Tiap tanggal 30 Juli, dunia memperingati Hari Menentang Perdagangan Orang Sedunia. Hari yang tepat untuk kembali berterima kasih pada orang-orang yang bekerja di sepanjang rantai pangan, salah satunya industri makanan laut, yang beberapa di antaranya menjadi korban perdagangan orang. 

Sejumlah penelitian menyebut ada hubungan kuat antara perdagangan orang dan industri perikanan ilegal. Hubungan tersebut memungkinkan adanya penyalahgunaan kekuasaan di laut lepas. Dari praktik semacam itu, tentu banyak perusahaan serta individu yang dapat untung. Kendati pengalaman tiap korban perdagangan orang mungkin berbeda, Protokol Palermo PBB mendefinisikan “perdagangan manusia” meliputi perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penampungan atau penerimaan seseorang melalui paksaan, penipuan dengan tujuan mengeksploitasi mereka demi keuntungan.   

Sepanjang 2013-2021, Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) mencatat 634 aduan dari Awak Kapal Perikanan (AKP) migran yang menjadi korban kekerasan di atas laut. Menurut mereka, sebagian besar kasus tersebut diduga terkait praktik perdagangan orang. 

Ini adalah salah satu cerita dari seorang AKP migran yang mengaku telah menjadi korban perdagangan orang.

****************

Orang-orang memanggilmu Syamsul. Kau adalah seorang ayah dari empat putri. Rumahmu di Tegal, Jawa Tengah. Sejak 2010, dapurmu mengebul mengandalkan kerja di ladang-ladang informal—dari kuli bangunan hingga berjualan. Sebelum itu, kau pernah menjadi awak di kapal ikan asing selama dua tahun. 

Pada 2019, kau mendatangi PT Makmur Jaya Mandiri (MJM) yang berada di Tegal, saat tahu ada lowongan menjadi awak kapal ikan. Sebagai orang yang pernah menjalani profesi itu, kau percaya diri. Kau hanya butuh waktu satu bulan untuk daftar, dipanggil, dan siap diberangkatkan.

“Saya tergiur. Saya ingin mengulangi lagi [jadi AKP migran]. Siapa tahu bisa mengubah nasib,” katamu saat diwawancarai oleh Greenpeace Indonesia, 22 Juli lalu.

Awalnya kau dijanjikan akan berangkat pada Desember 2019. Namun, karena satu dan lain hal, kau baru berangkat pada 7 Januari 2020. Kau pun meninggalkan Tegal menuju Jakarta, kemudian terbang ke Singapura.

"Foto kapal Lu Huang Yuan Yu 117 bersumber dari laman resmi North Pacific Fisheries Commission (NPFC)."
“Foto kapal Lu Huang Yuan Yu 117 bersumber dari laman resmi North Pacific Fisheries Commission (NPFC).”

PT MJM sejak awal bilang bahwa kapal yang akan jadi tempatmu bekerja berasal dari Taiwan. Namun, di Singapura, kau baru tahu ternyata kapal itu, Lu Huang Yuan Yu 117, berasal dari negara lain. Sebanyak 35 awak kapal naik kapal itu, yang 23 orang di antaranya–termasuk dirimu–berasal dari Indonesia dan Filipina

Kaget? Kecewa? Merasa dibohongi? Tentu. Tapi apa boleh buat. Pekerjaan baru di depan mata dan kapal angkat sauh menuju perairan Argentina.

Apes. Hidupmu kacau selama di atas kapal. Selama kurang lebih enam bulan di tengah laut, kau harus kerja 12 jam sehari—kadang lebih jika tangkapan sedang banyak.

Badan kalian yang lemah kurang istirahat harus pula menerima deraan kekerasan fisik. Awak kapal Indonesia dan Filipina—terutama yang baru pertama kali bekerja sebagai awak kapal, kerap ditendang dan dipukul. Tak jarang memakai benda tumpul seperti kayu oleh mandor kapal.

“Saya pribadi enggak dapat kekerasan, mungkin karena saya pernah kerja seperti ini,” lanjutmu. “Saya bisa ngira-ngira sendiri. Mungkin awak lain yang belum tahu sama sekali, kerja enggak tahu, bahasa enggak tahu, akhirnya kena kekerasan. Terutama dari mandor.”

Sudah badan sakit, hati juga ikut perih melihat praktik diskriminasi terhadap AKP Indonesia dan Filipina. Sementara mandor dan awak kapal lainnya bisa tidur nyaman nyenyak satu kamar untuk satu orang, kalian harus berimpitan hingga enam orang dalam satu kamar.

“Tidur tidak dialasi kasur. Hanya karpet tipis sisa awak kapal sebelumnya,” katamu.

Jangan harap semua itu terbalas dengan makan enak dan kenyang. Sehari-hari, kau hanya diberi nasi berlauk satu-dua biji cabai panjang rebus. Kau sadar pekerjaan ini tak manusiawi. Kau merasa tak adil. Pasalnya, awak kapal selain dari Indonesia dan Filipina bisa menikmati makan nasi dengan lauk daging.

“Walau itu daging babi, tapi, ‘kan, enak menurut mereka,” katamu. “Kalau nekat, sering saya curi bawang dari dapur. Lebih enak bawang daripada cabai. Setidaknya bisa diolah jadi lauk.”

“Di kapal itu ada orang mati!”

Kau kaget bukan main saat seorang awak kapal asal Indonesia yang baru kau kenal mengucapkan kalimat itu sembari mengarahkan jari ke kapal tempatnya bekerja, Lu Huang Yuan Yu 118—kapal ikan seberat 1.655 ton. Kau hanya bisa terkejut membeku.

Saat itu, satu hari pada Juni 2020, bongkar muat hasil tangkapan cumi-cumi antara kapal itu dengan kapal tempatmu bekerja—Lu Huang Yuan Yu 117—sedang dilakukan. Setelah dikosongkan, rencananya kapalmu akan pulang ke perairan Singapura dan melanjutkan menangkap ikan.

Kau bersama sebelas orang Indonesia lainnya di kapal itu merasa gelisah. Rasa bersalah muncul karena tak bisa melakukan apa pun kendati tahu ada seorang saudara sebangsa yang tewas dan disimpan dalam lemari pendingin. Di sana ia terbaring dingin di antara kotak-kotak kardus berisi cumi-cumi.

“Foto kapal Lu Huang Yuan Yu 118 bersumber dari laman resmi North Pacific Fisheries Commission (NPFC).”

“Ini sesama orang Indonesia.”

“Ada orang meninggal, kok, enggak ada respons apa-apa?!”

“Kita enggak mungkin diam saja!”

Ragam percakapan itu muncul ketika kau berunding dengan kawan-kawanmu. Akhirnya, kalian memutuskan menghubungi pihak Kementerian Luar Negeri saat kebetulan mendapat sinyal di tengah laut. Kalian lalu diarahkan menghubungi Badan Keamanan Laut (Bakamla). Rekaman suara salah seorang di antara kalian saat melakukan pelaporan sempat beredar di kalangan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut (DJPL) Kementerian Perhubungan.

Singkat cerita, saat dua kapal ikan itu kembali ke perbatasan Indonesia-Singapura, aparat penegak hukum—gabungan dari polisi, militer, intelijen hingga Bakamla—berhasil mengadang di perairan Pulau Nipah pada 8 Juli 2020. Saat itu, sempat terjadi drama kejar-mengejar karena kapalmu, Lu Huang Yuan Yu 117, berusaha kabur. Namun, usaha itu sia-sia.

Dari hasil penangkapan itu, diketahui bahwa warga Indonesia yang tewas dan disimpan di lemari pendingin itu adalah Hasan Apriadi, AKP migran asal Lampung. Kepala Kepolisian Daerah Kepulauan Riau saat itu, Aris Budiman, mengaku kalau informasi awal yang aparat terima datang dari awak di atas kapal. Laporanmu dan kawan-kawan ternyata membuahkan hasil.

Jenazah Hasan dipulangkan ke kampung halamannya. Sementara mandor kapal Lu Huang Yuan Yu 118, Song Chuanyun, pria berumur 50 tahun, ditetapkan sebagai tersangka. Kau dan awak kapal asal Indonesia lainnya juga pulang ke kampung masing-masing karena tak ingin melaut lagi lewat manning agency atau perusahaan penyalur yang sama.

“Karena saya dan teman-teman merasa khawatir atas kejadian itu. Takutnya kejadiannya [berikut] lebih parah.”

Keadilan Palsu

Keadilan sempat kau temukan di Pengadilan Negeri Batam, Kepulauan Riau.

Persidangan mandor kapal Lu Huang Yuan Yu 118 atas terbunuhnya satu orang awak Indonesia itu dan dua orang karyawan PT MJM—Taufiq Alwi dan Totok Subagyo—dipisah menjadi dua kasus berbeda. Sang mandor didakwa pasal penganiayaan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Namun, tak sampai tiga bulan berjalannya persidangan, pengadilan memutuskan mandor terbebas dari semua tuduhan. 

Sementara dua karyawan PT MJM menjadi tersangka atas kasus yang kau alami. Awalnya, polisi dan jaksa mengenakan pasal Undang-Undang Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) sebagai yang utama dan pasal UU Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI) sebagai dakwaan alternatif. Namun, hakim di pengadilan malah memakai UU PPMI sebagai yang utama.

Dalam salah satu sesi persidangan, kau bersaksi bahwa perusahaan awalnya menjanjikan upah sebesar 450 USD per bulan: 50 USD di atas kapal dan 400 USD ditransfer ke rekening istrimu. Namun, sepanjang Januari hingga Juni, istrimu hanya menerima uang sebesar upah satu bulan yang dicicil sebanyak dua kali.

“Itu baru dikirim Rp5 juta. Harusnya kalau tiga-empat bulan bisa Rp15 jutaan. Itu pun lima juta dicicil bayarnya,” katamu.

Pada 12 Maret 2021, pengadilan akhirnya secara sah menyatakan Taufiq dan Totok melanggar Pasal 69 UU PPMI, yang isinya tertulis, “Penempatan melalui orang perseorangan itu dilarang, dan termasuk dalam pidana penempatan.”

Selama proses sidang, PT MJM terbukti tak memiliki Surat Izin Perusahaan Pekerja Migran Indonesia (SIP2MI), Surat Izin Perekrutan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (SIP3MI) dan Surat Izin Untuk Penempatan Perekrutan Awak Kapal (SIUPPAK). Artinya, mereka beroperasi secara ilegal. Namun, Taufiq dan Totok tetap bisa melakukan kerja sama dengan manning agency asing untuk merekrut dan mengirim nelayan migran asal Indonesia, seperti dirimu.

Selain pidana penjara selama satu tahun empat bulan dan denda Rp100 juta, dua orang itu juga harus membayar restitusi atau ganti rugi ke dirimu sebesar Rp148.500.500.

Di kepalamu, uang sebanyak itu sudah berubah wujud menjadi toko kelontong atau warung makan sebagai sumber nafkah baru bagi keluargamu. Namun, nyatanya hingga hari ini uang itu tak pernah kau terima.

“Sampai sekarang belum [diterima uang ganti ruginya]. Saya terus menunggu hingga dua tahun,” katamu. “Bahkan saya dengar-dengar pelakunya sudah bebas.”

Tak hanya itu. Paspor dan buku pelaut milikmu yang sempat ditahan dan diminta oleh pengadilan sebagai bukti persidangan sempat tak kembali ke tanganmu. Hal serupa juga dialami oleh teman sekapalmu, Didi. Kau akhirnya mendapatkan kedua dokumen tersebut setelah membayar ratusan ribu rupiah ke sejumlah orang di luar pengadilan.

“Malah keluar duit lagi,” tambahmu.

Kau menang di pengadilan, tapi kalah di kehidupan.

Dalam banyak kasus, orang-orang yang mengalami praktik seperti yang kau dan banyak AKP migran lainnya alami jelas merupakan korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO)—salah satu kasus kriminal lintas negara paling akut hari ini. Sejak 2013 lalu, Perserikatan Bangsa-Bangsa menetapkan 30 Juli sebagai Hari Menentang Perdagangan Orang Sedunia.

Kau hanya bisa berharap agar negara bisa menegakkan hukum dengan lebih tuntas, tidak setengah-setengah hingga membuat orang-orang sepertimu jadi korban berkali-kali. 

“Akibatnya seperti saya ini, sampai sekarang enggak ada pekerjaan, restitusi enggak dibayar.”[]

***

Cerita ini ditulis oleh Tim Digital Komunikasi Kampanye Beyond Seafood Greenpeace Southeast Asia (Haris Prabowo dan Vela Andapita) berdasarkan wawancara dengan korban dan verifikasi beberapa dokumen pengadilan serta pemberitaan media massa. Pengakuan orang pertama telah diadaptasi dengan singkat dan jelas.

Tujuan publikasi cerita ini ingin meningkatkan kesadaran atas nasib buruk pekerja migran dalam industri kapal penangkap ikan perairan jauh. Sejak 2014, Greenpeace Southeast Asia telah bekerja sama dengan pegiat hak asasi manusia untuk menekankan perlindungan untuk nelayan migran guna mengakhiri perbudakan modern di atas laut.

Kalian bisa baca lebih banyak isu soal perdagangan orang dan kerja paksa dalam industri perikanan perairan jauh di sini dan sini.