasil, keuntungannya dikumpulkan, dan rumah itu adalah hasilnya. Kali ini mereka telah merombak bagian tengah rumah untuk membuat rangka cor beton.

Dua orang kerabat membantu tanpa menerima upah. Ba’rang berkata di kampungnya ada banyak orang yang memiliki keterampilan sebagai tukang bangunan yang bekerja pada proyek-proyek pemerintah melalui perantara kontraktor. Biasanya menjadi kuli bangunan dilakoni para petani itu ketika musim kemarau datang, sebagai pekerjaan musiman dengan upah Rp150 ribu per hari. 

“Kalau saya gaji, tidak mungkin saya bisa membangun rumah,” kata Ba’rang menunjuk dua orang itu. “Cukup bahannya saya beli sedikit demi sedikit. Di kampung kami masih saling membantu.”

Menjelang siang sebelum azan ibadah Jumat, di pertengahan September 2023, tiga orang itu menyelesaikan adukan campuran semen lalu bergantian menuangkannya dengan ember kecil ke dalam kotak memanjang yang di dalamnya diberi besi baja. Setelah itu, mereka duduk bersama makan. Siang itu hidangannya adalah ayam kuah yang nikmat, tapi tak ada sayuran. Mereka tersenyum sebab inilah yang dihadapi Ba’rang beserta petani lainnya. “Tahun yang susah,” katanya singkat.

Di sepanjang wilayah ini petani sayuran sedang menjerit. Tanaman mereka gagal panen karena kemarau yang panjang. Sudah empat bulan kawasan itu tak pernah diguyur hujan. Tanah pertanian menjadi retak. Debu beterbangan. Sungai mengering.

Ba’rang menanam kembang kol, yang usia tanamnya memasuki tiga bulan, dan seharusnya sebulan lagi akan panen, tapi sudah dipastikan gagal. Daun sayuran itu berbintik putih dan dipenuhi lubang. Bakal buah dari kembangnya sudah dipastikan tak akan keluar dan tak bisa lagi diselamatkan. “Dicabut saja nanti,” katanya.

Biaya awal tanaman itu mencapai Rp10 juta. Pemodalnya akan mendapat sebagian keuntungan dari hasil panen beserta pengembalian modal. Mina, istrinya, harus memutar kepala agar biaya hidup tetap terpenuhi.

Tahun ini ratusan petani di kawasan itu “berjudi” menanam sayuran di bulan Juli. Mereka berharap cuaca bisa berubah. Musim tanam, dengan siklus cuaca yang selama ini menjadi kebiasaan, sekarang sudah tak bisa diprediksi. Para petani di tempat-tempat yang jauh dari pusat pembuat kebijakan, yang mengandalkan pengetahuan lokal selama berabad-abad, kini mulai takluk. Selama sepekan penulis melakukan perjalanan di berbagai sudut kawasan ini, petani-petani yang berada di ladang berusia sama seperti Ba’rang. Anak-anak muda yang terjun ke sektor pertanian lebih memilih menjadi pedagang penghubung ketimbang bertani.

Dalam tradisi pengetahuan mereka, seharusnya menjelang Juli hujan masih mengguyur sesekali. Namun, hingga September ini kering terus, perkiraan mereka meleset. Mereka ingin berhenti menanam, tapi mereka tak punya pilihan. Ba’rang yang menanam pada Juli itu berharap ada keajaiban, tapi tak terjadi. 

Februari 2023 menjadi tahun “air mata” petani di kawasan ini. Ribuan hektare gagal panen. Kentang, wortel, mentimun, kol, hingga tomat membusuk di pohon. Berkebalikan dengan kemarau panjang ini, saat itu hujan mengguyur dengan intensitas tinggi.

Puang Jari’

Puang Jari’ (48 tahun), yang bermukim di desa Tonasa, Kecamatan Tombolo Pao, mengingat Februari sembari menggeleng kepala dengan bahu sedikit terangkat. “Baru satu hari kami selesai panen tomat, besoknya akan panen di hamparan lainnya,” katanya. “Tapi jelang siang, hujan tiba-tiba datang tidak berhenti. Anginnya juga menjadi kencang. Pohon tomat semuanya tumbang. Batang-batangnya patah. Tidak ada lagi yang bisa dilakukan.” 

Hingga Maret hujan terus mengguyur. Bulan berikutnya hujan mereda. Kemudian panas menyengat. Lahan pun dibersihkan kembali. Dia kemudian menanam cabai keriting. Sungai di dekat lahannya masih cukup baik mengalirkan air. Dia menyedotnya menggunakan mesin pemompa dan membuat jaringan pipa untuk penyiraman dengan pola memercik. Namun, hingga Juli cuaca menjadi lebih ekstrem dan sangat panas. 

Air sungai mulai berkurang. Beberapa anakan sungai bahkan mengering. Sungai-sungai besar juga hampir kerontang. “Karena kurang sekali mi air di sungai, semut bisa menyeberang sambil jalan,” katanya.

Setelah dihantam guyuran hujan pada awal tahun. Kini petani menghadapi kemarau yang entah kapan akan berakhir. “Kemarau sebelumnya tidak panas seperti sekarang. Itu rumput sampai mati semua. Dulu tidak,” katanya. 

“Kalau sampai September akhir ini tidak ada hujan, akan banyak petani yang gulung tikar. Mungkin saya juga.”

Puang Jari’ hanya bisa berharap alam kembali membaik. Dia tak tahu mengapa perubahan iklim ini terjadi. Dia tak pernah mengerti bagaimana suhu bumi meningkat dan membuat es di kutub mencair. Yang pasti baginya dan ribuan petani lainnya kemarau telah membuat tanamannya tak bisa tumbuh dengan baik. Tanamannya mati dan kemunculan hama semakin masif. “Karena panas, semakin banyak orang jual racun. Banyak sekali,” katanya. 

Puang Jari’, pada pertengahan September 2023, sekitar pukul 10.00 berada di petak lahannya. Dia bersama pekerjanya sedang memanen cabai keriting. Awalnya dia enggan berbicara dengan kami yang mengunjunginya. “Saya pikir orang promosi racun lagi,” katanya sembari tertawa.

Saat berjalan di sela tanaman cabai yang tingginya sekitar 1 meter, dia berhenti. Tangannya mengangkat pucuk tanaman yang daunnya menjadi keriting. “Ini sudah mati. Tidak tahu pakai obat apa lagi untuk selamatkan,” katanya.

Di teras rumah kebunnya Puang Jari’ menyuguhkan kopi. Penganan dari kue juga terhidang di piring. Sementara itu, tangannya sibuk mengibas-ngibas, mengusir ratusan lalat. Kemunculan lalat juga menjadi pertanyaan baginya. Tahun-tahun sebelumnya lalat bukanlah serangga yang bisa membuatnya kesal. “Dari mana datangnya? Tidak tahu. Muncul dan tiba-tiba banyak,” katanya. “Dulu kalau ada lalat mungkin karena ada tumpahan kopi atau ada sisa makanan, tapi tidak banyak, hanya puluhan ekor. Sekarang ini ratusan, bisa ribuan.” 

Jelang sore Puang Jari’ mulai mengangkut hasil panen cabai keriting ke pinggir jalan. Ada puluhan kantong dijejerkan. “Sekarang ini kalau panen paling banyak 200 kg. Sebelum kemarau, panen bisa 1 ton setiap tahun,” katanya.

Harga setiap kantong cabai keriting Rp10 ribu hingga Rp20 ribu per kilogram dengan berat setiap kantong 10 kg. Harga di bulan September (saat liputan) sangat jauh di bawah normal. Menjelang pertengahan Oktober (saat tulisan dibuat) harganya naik menjadi Rp25 ribu hingga Rp28 ribu per kilogram. Kata Puang Jari’ harga itu sudah masuk dalam kategori normal. Meski demikian, harga yang kembali normal tidak diikuti produktivitas tanaman, yang semakin hari semakin berkurang. 

““Itu mau dikirim ke Sorong, Papua. Pelanggan saya di sana sudah menelepon terus dan minta,” katanya. “Mereka kadang-kadang marah, tapi saya bilang, ‘Mungkin hanya Tuhan yang bisa tolong kembalikan ini keadaan.’ Jadi, kalau cabai itu sampai ke Sorong, buahnya jadi kempes dan beberapa hitam. Sementara itu, kalau buah cabai yang sehat [bisa tahan] sampai satu minggu. Itu cabainya tidak akan berubah dan besar juga.”

Sandi

Sandi (40 tahun), seorang petani lain, menambahkan, “Kalau begini terus, bagaimana kita hidup,” kata. Ia duduk di pematang tanaman sawi milik keluarganya. Kebunnya berada sekitar 500 meter di bagian lain. Badannya masih dipenuhi keringat karena baru selesai mengangkut air dengan jeriken untuk menyiram tanaman sawi hijaunya yang berusia satu bulan dan kembang kolnya yang berusia dua bulan. Bayangan gagal panen sudah menghampirinya. Kemarau dan hama menjadi faktor utamanya. Dia menunjukkan hama yang oleh para petani disebut kutu loncat. Ini adalah kumbang kecil yang memakan daun tanaman. “Kalau disemprot racun, dia pindah. Bisa lompat,” katanya. 

Dia membalik lembaran daun sawi dan memperlihatkan bintik putih yang menempel. Dia menyebutnya telur si kutu loncat. Setelah difoto dan diperbesar, rupanya itu adalah anakan kumbang. “Nanti satu daun ini bisa habis dia makan, lalu pindah lagi,” katanya. 

“Kalau sawi begini yang dijual itu daunnya. Kalau rusak dan lubang-lubang, harganya jadi murah dan juga tidak laku.” 

Di kampung Batu Lapisi Dalam, dari motor yang melaju pelan di jalan aspal menurun yang meliuk-liuk tampak punggung bukit merana di kejauhan. Rumput yang menyelimutinya menjadi coklat bagai terpanggang. Pepohonan dengan dahan dan ranting terlihat tanpa daun.

Bukit-bukit itu memperlihatkan bebatuan. Tanahnya nampak kemerahan dan kecokelatan. Jika bukit itu diandaikan manusia, mereka berdiri dengan badan kurus yang menampilkan tulang rusuk.

Malino adalah suatu kawasan di bawah bentangan pegunungan Lompobattang. Orang-orang saban waktu dan paling ramai pada akhir pekan memacu kendaraan dari Makassar sekitar 2 jam untuk mendapatkan udara sejuk di sini. Tempat ini berada di ketinggian 1000 mdpl.

Malino adalah kawasan wisata. Villa dan hotel di sepanjang lahan pertanian terlihat megah berdiri. Bentuknya beragam, dari mulai ‘gaya’ minimalis hingga bergaya Eropa. Warnanya juga mencolok. 

Di wilayah ini ada perkebunan teh yang berdiri sejak pemerintahan Belanda. Ada pula pesanggrahan yang dibangun tahun 1927, yang kemudian dijadikan tempat perundingan membentuk Negara Indonesia Timur. 

Sejak dulu Malino menjadi sentra produksi pertanian. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat produksi tanaman semusim tertinggi tahun 2020 mencapai 40.702 ton. Tanaman sayuran lainnya adalah bawang daun dengan produksi mencapai 20.730 ton. Kemudian wortel 18.741 ton, lalu tomat 14.612 ton, dan kubis 9.929 ton. 

Suyuran tomat yang rusak di lahan pertanian milik warga akibat kekurangan suplai air di lingkungan Batu Lapisi Dalam, Kelurahan Malino, Kecamatan Tinggi Moncong, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.

Sayuran dari wilayah inilah yang memasok kebutuhan di Makassar hingga beberapa wilayah di Indonesia bagian Timur. Namun, demikian setiap waktu, lahan pertanian semakin menyusut karena pembangunan hotel untuk sarana pariwisata. Harga tanah bahkan meningkat tajam, mencapai jutaan rupiah per meter.

“Sudah banyak petani yang menjual tanahnya dijadikan villa. Mereka lalu bekerja di villa itu sebagai buruh. Itu buat sedih,” kata Arifuddin.

Arifuddin

Arifuddin menerka usianya sendiri sudah menjelang 40 tahun. Dia tak bisa baca dan tulis, tapi dia seorang petani penggarap yang ulet. Keluarganya tak memiliki lahan sendiri. “Saya lihat sekarang petani sayur mulai beli sayur juga. Saya pikir ini ada yang salah,” katanya. “Kalau petani tidak ada lagi tanah, itu kayak kiamat,” lanjutnya. 

Lima tahun yang lalu, dalam ingatan puluhan warga, saat kemarau datang pun setiap pekan selalu saja turun hujan, meski hanya sesaat. Namun, lima tahun setelahnya kemarau seperti bara yang panas. Tidak ada hujan sedikit pun. Puncaknya pada 2023. 

Sejak Juni hingga September rasanya langit tak pernah memunculkan awan kumulus – pembawa hujan. Langit selalu biru, bahkan mulai pukul 5.30 hingga 18.30. Pengetahuan lokal yang digunakan leluhur dalam menghadapi musim tanam akhirnya menjadi usang, tak terpakai.

Bagi petani Malino Juli seharusnya masih turun hujan dan kemarau datang menjelang September. Namun, pada 2023 hujan mengguyur kawasan itu pada Februari. Sayuran yang ditanam pada Desember menjadi gagal panen pada Februari karena air melimpah dan membusuk. Kentang, wortel, hingga bunga kol gagal panen. Selain intensitas hujan, angin juga menjadi semakin kuat. Tanaman yang masih berusia sekitar dua bulan menjadi patah, termasuk tomat hingga cabai. Para petani mengelus dada. Harga merosot. “Kalau bawa uang Rp20 ribu, bisa dapat 1 karung kentang,” kata seorang petani. “Tomat satu kantong plastik merah [20 kg] itu hanya Rp5 ribu,” petani lain berbicara. “Sawi tak perlu beli. Minta saja.”

Ma’rang

Di saat panas menyengat itu Ma’rang (62 tahun) bersama istri dan anaknya sedang membersihkan rumput di sela bedengan tanaman. Dia menanam daun bawang, yang usia tanamnya sudah memasuki tiga bulan. Sekitar dua pekan lagi seharusnya panen, tapi tanaman itu tumbuh kurang baik dan menguning.

Daun bawang tumbuh berumpun. Satu rumpun terdiri dari sekitar 10 hingga 15 helai daun. Daun-daun yang menguning itulah yang dicabut keluarga Ma’rang, dengan harapan tak mengganggu helai daun lain. “Kalau sudah dicabut yang kuning, besoknya yang lain juga menguning,” katanya. 

Daun kuning itu, menurut Ma’rang, karena jamur. Dia mengutip penjelasan orang-orang yang datang menjual racun pestisida. Dia juga telah mengikuti saran para penjual itu, tapi hasilnya selalu nihil. Tahun ini sudah dua kali dia gagal panen. Sekali modal awal kembali, sekali lainnya merugi.

Anak perempuannya yang ikut ke kebun menyaksikan tanaman itu dengan tatapan yang remuk. Dia sudah kuliah semester akhir di sebuah universitas di Makassar. Dia berucap pada Ma’rang, “Bagaimana jika tanaman ini gagal panen lagi? Bagaimana uang semesterku, Pak?” 

“Sabar. Nanti dicarikan jalan,” jawab Ma’rang.  

Ma’rang adalah petani yang cukup beruntung di wilayah desa Tonasa. Lahannya sederet dengan Puang Jari’. Di lahannya terdapat anak sungai yang mengalirkan air meski dengan debit yang kecil. Sebaliknya, di sisi jalan yang berhadapan dengan kebunnya ratusan hektare hamparan lahan sudah tak bisa lagi digarap. Sungainya telah mengering beberapa bulan lalu.

Sungai Jeneberang yang mengering akibat kemarau panjang dikawasan Malino, kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Sungai terbesar yang membelah wilayah Gowa. Hulu Jeneberang berada di Pegunungan Bawakaraeng ini menjadi suplai air pengairan pertanian dan industri pembangkit yang mulai terancam.

Pilihan untuk para petani adalah menanam ubi jalar dan singkong. Sialnya tanaman itu tetap membutuhkan air saat proses pertumbuhan. Kini, meski tanaman itu tetap hidup, umbinya kecil dan tak layak jual, atau bahkan tanaman mati.

Petani-petani itu menceritakannya dengan jiwa terpukul. Bagi mereka peristiwa ini bagai suara dentuman pintu kiamat yang terbuka. Mereka bergidik, tapi tidak menyerah. Kini mereka pelan-pelan kembali menanam, berharap cuaca berubah.

Berkolaborasi dengan iklimku.org 

Teks: Eko Rusdianto

Foto: Iqbal Lubis

Penyunting Teks: Kurniawan Adi Saputro