Pemerintah Indonesia kembali menggelontorkan kebijakan yang berpotensi merusak lingkungan hidup serta ekosistem lautan. Baru-baru ini pemerintah mengesahkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut, yang membuka pintu lebar-lebar bagi ekspor pasir laut. Meskipun diklaim sebagai upaya untuk memperbaiki ekosistem lautan dan meningkatkan perekonomian negara, tindakan ini justru menunjukkan ketidakpedulian para pengambil kebijakan akan efek samping bagi laut dan wilayah pesisir jika kebijakan ini diberlakukan. 

Salah satu pasal yang terkait dengan peraturan tersebut, yakni Pasal 10 Ayat 4, menyatakan bahwa izin ekspor pasir laut akan diberikan kepada pihak-pihak yang memenuhi persyaratan teknis dan administratif yang ditetapkan. Namun, persoalannya bukan semata-mata pada izin tersebut, melainkan pada efek jangka panjang dari ekspor pasir laut yang tidak terkendali.

Greenpeace Indonesia with Walhi South Sulawesi, Green Youth Movement and Kodingareng Women Movement that are joining in the Save Spermonde coalition, hold an action by carrying the giant Oligarchy Monster to the South Sulawesi Governor building in Makassar, South Sulawesi. The action is to urge government to cancel the reclamation of Makassar New Port that was destroying the sea and Spermonde islands surrounding the area especially Kodingareng island.

Pasir laut memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem pesisir. Pasir tersebut adalah habitat bagi berbagai spesies hewan dan tanaman, serta menjadi penyangga alami yang melindungi garis pantai dari abrasi. Dengan ekspor pasir laut yang tak terkendali, kita berisiko kehilangan ekosistem yang sangat berharga dan memicu kerusakan ekologis yang tak dapat diperbaiki.

Selain itu, mengingat pasir laut adalah sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui dengan cepat. Dengan membuka pintu lebar-lebar untuk ekspor pasir laut, kita secara paradoks merugikan diri sendiri dan hanya memberikan keuntungan jangka pendek kepada pihak-pihak di balik proyek ekspor pasir laut.

Selain aspek ekologi dan ekonomi, dampak sosial dari ekspor pasir laut ini tidak boleh diabaikan. Masyarakat pesisir, terutama nelayan, akan menghadapi ancaman kehilangan mata pencaharian mereka. Pasir laut adalah habitat bagi ikan dan berbagai organisme laut n. Tambang pasir juga berpotensi merusak wilayah tangkap nelayan dan berpotensi menghilangkan sumber pendapatan utama nelayan dan masyarakat pesisir. 

Pemerintah, stop mengambil keuntungan sepihak!

Kebijakan ekspor pasir laut adalah contoh nyata dari kebijakan yang tidak mempertimbangkan dampak jangka panjang dan mengeksploitasi sumber daya alam tanpa pertimbangan yang matang. Di tengah keprihatinan global tentang perubahan iklim dan degradasi lingkungan, keputusan untuk membuka ekspor pasir laut justru bertentangan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan yang telah disepakati secara internasional.

Pemerintah harus segera mengambil langkah tegas untuk meninjau kembali kebijakan ini dan mempertimbangkan dampak yang luas. Perlindungan lingkungan harus ditempatkan di atas keuntungan jangka pendek. Tidak hanya menghentikan ekspor pasir laut, tetapi juga diperlukan langkah-langkah konkret untuk mengembangkan alternatif yang berkelanjutan dan mempertahankan keberlanjutan lingkungan kita.

Pelibatan masyarakat juga penting dalam pengambilan keputusan yang krusial. Bagaimanapun, melibatkan mereka dalam proses pengambilan keputusan akan memastikan bahwa perspektif dan kepentingan mereka dihormati dan diperhatikan. Mengingat, merekalah yang selalu bergantung sekaligus menjaga alam di pesisir pantai. Lebih dari sekadar subjek dalam keputusan, masyarakat adat harus menjadi mitra yang setara dan berpartisipasi aktif dalam menentukan masa depan wilayah mereka.

Sherina Redjo adalah Content Writer di Greenpeace Indonesia