Berita “Bumi tak lagi panas, tapi mendidih” sedang viral. Juli lalu tercatat rekor baru suhu Bumi terpanas sepanjang sejarah. Jika tak ada tindakan nyata untuk mengatasi krisis iklim dan cuaca ekstrem, rekor ini mungkin akan terus terlewati saban tahun.

Gelombang panas dirasakan di berbagai belahan dunia, seperti Amerika, Cina, Eropa, bahkan di beberapa negara Asia. Namun di Papua, saya masih bisa merasakan sejuknya udara pada siang hari yang panas. Sebab, saya memang bermukim tak jauh dari kawasan hutan yang masih asri.

Rainforest in South Sorong. © Ulet  Ifansasti / Greenpeace
Inside view of the rainforest near Sira and Mangroholo village, District Saifi, South Sorong, Papua, Indonesia. Greenpeace supports and facilitates forest management together with communities who depend on and benefit from the forests. Greenpeace is urging the Indonesian government to review the existing concessions to strengthen the forest moratorium for forests protection and for the people who depend on the forest in Papua.

Bicara hutan di Papua, tak bisa terlepas dari bicara soal masyarakat adat. Selama puluhan ribu tahun masyarakat adat di Papua telah hidup berdampingan dengan alamnya. Dengan hutannya. Bagi masyarakat Papua, hutan adalah ibu. Hutan memberi hidup bagi mereka, menjadi identitas, membentuk budaya dan karakter, hingga menjelma kearifan lokal dalam mempertahankan alam. Untuk menebang satu pohon saja, misalnya, masyarakat adat menggelar ritual agar terhindar dari malapetaka.

Di Pegunungan Arfak Manokwari, masyarakat setempat mengenal konsep Igya Ser Hanjob, yang secara harfiah berarti “kita berdiri menjaga batas”. Filosofi ini mengandung makna bahwa segala yang ada di alam ini, termasuk manusia, memiliki batas. 

Selain mengatur pengelolaan sumber daya alam secara tradisional, Igya Ser Hanjob juga mengatur tentang masalah sosial di masyarakat Arfak. Sejak kecil, anak-anak Arfak diajari berlaku jujur, adil, dan bijaksana. Semua ada batasnya dan setiap orang harus menjaga batas tersebut untuk kelangsungan hidupnya.

Beranjak dari Arfak, masyarakat adat suku Moi di Sorong mengenal konsep egek. Ini mirip dengan sistem sasi, yang intinya aturan pelarangan mengambil dari alam dalam kurun tertentu. Egek menjadi budaya melestarikan alam dengan cara memberikannya waktu untuk pulih kembali. 

Making Handicrafts at Sira Village in South Sorong. © Jurnasyanto Sukarno / Greenpeace
Papuan villagers make handycrafts at Sira village in South Sorong, West Papua. After struggling for nearly a decade, the people of Manggroholo and Sira villages in Sorong, West Papua managed to obtain permission of village forest management. © Jurnasyanto Sukarno / Greenpeace

Seluruh masyarakat adat di Papua memiliki kearifan lokal masing-masing untuk menjaga alam mereka. Praktik yang dilakukan secara turun temurun yang berkelanjutan ini mestinya diadopsi oleh negara. Sayangnya, negara justru bersikap sebaliknya: memberikan izin-izin usaha di kawasan hutan, misalnya untuk perkebunan sawit yang merusak lingkungan. Dalam catatan Greenpeace Indonesia, setidaknya ada 81 perusahaan sawit di seluruh Tanah Papua dengan total luas 1.424.961 hektare.

Di berbagai wilayah di Tanah Papua, masyarakat adat harus berjuang mempertahankan tanah adat mereka dari perusahaan sawit. Di Lembah Grime Nawa, masyarakat suku Namblong berjibaku melawan PT Permata Nusa Mandiri. Perusahaan sawit ini ditengarai secara ilegal membabat hutan yang menjadi sumber hidup masyarakat adat di Distrik Nimbokrang, Jayapura.

Ada pula cerita masyarakat adat suku Awyu dari Boven Digoel, Papua Selatan. Demi mempertahankan hutan adat dari perusahaan sawit PT Indo Asiana Lestari, mereka mengajukan gugatan lingkungan hidup dan perubahan iklim ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jayapura. Pejuang lingkungan hidup dari suku Awyu juga terlibat dalam dua gugatan lain di PTUN Jakarta. 

Trial Of Awyu Tribe Against PT IAL in Jayapura. © Gusti Tanati / Greenpeace
Papuan youths and students hold an action to support the Awyu indigenous tribe during a trial against palm oil companies PT IAL at Jayapura State Administration Court (PTUN) in Jayapura, Papua. © Gusti Tanati / Greenpeace

Di Sorong Selatan, nasib berbeda dialami tiga distrik yang wilayahnya dibebani izin sawit, yakni Distrik Saifi, Konda, dan Wayer. Masyarakat adat di Distrik Saifi mendapatkan kembali wilayah adat mereka setelah pencabutan izin perusahaan sawit di wilayah tersebut. 

Namun, masyarakat adat di Distrik Konda dan Wayer terancam kehilangan wilayah adat, setelah Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Makassar mengabulkan banding perusahaan sawit yang menolak izin mereka dicabut. 

Masih ada banyak cerita kehilangan lainnya. 

Ini semua tak terlepas dari belum adanya payung hukum yang menjamin hak-hak masyarakat adat di Indonesia. Pembahasan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat–yang sudah diusulkan sejak 2009–tertahan di Dewan Perwakilan Rakyat. 

Sudah saatnya negara dan pemerintah mengakui keberadaan, menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak masyarakat adat. Di situasi krisis iklim yang makin genting, masyarakat adat adalah ujung tombak penjaga hutan dan keanekaragaman hayati yang tersisa, yang akan menjadi benteng pertahanan kita semua. 

Selamat Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia.

Amos Sumbung, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia