Ini bukan tentang salat Idulfitri with a view.

Matahari masih condong di ufuk timur pada Sabtu, 22 April lalu, saat warga mulai meriung di dalam dan sekitar Masjid Darul Ibad, Desa Timbulsloko, Kecamatan Sayung, Demak, Jawa Tengah. 

Di atas geladak kayu yang dibangun karena banjir rob menggenangi desa itu, warga menggelar sajadah. Mereka melaksanakan salat Idulfitri 1444 Hijriah.

Aji Styawan/Greenpeace Indonesia
Aji Styawan/Greenpeace Indonesia
Aji Styawan/Greenpeace Indonesia

Beberapa tahun lalu, masjid ini sempat terendam air laut sehingga warga kesulitan untuk salat berjamaah. Pada awal 2020, warga merenovasinya dengan membangun panggung kayu. Setelah renovasi, aktivitas keagamaan Islam pun rutin digelar kembali di masjid.

Aji Styawan/Greenpeace Indonesia
Aji Styawan/Greenpeace Indonesia

Tradisi lebaran di Timbulsloko mirip dengan daerah lainnya di Indonesia. Selepas salat, warga bersilaturahmi ke rumah tetangga dan kerabat, juga berziarah ke pusara keluarga yang telah meninggal. 

Aji Styawan/Greenpeace Indonesia
Aji Styawan/Greenpeace Indonesia
Aji Styawan/Greenpeace Indonesia

Bedanya, kampung tempat mereka merawat tradisi itu kini tergenang rob. Kenaikan muka air laut karena krisis iklim dan penurunan muka tanah telah menenggelamkan Desa Timbulsloko.

Warga beradaptasi dengan meninggikan lantai rumah, masjid, hingga jalanan. Sebagian besar rumah setempat telah ditinggikan 1,5 meter untuk menghindari air laut. Banyak rumah yang atapnya menjadi sangat rendah, sehingga warga harus menundukkan kepala saat berdiri atau berjalan di dalamnya.

Aji Styawan/Greenpeace Indonesia
Aji Styawan/Greenpeace Indonesia
Aji Styawan/Greenpeace Indonesia

Pada 2021, warga juga membangun jalan panggung. Dananya berasal dari iuran bersama dan donasi. Sebelum adanya jalan panggung, Timbulsloko bak desa mati saban hari sudah gelap. Banjir rob mengurung mereka di dalam rumah.

Jalan ini menjadi penunjang aktivitas dan penyambung interaksi warga yang sempat terputus.

Aji Styawan/Greenpeace Indonesia
Aji Styawan/Greenpeace Indonesia

Sekitar 30 tahun lalu, Timbulsloko merupakan kawasan produktif yang banyak digunakan untuk pertanian. Dengan naiknya air laut dan menyusutnya garis pantai hingga 3-5 kilometer dalam tiga dekade terakhir, lahan tersebut berangsur-angsur berubah menjadi tambak ikan. Tambak-tambak ikan itu kini juga terendam di bawah permukaan air laut.

Aji Styawan/Greenpeace Indonesia

Krisis iklim mengancam semua aspek kehidupan. Ekonomi, kesehatan, sosial, keagamaan, hingga tradisi dan kebudayaan kita.

Warga Timbulsloko masih bisa merayakan Idulfitri dan hidup di tengah rob karena mereka beradaptasi. Perjuangan yang tentu saja tidak mudah.

Di masa ini, kita membutuhkan aksi iklim yang lebih serius dan nyata, terutama dari pemerintah yang memiliki semua sumber daya untuk melakukannya. Aksi mitigasi dan adaptasi amatlah krusial, agar kita terhindar dari ancaman krisis iklim yang lebih parah.

Perjuangan menghadapi krisis iklim adalah juga ikhtiar kita merawat tradisi dan kebudayaan; perjuangan menjaga kampung halaman dan alam semesta.