Jika anda menikmati libur akhir pekan dan gaji yang layak, cuti sakit dan tunjangan hari raya, ingatlah bahwa itu adalah hasil perjuangan kelas pekerja. Saat ini, di Indonesia dan pelbagai belahan dunia, kelas pekerja juga terlibat dalam perjuangan lingkungan hidup dan keadilan iklim.

Students Protest against Omnibus Law in Semarang. © Aji Styawan / Greenpeace
A student wears a mask and sunglasses as he holds a protest to reject the Omnibus Law that was already passed by the Indonesian Parliament in front of Central Java Parliament building in Semarang, Central Java. Labour unions and students hold a strike from 6-8 October 2020, against the Omnibus Law that is massively reducing labour right and only give benefits to investors and company owners. © Aji Styawan / Greenpeace

Jejak persinggungan masalah ketenagakerjaan dan lingkungan dapat ditelusuri pada akhir abad ke-18, saat Revolusi Industri mulai mengubah lanskap politik dan ekonomi di Eropa, Amerika, dan seluruh dunia. 

Pada era ini, peran manusia dan hewan sebagai tenaga kerja digantikan mesin pabrik; ekonomi bergeser dari pertanian ke manufaktur; industri tekstil dimekanisasi bersamaan dengan penemuan mesin uap yang memakai batu bara; bahan bakar fosil mulai digunakan untuk mendukung pabrik dalam proses produksi dan mempercepat distribusi barang dengan transportasi kapal uap.

Perubahan ini meningkatkan produk domestik bruto per kapita di negara-negara Barat, memindahkan orang dari perdesaan ke perkotaan, dan memobilisasi mereka untuk bekerja sebagai buruh industri. Masa-masa ini merupakan periode penting perkembangan ekonomi; kapitalisme modern terintegrasi dan menjadi model untuk mengembangkan sistem di berbagai belahan dunia. 

Namun, dampaknya juga mempengaruhi kesehatan planet Bumi. Eksploitasi sumber daya alam yang ekstraktif juga mengubah lanskap dalam kegiatan pertanian skala besar. Secara sosial, Revolusi Industri menciptakan ketidakadilan karena mendorong eksploitasi upah dan jam kerja para buruh di bidang-bidang tersebut.

Meskipun tak dipungkiri bahwa sektor industri menjadi tempat bergantung banyak kelas pekerja, sektor ini juga menyebabkan kerusakan lingkungan parah. Polusi dan emisi yang dihasilkannya berkontribusi signifikan menaikkan suhu Bumi dan memicu krisis iklim. 

Dunia sedang memanas lebih cepat daripada kapan pun dalam setidaknya dua ribu tahun terakhir. Laporan Panel Lintas Pemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC) menyatakan bahwa kenaikan suhu rata-rata permukaan Bumi antara tahun 2011 dan 2020 adalah 1,1ºC (2°F). Ini lebih hangat dari suhu rata-rata sebelum Revolusi Industri dan lebih hangat dibanding kapan pun dalam 100 ribu tahun terakhir.

Pada Mulanya adalah Gerakan Buruh

Omnibus Law Bill Protest in Jakarta. © Jurnasyanto Sukarno / Greenpeace
A labor wears mask as a octopus symbolized an oligarchy as he marches during a joint coallition protest against the Omnibus Law bill (RUU Cipta Kerja) in front of Parliament building in Jakarta. © Jurnasyanto Sukarno / Greenpeace

Kelahiran Hari Buruh pada 1 Mei, yang saat ini diperingati sebagai May Day di seluruh belahan dunia, berangkat dari kesadaran kelas pekerja yang menuntut hak-hak ekonomi politik dan  industrial mereka. Yang diprotes kala itu antara lain pengetatan jam kerja, upah murah, dan buruknya kondisi lingkungan tempat mereka bekerja. 

Di Amerika, May Day lahir dari proses perjuangan para buruh di Chicago yang menuntut pengurangan jam kerja menjadi delapan jam, dengan melakukan protes selama beberapa hari. Protes itu berujung tragedi, yang dikenal sebagai kerusuhan Haymarket pada 1886. 

Ketekunan dan keyakinan pekerja dan serikat pekerja telah memainkan peran penting dalam membentuk dunia yang kita kenal sekarang. Buruh seringkali menunjukkan ketekunan yang luar biasa, ketahanan dan optimisme yang konsisten dalam berjuang. Sejarah pun telah membuktikan bahwa semua perubahan lahir dari perjuangan kelas pekerja.

Banyak praktik perjuangan buruh yang berkaitan dengan masalah lingkungan dan tuntutan terhadap perubahan iklim secara global. Salah satunya organisasi penyadap karet, yang diinisiasi oleh Chico Mendes, The National Confederation of Agricultural Workers (Confederação Nacional dos Trabalhadores na Agricultura ‘CONTAG’). Selain memperjuangkan hak-hak sebagai pekerja, mereka juga berjuang melawan kehancuran hutan Amazon akibat ulah korporasi.

Banyak gerakan serupa di berbagai belahan dunia lainnya, seperti Street Cleaners in Rio de Janeiro di Brasil yang menggunakan momentum Piala Dunia 2014; juga aksi Kim Jin Suk, tukang las dan aktivis buruh Korea Selatan yang menduduki derek galangan kapal setinggi 115 kaki selama 309 hari pada 2011 untuk memprotes PHK dan membela hak-hak pekerja.

Ada pula gerakan internasional kolaborasi pekerja gudang, aktivis film, dan masyarakat dalam aksi Make Amazon Pay, menghadapi orang terkaya di dunia dan perusahaan multinasional di belakangnya. Gerakan Strike4Climate yang digawangi anak muda, Greta Thunberg, juga mendapat sokongan serikat buruh internasional (ITUC) yang menggerakkan ratusan juta anggotanya untuk berpartisipasi dalam aksi ini. 

Di Indonesia, gerakan Kendeng Melawan dan koalisi melawan omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja telah menyatukan gerakan lingkungan dengan gerakan buruh. 

Gerakan lingkungan muncul satu abad setelah gerakan buruh, tepatnya setelah Hari Bumi 22 April 1970. Gerakan Hari Bumi bermula dari gerakan jutaan orang di Amerika Serikat memprotes polusi air dan udara akibat perkembangan industrial, yang berdampak serius terhadap kesehatan penduduk dan lingkungan.

Lantas bagaimana hubungan antara kelas pekerja dan gerakan lingkungan menemukan momentumnya? 

Ketimpangan kelas adalah titik bertemunya. Kelas borjuasi dan oligarki mendapatkan keuntungan dari sistem kapitalisme yang mengeksploitasi alam, sedangkan hak-hak buruh semakin terhisap. Fakta ketimpangan semakin nyata saat satu persen orang terkaya mengantongi 82 persen kekayaan populasi dunia, harta empat orang terkaya Indonesia setara 100 juta orang miskin (Laporan Oxam: “Reward Work, Not Wealth”, 2018). 

Sementara kelas pekerja terus mengalami penghisapan yang luar biasa dan hidup dalam lingkungan kerja yang tidak layak, serta menanggung polusi dari pabrik-pabrik tanpa perlindungan kesehatan yang memadai; buruh-buruh di sektor kehutanan dan perkebunan harus berhadap-hadapan dan berkonflik dengan petani dan masyarakat adat akibat praktik monopoli lahan yang mendorong perampasan lahan di pedesaan. 

Di Indonesia, sistem ekonomi yang masih mengandalkan industri manufaktur dan ekstraktif serta berbasis lahan skala luas telah mengakibatkan polusi dan kerusakan lingkungan, serta ekspansi terhadap hutan. Semua itu memicu perubahan iklim dan bencana cuaca ekstrem–seperti banjir dan kebakaran hutan di musim kemarau–yang saat ini sedang terjadi di hampir semua wilayah Indonesia. 

Dozens activists from Greenpeace Indonesia, LBH Palangkaraya, Save Our Borneo amd WALHI Central Kalimantan holds an action by spreading the giant banner reads “Food Estate Feeding Climate Crisis” at the Food Estate project area under Ministry of Defence in Gunung Mas, Central Kalimantan on 10 November 2022. The action is in the same time with the COP 27 meeting in Sharm el-Sheikh, Egypt, sending the message, in the midst of climate crisis that has impacted on food crisis, the Indonesian government’s Food Estate projects is only worsen the climate crisis, instead of providing solution to the food crisis.

Ini menunjukkan bahwa krisis iklim sudah di depan mata. Dalam bencana-bencana tersebut, kelas pekerja dan kelompok marjinal lainnya menjadi pihak yang paling terdampak. Hal tersebut juga semakin membuktikan bahwa kerusakan lingkungan dan krisis iklim tak bisa dilepaskan dari isu kelas.

Sayangnya, bukannya melakukan upaya perbaikan, pemerintah malah terus memberikan karpet merah kepada investasi yang merusak dan memperkuat oligarki, salah satunya lewat omnibus law UU Cipta Kerja. Kita berada di garis terdepan untuk menumbangkan praktik ini, dan kami yakin bahwa kaum buruh adalah pelopornya. 

Kita harus melawan praktik monopoli lahan, memperjuangkan reforma agraria yang sejati, dan membangun industri nasional yang berkeadilan. Tujuannya ialah bergerak ke ekonomi yang lebih berkelanjutan dengan cara yang adil bagi semua orang. Ada banyak pekerjaan yang harus dilakukan demi menciptakan transportasi publik yang lebih bersih, membangun infrastruktur energi terbarukan, dan memulihkan alam yang rusak. 

Itulah mengapa organisasi lingkungan, termasuk Greenpeace, perlu terus memperkuat kolaborasi dengan gerakan buruh. Kita harus terus berkomitmen menghormati hak-hak pekerja yang diperoleh dengan perjuangan tiada tara. Kita juga mesti terus mendukung transisi yang adil secara sosial bagi kaum buruh dari praktik industri yang berpolusi dan merusak Bumi, serta berdiri bersama melawan praktik relasi produksi yang timpang antara pengusaha dan kelas pekerja.

Kekuatan rakyat adalah inti kampanye kita untuk mengubah perilaku dan melawan para perusak lingkungan, dan ada banyak hal yang bisa kita pelajari dari gerakan pekerja. Kekuatan tawar-menawar kolektif dan keberanian aksi mogok adalah bukti bahwa orang dapat bekerja sama untuk mengubah dunia menjadi lebih baik.

Pada Hari Buruh yang dilaksanakan di seluruh dunia setiap 1 Mei, mari kita semua yang peduli dengan masa depan yang hijau dan damai memikirkan apa yang bisa kita lakukan untuk mendorong transisi yang adil. Tidak hanya dalam kata-kata tetapi dalam tindakan dan tuntutan perubahan sistem yang struktural. Seperti kata Chico Mendez, “environmentalism without class struggle is just gardening”.  

Mari kita tegaskan kembali keyakinan kita pada kekuatan manusia untuk bekerja sama demi mengubah dunia menjadi lebih baik, memperkuat persatuan nasional bagi buruh, petani, masyarakat adat, kaum perempuan, pemuda, dan mahasiswa. Karena kita membutuhkan kekuatan itu sekarang, mungkin lebih dari sebelumnya.

Selamat Hari Buruh!

Arie Rompas, Ketua Tim Kampanye Hutan dan Pengurus Serikat Pekerja Greenpeace Indonesia