Tumandang Gesang di Tanah Kerontang

Di penghujung September yang kering petani Wintaos bangkit bekerja di bukit-bukit kerontang. Karung-karung berisi pupuk tersebar di perbukitan gamping yang bertanah cokelat merah. “Bersiap-siap. Saat hujan datang, petani sudah siap menyambutnya,” tutur Rebiyo (49). “Petani siap-siap menanam benih padi, membuat kowakan [lubang tanam], menyebar rabuk.”

Kaum tani sedang menggeliat di lanskap ‘adoh ratu, cedhak watu’, yakni Padukuhan Wintaos, Girimulyo, Panggang, pedalaman selatan Gunungkidul, Yogyakarta. “September kita pol-polan [habis-habisan] lalahan untuk menyambut hujan,” imbuhnya menegaskan harapan hidup kepada tanah dan hujan.

Lalahan sebenarnya berarti lahan yang sudah siap tanam, tetapi bagi mereka ini berarti mengolah lahan perlahan-lahan selama kemarau. Petani mulai mengumpulkan, membungkus, lalu mengangkut rabuk ke lahannya. Setelah itu, petani menggelar lalahan di wana. Wana—bahasa Jawa halus untuk hutan—adalah hamparan lahan dengan beragam fungsi: peternakan, perhutanan, dan pertanian lahan kering. Wana juga seperti rumah kedua bagi warga Wintaos. Tak mengherankan, saat lalahan dusun senyap ditinggalkan warga bekerja di wana. 

“Saat ini waktunya. Nanti, setelah hujan, petani menanam jagung dan ketela pohon,” Rebiyo menegaskan. Dalam perhitungan Rebiyo, bila hujan turun satu bulan ke depan berarti petani tepat waktu dalam menanam padi—lalu palawija. “Sangat pas … hasilnya paling bagus.”

Sudah sejak Juli 2023 hujan tidak datang di Wintaos. Aroma air dari langit masih jauh. Kemarau sedang di puncak musim. Siang begitu hangat, malam begitu dingin. Langit biru cerah, angin berhembus dingin. “Sedang bedhidhing, enaknya berjemur,” tuturnya, mengamati cuaca beberapa pekan terakhir.

Seandainya hujan belum turun hingga November, Rebiyo bertutur, “Kacau, kacau … masalah terbesar di Wintaos adalah air. Kekeringan bikin susah. Air tidak ada, PAM tidak mengalir. Imbasnya hewan ternak kekurangan pakan. Manusianya kekurangan air minum dan kurang mandi.” 

Wintaos berdiri di perbukitan kars Gunungsewu yang membujur di sepanjang sisi selatan Jawa. Tanah Gunungsewu yang kapur tidak memberi kesempatan air menggenang terlalu lama di permukaan tanah. Air permukaan cepat lolos ke dalam bumi, membentuk aliran sungai bawah tanah.

Hingga pekan terakhir September, saat ini ditulis, Rebiyo telah membeli dua tangki air. Satu tangki seharga Rp.150 ribu dan tak cukup untuk seminggu. “Membelinya pakai uang; uang itu barang susah,” dia melanjutkan, “hidup di Wintaos harus lincah. Kalau tidak, bisa kacau.”

Harga satu tangki air, sekitar 5.000 liter, bisa lebih dari Rp.150 ribu bila rumah jauh dari jalan raya desa. Harga bahkan bisa mencapai Rp.200 ribu untuk rumah-rumah yang di pelosok.

Gerak hidup kadang tani Wintaos tergantung pada kemurahan langit, tanah, dan bahu (tenaga). Kerja lincah menuntut petani mengerjakan lalahan di bawah tatapan matahari tropis. Gesang di tanah kerontang ini telah mendarah daging dalam jiwa manusia tanah kapur Gunungkidul.

***

Menjelang tengah hari itu Sudinem (51) beristirahat bersama kadang wanita tani, bernaung di bawah tajuk melinjo. Mereka meleseh di tanah kering yang retak-retak. “Membuat lalahan sejak jam 9 pagi sampai jam empat sore. Kita tidak pulang … ini sudah membawa bekal,” tuturnya sembari menunjuk berbagai camilan yang tersaji di atas tanah. Mereka berbincang saut manuk, memecah kesunyian wana. 

Di lahan itu Sudinem akan menanam segreng, varietas padi lahan kering. Segreng dikenal tahan panas dan tiga bulan sudah panen kata Sudinem. Karena hanya tiga bulan, segreng membuat Sudinem ayem. Kalau terlalu lama akan membuat deg-degan, apalagi saat hujan jarang-jarang.

Segreng ditanam di lahan yang cukup luas di lembah bukit. Berbeda dengan segreng, jagung ditanam di lereng bukit yang berbatu-batu. Umumnya lahan lereng bukit memang sempit, lapisannya tipis, dan berbatu-batu. “Nanti dibuat kowakan untuk menanam jagung,” tutur Sudinem sambil memetiki daun melinjo untuk sayur nanti.

Mengolah lahan 12 petak, Sudinem memerlukan bantuan Wardilah, Sumirah, Watini, dan Ngatilah. Sementara itu, suaminya masih bekerja di proyek di Kabupaten Bantul. Lalahan dikerjakan pelan-pelan tergantung ketersediaan waktu dan tenaga.

Saat lahan siap, petani lantas ngawu-awu: menebar benih padi. “Saya belum tahu kapan menebar benih, tergantung tenaga, dan waktu Bapak yang masih bekerja di Bantul.” Kapan pun itu, yang pasti ngawu-awu harus sebelum hujan pertama. Waktu yang tepat untuk ngawu-awu penting dalam pertanian lahan tadah hujan di Gunungkidul. Boleh dibilang, memilih waktu ngawu-awu adalah salah satu kiat dalam budidaya padi yang diadaptasikan untuk perbukitan kars yang kering. Secara bahasa, kata ngawu-awu berarti meneruskan tradisi leluhur (awu = leluhur), sekaligus bermakna menyebar benih padi.

Dalam budidaya padi Wintaos, penebaran benih padi diupayakan tidak terlalu lama menunggu hujan pertama. Bila terlalu lama menunggu hujan, benih terlalu kering terpanggang matahari sehingga rawan tidak tumbuh. Sementara bila hujan turun lebih cepat, petani pontang-panting. Mereka tergopoh-gopoh menyiapkan lahan, kalang-kabut menebar benih padi, lalu menanam ketela, jagung. Pekerjaan bertumpuk-tumpuk. Tenaga kerja juga sulit lantaran para petani sibuk menggarap lahan masing-masing. Lebih-lebih, tanah yang basah lebih sulit diolah karena lengket dan alot. 

***

Matahari masih ramah saat Tariman (66) ngawu-awu di pekan terakhir September. Lalahan telah selesai beberapa hari sebelumnya. Lahan bersih, rata, dan berabuk. Di bagian tengah lahan ia membuat dua larik kowakan, yang setelah hujan turun akan ia tanami ketela. 

Wana di sekitar lahan Tariman sungguh ideal dengan beragam usaha-tani: padi, ketela, palawija, peternakan, perhutanan. “Itu yang dipanen kayunya,” ungkap Tariman, mengangkat dagunya buat menunjuk tegakan jati di bukit kecil berbatu. 

Di hari cerah penuh berkah itu ia menebar benih padi secara sembarang di seluruh penjuru lahan. Segenggam demi segenggam benih ia tebar rata. Untuk lahan itu Tariman perlu kira-kira 25 kilogram benih segreng. 

Cara menanam padi ini disebut nyawur tinggal: benih disebar begitu saja dan dibiarkan. Setelah nyawur, tanah bertabur benih itu segera diluku (dibajak). “Itu untuk menguruk bibit padi. Kalau tidak diuruk tanah, bibit tidak tumbuh. Benih bisa saja dimakan burung, ataupun kirit, hanyut terbawa air hujan.” Ia meluku dengan menyewa mesin pembajak dan operator. Cepat dan mudah. 

Selesai dibajak, hamparan lahan berbenih padi itu dibiarkan sampai hujan turun. Kini ia berserah pada langit untuk bermurah hati segera menurunkan hujan. Harapan terbaik Tariman adalah sebulan ke depan hujan mengguyur Wintaos.

Tariman adalah petani yang paling awal menanam padi. Saat kemarau memuncak, ia telah ngawu-awu, sementara sebagian petani yang lain masih membuat lalahan. Kemungkinan lain, meskipun lalahan telah selesai, petani memilih menunda menyebar benih padi.

Kendati berbeda-beda dalam menentukan waktu tanam, petani Wintaos bersandar pada ilmu titen leluhur. Ilmu berdasarkan pengamatan ini membekali petani dengan pranata mangsa (tata musim) yang menjadi pedoman mereka berbudidaya padi lahan kering.

Salah satu yang dititeni adalah lintang waluku (Orion). Saat jam tiga pagi—subuh, kata Sunaryadi Purwanto (63), bila lintang waluku sudah ngglewang (miring) ke langit barat, menandakan saatnya menanam padi. “Saat lintang waluku mbedhug, tepat di atas kepala, petani membuat gubuk.” Gubuk yang rusak diperbaiki atau membangun yang baru untuk berteduh nanti kala musim hujan. “Kalau lintang waluku sudah ngglewang, saatnya tumandang [bekerja],” jelasnya lebih lanjut.

Pranata mangsa juga melihat perkembangan tanaman pertanian—fenologi. Setelah tiga bulan, petani memanen padi, yang dilanjutkan dengan menanam kacang tanah. Kira-kira tiga bulan kemudian, kacang tanah panen, yang bersamaan dengan ketela. “Panen kacang tanah dan ketela antara Juli dan Agustus. Maka dari itu, pas Agustus gaplek atus [ketela kering]. Sambil mengolah gaplek, petani menggarap lalahan pelan-pelan selama Agustus hingga September, sesuai waktu dan tenaga.”

Kini petani berpedoman pada kalender masehi yang telah dilengkapi pranata mangsa. Saat memulai tahun, Purwanto membubuhkan tanda di penanggalan baru untuk hari penting uwas dan nas, sebagai kelanjutan kalender tahun sebelumnya. “Uwas itu hari larangan berdasarkan wuku yang diikuti semua orang—siapa pun. Nas berarti hari larangan keluarga, misalnya, hari meninggalnya orang tua. Jadi, nas setiap orang berbeda-beda,” terang Purwanto. 

Dalam menentukan waktu tanam padi, selain mengikuti pranata mangsa, petani juga menghindari uwas dan nas. “Pasti, saya tidak akan menabur benih pada hari uwas dan nas saya.”

Purwanto coba merunut beberapa bulan dalam pranata mangsa (aturan musim) untuk persiapan lahan dan menabur benih. Juli-Agustus masuk mangsa ketiga; September-Oktober mangsa keempat; dan Oktober-November mangsa kelima. Mangsa ketiga awal, kata Purwanto, menandai awal kemarau. Mangsa keempat ditandai berseminya tumbuhan gadung, gembili, dan uwi—sejenis umbi-umbian. “Mangsa kelima itu kali mati, sungai kering, kemarau. Candranya terlihat ampak-ampak [uap bahang] di permukaan tanah.” 

Pada bulan-bulan inilah petani membuat lalahan hingga menanam padi. Menabur benih biasanya pada mangsa kelima, antara Oktober sampai November. “Kira-kira dua atau tiga minggu setelah lahan siap, bisa menabur padi.” Nanti, mangsa keenam, hujan turun dan padi tumbuh. Setelah hujan turun, petani menanam ketela, kacang tanah, jagung.

Bulan September, dalam perhitungan Purwanto, masih mangsa keempat, belum saatnya menabur benih padi. “Masih terlalu jauh hujannya. Saya belum berani menanam padi,” ujarnya.

***

Lintang waluku telah miring ke langit barat. Lahan telah siap tanam. Gubuk kecil sudah berdiri di kaki bukit. Hari itu ia menabur benih di dua bidang lahan di Malikan, sisi timur Wintaos. Setelah selesai, ia akan berpindah ke sebidang lahan di lokasi yang berbeda.

Pada awal Oktober itu, Purwanto menebar segreng di lahan yang telah tertata. Meski tetap ditebar, ia menabur benih di alur-alur tanam yang rapi. Ini berbeda dengan Tariman yang menebar benih secara sembarang. Itu cara zaman dahulu, kata Purwanto. Larik-larik alur tanam itu ia buat dengan garu ‘tanam jarak legawa’ (tajarwa). Dengan cara ini tanaman padi tumbuh rapi sehingga perawatan dan penyiangan gulma lebih mudah. Purwanto mengerahkan istri, besan, anak, keponakan, dan menantunya. Setelah selesai, Purwanto berpindah ke lahan lain yang mereka kerjakan hingga menjelang sore.

Saat matahari perlahan melindap, dia berharap hujan segera turun. “Kula boten saged ngaturi kapan panen. Itu tergantung kapan hujan turun. Intinya, tiga bulan setelah hujan, padi panen. Kalau hujan mundur, panen mundur. Hujan cepat, panen cepat.” Yang jelas, ia tak berharap benih terlalu lama menunggu hujan. Bila kemarau panjang, ia melanjutkan, “Jelas gagal. Tak ada cara lain selain mengganti tanaman padi. Orang tua dulu bilang, gek ndang dikacang, segera diganti kacang tanah. ”

Warga Wintaos tidak menjual hasil panen padi. Gabah disimpan di lumbung dan dikonsumsi keluarga. Bila gagal panen atau hasil berkurang, persediaan pangan berkurang untuk musim selanjutnya, sedangkan jagung, ketela, dan kacang tanah dijual untuk memperoleh pendapatan. Padi tidak dijual, kata Purwanto, untuk keamanan pangan keluarga. “Meskipun tidak punya rupiah, tapi pangan aman.”

Pada 2023 Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprakirakan, el Nino memengaruhi musim kemarau semakin kering dan panjang. Awal hujan diprakirakan datang terlambat, antara akhir Oktober hingga pertengahan November. Prakiraan itu masih sesuai dengan harapan Purwanto dan para petani tadah hujan. Hanya saja, pengaruh el Nino bisa sampai akhir Desember 2023.

Namun, tahun lalu dikenang petani sebagai masa pontang-panting. Selama tiga tahun, 2020-2022, la Nina membuat musim hujan di Indonesia begitu basah dan berlarut-larut. Dalam Prakiraan Musim Hujan (PMH) 2022-2023, BMKG menyebut la Nina memengaruhi musim hujan 2022 menjadi lebih basah dari normal (normal curah hujan 1991-2020). Menurut Prakiraan Musim Hujan itu, di Gunung Kidul bagian selatan awal musim hujan maju pada Oktober 2022.

“Kalau tidak salah, pertengahan September sudah hujan,” kenang Rebiyo. Hujan tentu disambut suka cita karena petani hanya mengandalkan air yang turun dari langit. “Hanya saja, karena musim hujan maju, waktu tanam jadi kacau. Hujan sudah turun, lahan belum siap, pupuk belum siap, ya, kalang kabut. Tahun lalu lebih kacau.”

Tariman memilih bersicepat menanam padi juga karena pengalaman pahit tahun lalu. “Hujannya maju,” kata dia, ”saya gugup karena belum menebar padi.” Ia juga kesulitan mencari tenaga kerja untuk lalahan dan menanam padi. Betapa sulit mencari tenaga saat para petani sibuk di lahan masing-masing. “Akhirnya, kami tergopoh-gopoh …,” ujar Tariman. Saat menabur benih padi, Tariman bekerja hanya ditemani sang istri, Pujinah. Untuk menguruk benih, ia menyewa mesin bajak.

“Keduluan hujan,” Purwanto memaparkan, “akibatnya, tanah terlalu banyak air, dan hasil panen tidak terlalu bagus. Istilahnya, tanah kadhemen, kedinginan. Segreng kurang cocok di tanah yang basah. Petani repot banget. Tanah amburadul karena belum lalahan.”

Selain itu, Purwanto masih ingat, gaplek gagal. “Agustus itu gaplek atus, ketela kering. September turun hujan. Gaplek gagal karena tidak ada panas untuk menjemur ketela. Gaplek akhirnya untuk pakan sapi.”

Tanpa disadari, Purwanto dan petani Wintaos sebenarnya mengamati dan merasakan perubahan iklim. Cuaca kian ekstem dan bertingkah. La Nina membuat cuaca lebih basah, musim hujan lebih lama. El Nino membuat cuaca lebih hangat, kemarau lebih panjang. Saat la Nina memengaruhi cuaca 2022 lalu, petani Wintaos kelimpungan dalam bercocok tanam. Musim hujan maju, berbeda dengan pranata mangsa, dan di luar dugaan petani.

Di tahun 2023 ini penentuan waktu tanam dibayang-bayangi musim kemarau berkepanjangan akibat el Nino. Bila hujan tak turun hingga pekan kedua November atau mangsa keenam dalam pranata mangsa, padi yang telah ditanam berisiko tak tumbuh.

Purwanto berharap musim kemarau 2023 segera berakhir, “Kemarau, kalau bisa, jangan sampai akhir November. Saya berdoa mudah-mudahan itu tidak terjadi.” Saat senja menjelang, ia beranjak mencari pakan ternak. Ia bergegas meninggalkan lahan yang telah bertabur gabah. Lahan Purwanti yang semula hampa, kini telah berisi benih pangan masa depan. Lahan itu rahim kehidupan. Damai. Sarat harapan.

Kelak hujan turun, kehidupan bangkit dari lahan-lahan cengkar itu. Langit jingga cerah. Seharian itu, langit Wintaos biru bersih. Belum ada pertanda mendung berarak membawa uap air. ***

Berkolaborasi dengan iklimku.org