© Solar Generation/Alvin Arfiandi

Krisis Iklim yang sudah sampai di halaman rumah kita membutuhkan transisi energi segera dari energi kotor batubara ke energi terbarukan. Namun, transisi energi yang saat ini terjadi belum melibatkan partisipasi masyarakat.

Penggiat energi terbarukan Iskandar Kuntoadji menyampaikan pentingnya demokratisasi energi di Indonesia. Karena itu, ia berharap para akademisi dan NGO melibatkan masyarakat dalam upaya transisi energi komunitas.

“Libatkan partisipasi masyarakat. Bangun energi terbarukan sesuai imajinasi masyarakat,” kata Iskandar dalam forum Community-based Independent Power Producer (CIPP) Just Energy Transition for People (JETP) pada Selasa (21/11/2023).

Menurut Iskandar, partisipasi masyarakat ini penting karena mereka memiliki hak atas energi. Masyarakat juga berhak memilih sumber energinya sendiri sesuai kebutuhan dan sumber daya komunitas mereka.

Iskandar adalah pendiri Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan (Ibeka). Bersama istrinya Tri Mumpuni, ia aktif mendampingi masyarakat yang ingin menerapkan energi terbarukan, terutama lewat Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMh). Upaya itu ia lakukan melihat sulitnya akses listrik di berbagai desa Indonesia.

Tidak hanya Iskandar, sekitar 19 perwakilan komunitas penggiat energi terbarukan dan sejumlah akademisi pun hadir dalam forum pertemuan antar pengelola pembangkit listrik komunitas atau Community-based Independent Power Producer (CIPP) Just Energy Transition for People (JETP) ini diselenggarakan oleh Trend Asia, Greenpeace Indonesia dan Enter Nusantara. 

Forum ini berjalan sebagai ruang dialog dan berbagai pengalaman mengenai praktik penerapan energi terbarukan di komunitas.Sekaligus sebagai acara tandingan atas peluncuran Rencana Investasi dan Kebijakan Komprehensif (Comprehensive Investment and Policy Plan – juga disingkat CIPP) oleh Sekretariat JETP antara pemerintah Indonesia dan pemerintah negara-negara maju G7. Sebabnya, CIPP JETP pemerintah itu berisi berbagai rancangan kebijakan yang melibatkan solusi palsu dan kurang memberi ruang bagi partisipasi masyarakat. 

Salah satu penggiat energi terbarukan yang juga hadir adalah Sodong dari masyarakat adat Kasepuhan Gelar Alam atau Ciptagelar. Sodong bercerita , masyarakat Gelar Alam telah memanfaatkan PLTMh sejak tahun 1987. Sejak awal, masyarakat aktif terlibat dalam pembangunan dan pemeliharaan teknologi energi terbarukan itu.

Partisipasi ini datang dari keinginan masyarakat sendiri untuk mendapatkan listrik dari sumber yang tidak merusak alam. Hal ini sesuai filosofi masyarakat Gelar Alam sendiri yang melarang perusakan alam dan menganjurkan gotong royong.

“Tujuannya agar tetap bisa menjaga semangat gotong royong warga. Saat turbin air rusak, warga pun bergotong royong memperbaikinya,” tutur Sodong.

Senada dengan Sodong, akademisi UGM Rachmawan Budiarto juga menyatakan pentingnya melibatkan masyarakat dalam transisi energi agar Indonesia bisa berdaulat.

“Transisi energi itu bukan berarti kita mengurangi impor energi fosil dan menggantinya dengan impor energi terbarukan. Tapi, kita ingin bisa berdikari dengan energi terbarukan,” tegas Rachmawan Budiarto, akademisi UGM yang juga terlibat dalam proyek pengembangan energi terbarukan di berbagai komunitas.

Demi Indonesia bisa berdaulat energi, Rachmawan mendorong partisipasi masyarakat dalam transisi energi. Tak sekedar teori, ia juga aktif melibatkan masyarakat dari tahap perencanaan, pengelolaan, pemeliharaan, hingga pengembangan institusi finansial pendukung energi terbarukan di berbagai desa Indonesia. 

Para penggiat energi terbarukan ini adalah ujung tombak dari transisi energi yang berkeadilan. Kehadiran JETP seharusnya juga dapat membiayai dan menjangkau komunitas dan masyarakat yang ingin mengembangkan energi terbarukan, bukan hanya mendanai proyek-proyek skala besar. 

Ahmad Zuhhad adalah penulis untuk Bumi Butuh Aksi dan Greenpeace Indonesia.