Bayangkan diri Anda akan mendaki sebuah gunung di Pegunungan Himalaya. Anda sudah berlatih keras selama beberapa bulan, bahkan mungkin tahun, sebelumnya. Namun yang saya maksud dalam tulisan ini bukanlah pendakian secara fisik. Ini adalah perjalanan yang curam dan berkelok demi memperjuangkan keadilan bagi semua pekerja, terutama mereka yang dilecehkan dan tertindas. Pendakian ini sangat tinggi. Sangat dingin. Sangat sepi.

Di Hari Buruh Sedunia pada 1 Mei tahun ini, bagi saya, pendakian itu terasa tak terlalu sepi. Di sebuah pemberhentian dengan permukaan landai setelah medan curam nan terjal, ada sesosok pendaki lain yang mengaku siap melanjutkan perjalanan bersama kami. 

“Kami” adalah sekelompok organisasi masyarakat sipil, termasuk Greenpeace Asia Tenggara, yang telah sekian lama bekerja keras untuk perbaikan pelindungan awak kapal perikanan (AKP) migran dari Asia Tenggara. 

Adapun sesosok “pendaki” lain itu adalah Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia.

Belakangan Kemlu RI menguatkan komitmen dan upayanya guna mempercepat perbaikan regulasi untuk pelindungan AKP migran – tak hanya untuk Indonesia, tetapi juga AKP dari negara Asia Tenggara lainnya. Di tingkat nasional, Kemlu menginisiasi pertemuan antar-kementerian untuk memulai proses ratifikasi sebuah instrumen hukum internasional yang dikeluarkan oleh Organisasi Perburuhan Internasional (ILO). Di level regional, Kemlu membawa isu ini menjadi salah satu agenda dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN.

Maju Satu Langkah

Activist arranges origami of boats during the protest in front of the Ministry of Manpower, Jakarta. The Indonesian Migrant Workers Union (SBMI) and Greenpeace Indonesia held a peaceful protest to urge improvement for placement policies and protection of migrant worker crews from Indonesia working on foreign fishing vessels outside the country. The protest was held one day before the commemoration of International Human Rights Day which is celebrated on 10 December.

“Kita harus menyatukan visi bersama untuk pelindungan [awak kapal],” tutur Judha Nugraha, Direktur Pelindungan Warga Negara Indonesia (PWNI) dan Badan Hukum Indonesia (BHI) Kemlu RI.

Bukan pernyataan yang istimewa, memang. Namun yang istimewa adalah di mana pernyataan tersebut diucapkan, yakni dalam sebuah pertemuan lintas kementerian pada 15 April lalu. Pertemuan yang digagas oleh Kemlu tersebut untuk memulai proses menuju ratifikasi sebuah instrumen hukum internasional, Konvensi ILO 188 (K-188). 

Dengan meratifikasi K-188, dampak positifnya tak hanya akan dirasakan AKP migran, tetapi juga awak kapal ikan di seluruh penjuru negeri. Lebih dari itu, produk hasil tangkapan laut Indonesia pun akan lebih punya daya tawar di kancah industri perikanan global, karena nyaris dapat dipastikan tak ada unsur kerja paksa dalam proses penangkapannya.

Mengapa demikian? Karena K-188 mengatur dengan detail hal-hal tentang pekerjaan dalam penangkapan ikan untuk menjamin keselamatan awak kapal sejak masa perekrutan, penempatan, sampai pemulangan. Hal yang diatur mulai dari usia minimal awak kapal, waktu kerja dan istirahat, upah, akomodasi, fasilitas, hingga kesehatan dan jaminan sosial. Sebagaimana pekerja di darat, para nelayan atau awak kapal juga berhak mendapat pelindungan yang layak.

Hadir dalam diskusi tersebut perwakilan sejumlah kementerian lain, seperti Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi RI, Kementerian Ketenagakerjaan RI, Kementerian Kelautan dan Perikanan RI. Seharusnya ada Kementerian Perhubungan RI juga di sana, tapi tidak hadir entah karena apa.

Namun demikian, pertemuan tersebut tetap menjadi sebuah penanda bahwa Indonesia selangkah lebih maju untuk memiliki mekanisme pelindungan awak kapal ikan yang lebih baik. Konvensi ini akan menguatkan sejumlah regulasi terdahulu seperti UU No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, PP No. 22 Tahun 2022 tentang Penempatan dan Pelindungan Awak Kapal Niaga Migran dan Awak Kapal Perikanan Migran, dan beberapa peraturan lainnya.

Naik Satu Tingkat

Di luar upaya di tingkat nasional, Kemlu ternyata juga mendorong perbaikan pelindungan AKP di skala regional–Asia Tenggara.

Tahun ini, Indonesia memegang keketuaan ASEAN. Artinya, Indonesialah yang akan menjadi tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN. KTT ASEAN akan diselenggarakan pada 9-11 Mei di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Artinya lagi, sebagai tuan rumah, Indonesia berhak mengusung isu-isu prioritas untuk menggalang dukungan dari negara anggota ASEAN lain. Apakah isu awak kapal termasuk di dalamnya? Ya, kurang lebih.

Berikut sedikit latar belakang agar kita sepakat mengapa isu awak kapal adalah prioritas:

  • ILO pernah menyatakan pekerjaan di kapal penangkap ikan sebagai salah satu profesi yang paling membahayakan, bahkan mematikan.
  • Negara-negara di Asia Tenggara banyak menyuplai awak untuk kapal-kapal penangkap ikan berbendera asing. Selain Indonesia, ada pula Filipina dan Vietnam.
  • Sejak 2014 hingga 2022, Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) terus mencatat peningkatan kasus kerja paksa yang dialami AKP migran Indonesia di kapal asing.
  • Setiap tahun, hampir selalu ada AKP migran Indonesia yang meninggal saat bekerja di laut. Banyak dari kasus tersebut memenuhi unsur tindak pidana perdagangan orang (TPPO).
  • Hingga kini, di Indonesia belum ada satu pun kementerian, badan, atau institusi yang mendata dengan jelas hal-hal mengenai AKP migran Indonesia – jumlah AKP, kapal tempat bekerja, masa bekerja, dan lainnya.
Activists stands during the protest in front of the Ministry of Manpower, Jakarta, Friday 9 December 2016. The Indonesian Migrant Workers Union (SBMI) and Greenpeace Indonesia held a peaceful protest to urge improvement for placement policies and protection of migrant worker crews from Indonesia working on foreign fishing vessels outside the country. The protest was held one day before the commemoration of International Human Rights Day which is celebrated on 10 December.

Mengawali rangkaian pertemuan-pertemuan penting ASEAN tahun ini, awal Februari lalu menteri-menteri luar negeri berjumpa dan menyepakati sejumlah hal. Dalam keterangan pers yang dipublikasikan dari pertemuan tersebut, salah satu poinnya berbunyi:

“We reaffirmed our regional commitment to protect migrant workers in the entire migration cycle as enshrined in the ASEAN Consensus on the Protection and Promotion of the Rights of Migrant Workers. We agreed to strengthen the protection of migrant workers through the adoption of an ASEAN Leaders’ declaration regarding the protection of migrant workers in crisis situations and an ASEAN Leaders’ declaration concerning the protection of migrants working in fishing vessels.”

Berdasarkan pernyataan tersebut, Greenpeace Asia Tenggara dan banyak organisasi masyarakat sipil lain berharap sangat tinggi bahwa akan ada sebuah deklarasi yang disepakati seluruh negara anggota ASEAN. Deklarasi tersebut menyatakan komitmen di tingkat regional dan di negara masing-masing untuk membenahi pelindungan pekerja migran di kapal penangkap ikan.

Mari kita nantikan bersama. 

Lantas, Apalagi?

Bagaikan mendaki di Pegunungan Himalaya yang sangat tinggi, sangat dingin, dan sangat sepi, bisa dibilang langkah-langkah Kemlu di atas ibarat secangkir teh hangat yang dinikmati di sebuah pos pemberhentian. 

Teh hangat yang disajikan sang pendaki ini terasa seperti secercah energi segar yang menambah semangat untuk melanjutkan perjalanan. Jadi… setelah ini apalagi?

Lagi-lagi, selayaknya mendaki gunung. Rombongan pendaki perlu tetap saling memastikan semua berjalan seiring dan seirama hingga mencapai puncak. Saat ini kita bisa menyebut bahwa Kemlu RI telah menjadi salah satu pendaki yang berjalan dengan langkah seirama bersama kita. Di pos pemberhentian berikutnya, semoga saja kita akan berjumpa dengan para “pendaki” lain – para pemimpin ASEAN, pemerintah negara lain, kementerian lain, dll. – dan bergabung dalam perjalanan kita hingga mencapai puncak dan mewujudkan keadilan bagi seluruh pekerja!

Vela Andapita, Koordinator Komunikasi Digital Kampanye Beyond Seafood, Greenpeace Asia Tenggara