Indonesia merupakan negara agraris yang mayoritas penduduknya bergantung pada sektor pertanian. Namun, krisis iklim yang makin ekstrem telah membawa dampak besar pada kehidupan petani di Indonesia. Cuaca yang semakin tidak menentu dan ekstrem menjadi ancaman bagi produktivitas dan kesejahteraan petani.

Namun, tak bisa dipungkiri bahwa salah satu kontributor terhadap emisi gas rumah kaca yakni berasal dari sektor pertanian. Penggunaan pestisida dan pupuk kimia yang berlebih turut menjadi salah satu faktor penyebab penurunan kualitas lingkungan. Sehingga, sektor pertanian diharuskan melakukan tindakan adaptasi dan mitigasi terhadap kondisi krisis iklim dalam mempertahankan produktivitas pertanian mereka. 

Tantangan Utama yang Dihadapi Petani

Salah satu tantangan utama yang dihadapi oleh petani di Indonesia adalah curah hujan tidak menentu, yang semakin parah akibat krisis iklim. Hujan yang terlalu deras atau kurang dapat menyebabkan banjir dan kekeringan, dan dapat menghambat pertumbuhan tanaman. Di samping itu, krisis iklim juga memicu penyebaran hama dan penyakit tanaman, yang dapat menurunkan hasil panen dan kualitas tanaman.

Selain itu, dampak krisis iklim juga dapat mempengaruhi ketersediaan air dan tanah, yang merupakan faktor penting dalam pertanian. Kemudian, pemanasan global dapat menyebabkan peningkatan suhu di permukaan tanah dan mengeringkannya, sehingga mengurangi ketersediaan air dan nutrisi bagi tanaman.

Organik dan Berkelanjutan Lebih Baik

Guna menghadapi tantangan krisis iklim, petani di Indonesia perlu mengadopsi praktik pertanian yang berkelanjutan dan organik. Dengan begitu, dapat meningkatkan ketahanan tanaman dan keberlanjutan sistem pertanian, serta mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan. 

Menurut jurnal The Development of Organic Agriculture in Indonesia, mengatakan, bahwa mengaplikasikan pertanian organik tanpa bahan kimia sintesis, dapat menjawab permasalahan kerusakan lingkungan yang diakibatkan pemakaian bahan kimia sintetis dalam industri pertanian. Dengan begitu, sistem pertanian organik juga akan mengurangi dampak krisis iklim. 

Data yang diambil dari Statistik Pertanian Organik Indonesia 2019, menunjukan persentase perkembangan pasar organik di beberapa wilayah—DKI Jakarta 32%, Jawa Barat 21%, Daerah Istimewa Yogyakarta 11%, Jawa Tengah, lalu di daerah lainnya Jawa Timur, Banten, Sumatra Barat, Sulawesi Selatan, Sumatra Utara, Kalimantan Barat. Dari data ini diketahui bahwa konsumen terbesar didominasi oleh konsumen yang tinggal didaerah perkotaan.

Salah satu praktik pertanian berkelanjutan dan organik adalah penggunaan pupuk organik, seperti pupuk kompos atau pupuk hijau. Pupuk organik dapat meningkatkan kesuburan tanah, meningkatkan ketersediaan nutrisi bagi tanaman, dan membantu menjaga kelembaban tanah. Selain itu, petani juga dapat memanfaatkan teknologi pengairan yang lebih efisien, seperti irigasi tetes atau irigasi lokal.

Petani juga dapat mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan dengan mengurangi penggunaan pestisida kimia. Petani dapat menggantinya dengan bahan alami, seperti neem atau ekstrak bawang putih, untuk membantu mengendalikan hama dan penyakit tanaman.

Menggunakan praktik pertanian berkelanjutan dan organik bukan hanya menguntungkan petani, tetapi juga lingkungan dan konsumen. Pertanian berkelanjutan dan organik dapat membantu meningkatkan kesuburan tanah, mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan, dan meningkatkan kualitas dan keamanan pangan. Selain itu, petani juga dapat mengakses pasar yang lebih besar dengan produk pertanian berkelanjutan dan organik. Mengingat, produk pertanian berkelanjutan dan organik semakin diminati oleh konsumen.

Peran Pemerintah dalam Sektor Pertanian Indonesia

Dalam rangka menghadapi tantangan perubahan iklim, adalah penting bagi petani untuk beralih ke praktik pertanian yang lebih berkelanjutan dan organik. Namun, tidak semua petani memiliki pengetahuan dan sumber daya untuk menerapkan praktik pertanian berkelanjutan dan organik. Oleh karena itu juga dibutuhkan peran dari pemerintah dalam membantu transisi petani dengan metode konvensional menuju sistem berkelanjutan dan organik.

Pemerintah dapat memberikan fasilitas pelatihan mencakup teknik-teknik baru pengelolaan tanah, penggunaan pupuk organik, hingga memberikan insentif kepada petani yang telah beralih ke praktik pertanian organik dan berkelanjutan, seperti subsidi untuk pembelian bibit atau pendanaan proyek-proyek pertanian berkelanjutan. Selain itu, pemerintah juga dapat mengembangkan kebijakan yang mendukung pertanian berkelanjutan—seperti regulasi yang membatasi penggunaan pestisida dan bahan kimia berbahaya dalam pertanian.

Meninjau laporan statistik yang dikeluarkan oleh UN Environment Programme yang bertajuk Food Waste Index 2021, menunjukan bahwa total sampah makanan atau Food Waste di Indonesia mencapai 20,93 juta ton tiap tahunnya. Hal ini bisa menjadi alternatif dalam pengolahan pupuk organik guna pertanian berkelanjutan di Indonesia.

Dengan begitu, diharapkan petani konvensional dapat mudah beralih ke praktik organik dan berkelanjutan. Dalam jangka panjang, praktik-praktik ini dapat membantu meningkatkan produktivitas, mengurangi dampak negatif pada lingkungan, dan meningkatkan kesejahteraan bagi petani dan masyarakat sekitarnya. 

Adaptasi dan Mitigasi adalah Kunci 

Pada akhirnya, kita perlu mengadopsi pendekatan yang komprehensif dengan fokus pada adaptasi dan mitigasi. Adaptasi membutuhkan penyesuaian dan perubahan dalam sistem sosial, ekonomi, dan lingkungan, termasuk mengurangi kerentanan masyarakat terhadap bencana alam, dan mempromosikan keberlanjutan dalam gaya hidup kita. Sementara itu, mitigasi melibatkan tindakan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, meningkatkan efisiensi energi, memanfaatkan sumber energi terbarukan, dan menghentikan perusakan lingkungan. Hanya melalui pendekatan yang komprehensif ini, kita dapat bergerak menuju masa depan yang lebih berkelanjutan dan mencegah kemungkinan parahnya krisis iklim yang sedang kita hadapi.

Sherina Redjo adalah Content Writer di Greenpeace Indonesia