Dipaksa kerja 20 jam sehari, disiksa, tidak digaji, hingga mati lalu dilarung di laut. Kira-kira begitulah banyak nasib para anak buah kapal (ABK) Indonesia di kapal-kapal ikan asing. Isu perbudakan ini ada dan nyata, namun seolah tidak sampai gaungnya ke daratan.

Activists hold a theatrical protest commemorating International Migrant Worker Day every 18 December in front of the Central Java Governor office in Semarang, Central Java. Greenpeace Indonesia, Indonesian Migrant Worker Union (SBMI), and Student Executive Board in Brebes, Tegal and Slawi (BEM BREGAS) urged the Central Java Governor to protect the migrant fishing ship crew, that are mostly origin from cities in Central Java province and working on foreign fishing ships, from modern slavery treatment on the sea.

Pemerintah sebagai regulator pun bukan tidak tahu masalah ini. Namun, karena demikian kompleks dan perbudakan modern ini terjadi di lautan yang bukan wilayah hukum Indonesia, isu ini selalu menemui jalan buntu.

Masih ada harapan: meratifikasi Konvensi ILO 188 dapat menjadi solusi regulasi yang bersifat trans-nasional. Sayangnya, ikhtiar baik ini juga bukan tanpa hambatan. Banyak yang menghalangi kelahiran regulasi ini karena satu dan lain hal. Apakah regulasi lintas negara ini akan segera terealisasi? Kami coba membahasnya bersama Serikat Buruh Migran Indonesia & Serikat Awak Kapal Transportasi Indonesia.