Bulan suci Ramadan, di mana kita melakukan ibadah puasa,  semakin tahun semakin mengalami pergeseran makna di dalam masyarakat Indonesia. Karena masyarakat yang semakin modern dan materialistis, Ramadan lebih sering dipandang sebagai sebuah “perayaan”, bukan lagi sebagai pencapaian spiritual.

Pada saat bulan Ramadan tingkat konsumsi kita, umat muslim,  sadar atau pun tidak malah mengalami peningkatan. Misalnya buang-buang makanan (food waste) yang pernah kita bahas sebelumnya, justru naik 10-15% di bulan Ramadan. Selain itu, tingkat pembelian kita atas kebutuhan tekstil, transportasi, air dan listrik juga justru meningkat pada bulan suci ini.

إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ ۖ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang pemboros itu adalah saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya.” (QS. Al Isra: 27).

Puasa harusnya mengajarkan kita untuk menahan diri, bukan hanya dari lapar dan haus, namun juga hawa nafsu. Nafsu untuk berlebih-lebihan dalam hal konsumsi tekstil, listrik, air dan transportasi. Tapi pada praktiknya kita malah disuguhi konsumerisme berlebih justru ketika bulan suci. Ironi, bukan?

Lalu, bagaimana sebenarnya Rasulullah menyikapi hal ini di masanya? Dan bagaimana ia mengatur konsumerisme umatnya yang berbeda ratusan tahun dengan umatnya di masa kini? Kita bahas selengkapnya di #KajianUmmah4Earth kali ini bersama Ustaz Azhari Nasution!