Warga Papua dari keluarga Kladit mengerjakan penggilingan sagu mereka di dalam hutan di Desa Sira, Teminabuan, Sorong Selatan, Papua Barat. © Jurnasyanto Sukarno / Greenpeace

Hai semua, apa kabar? Perkenalkan saya Amos dari Sorong, Papua Barat.

Masih betah tinggal di rumah saja? Atau sudah mulai kembali menjalani rutinitas dengan normal baru? Sudah kangen sama teman, rekan kerja, sekolah, kantor, atau bahkan kangen jalan-jalan? 

Kamu tidak sendiri. Setelah berbulan-bulan harus dibatasi pergerakan bak di penjara, rasa bosan yang juga saya rasakan mulai naik ke ubun-ubun. Pada akhirnya, kita memang harus pandai mengelola emosi demi menjaga kewarasan dan terhindar dari stres.

Oh iya, bagaimana dengan kondisi dapur kamu di masa pandemi? Persediaan makanan aman? 

Awal pandemi, saya mendengar kabar ditutupnya semua mall di Jakarta dan kota-kota besar lainnya dalam rangka Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Tak berselang lama pemerintah melonggarkan kebijakan tersebut, bahkan saat jumlah kasus baru terus meningkat, tanpa tanda-tanda penurunan grafik dari virus yang telah menewaskan banyak orang itu.

Dampak pandemi terhadap stabilitas ekonomi jadi alasannya. Roda perekonomian bergerak turun hingga berujung resesi, masyarakat mulai khawatir terhadap ketersediaan bahan makanan. Kebutuhan pangan kemudian jadi hal yang mutlak dan mendesak. Terbukti dengan dikeluarkannya kebijakan baru oleh pemerintah, melalui sejumlah proyek food estate guna menambah lumbung penghasil pangan.

Kami di Papua juga sama. Nilai kebutuhan pokok semakin naik. Harga beras kini melambung hingga Rp 20.000 per kilogram. Pemerintah daerah telah ikut menjamin ketersediaan kebutuhan pokok hingga beberapa bulan ke depan, tapi warga tetap panik dan berbelanja dalam jumlah banyak hingga terus berdampak pada kenaikan harga. Belum lagi masyarakat pelosok dengan keterbatasan aksesnya yang semakin khawatir tak dapat memenuhi kebutuhan berasnya.

Berkenaan dengan masalah itu,  saya sempat membaca sebuah berita online mengenai kendala Bulog mengimpor beras yang berujung pada imbauan pemerintah untuk melirik sagu sebagai alternatif pangan. Seketika, saya teringat dengan kampung-kampung di pesisir Papua yang hampir seluruhnya memiliki dusun sagu yang ditanam masyarakat  ataupun hutan sagu yang ditumbuhi secara alami.

Sagu merupakan makanan pokok masyarakat pesisir Papua. Jauh sebelum beras, sagu lah yang menghidupi masyarakat pesisir, di samping juga pisang dan umbi-umbian. Ketergantungan terhadap beras justru tidak begitu mereka rasakan. Di wilayah pegunungan saja misalnya, saya ingat ketika tinggal di Beoga selama setahun, ubi jalar jadi santapan pagi, siang, dan malam. Pemandangan anak-anak yang memakan ubi jalar bakar sambil berangkat sekolah juga tidak jarang ditemui.

Papuans Peeling Sago Trees in Sungai Tohor. © Fully Syafi / Greenpeace
Yulianus Kmesfle dan Simon Wagarefe Yosepina Sreklefat, warga Mangroholo dan Desa Sira di Sorong, Papua Barat mengunjungi pabrik sagu untuk belajar mengupas pohon sagu saat mengikuti pelatihan di Sungai Tohor, Kepulauan Meranti, Riau. Mereka belajar bagaimana mengolah sagu agar lebih bernilai sehingga dapat membantu meningkatkan perekonomian desa mereka. © Fully Syafi / Greenpeace

Berbeda lagi dengan kawasan Kampung Manggroholo dan Sira di distrik Saifi, Sorong Selatan, yang masyarakat lokalnya menggemari olahan sagu dalam bentuk papeda. Di tempat saya sering bekerja ini, papeda jadi santapan sehari-hari para warga. Bagaimana tidak, pohon sagu banyak tumbuh di pinggir rumah. Butuh makan tinggal tebang dan olah jadi papeda. Pelengkap sempurnanya yang berupa udang, ikan, dan sayuran tinggal mereka ambil ke hutan dan laut belakang rumah. Semuanya tersedia di sekitar tempat tinggal mereka.

Tak hanya itu, sebagian dari sagu yang mereka panen juga dijual untuk memperoleh rupiah. Tidak sedikit anak-anak mereka berhasil menjadi sarjana berkat biaya dari hasil jual sagu. Sekarang melalui dukungan dari pendamping Greenpeace Indonesia, mereka juga mulai memproduksi tepung sagu untuk dijual ke kota-kota terdekat. Mie dan kue berbahan utama sagu juga turut dibuat untuk menambah variasi produk. Dalam 3 bulan terakhir saja, mereka dapat memproduksi sekitar 1 ton tepung sagu yang kemudian dijual ke Kota Sorong dan Manokwari. 

Beda cerita waktu saya ke tempat lain di Papua. Saya pernah mengunjungi Lereh, Kabupaten Jayapura pada 2007 dan 2008 silam. Saya melihat pihak perusahaan sawit yang kala itu membuka lahan di sebuah kawasan hutan. Di sana saya melihat begitu banyak pohon sagu yang tumbang begitu saja dan segera berubah menjadi sawit. Tahun lalu, hal serupa juga saya saksikan menimpa Sorong, Boven Digoel, hingga Fakfak. Beberapa kawasan hutan dan dusun sagu yang disulap menjadi kebun sawit. 

Forests Destruction in Papua. © Greenpeace / Ardiles Rante
Ekskavator membabat hutan Sagu, salah satu sumber makanan pokok masyarakat Papua, untuk membuka lahan bagi perkebunan kelapa sawit. © Greenpeace / Ardiles Rante

Mengiringi alih fungsi lahan tersebut, masyarakat mulai beralih mengkonsumsi beras yang bahkan belum bisa mereka tanam sendiri. Ketergantungan terhadap beras semakin menggila saat adanya program Beras Miskin yang harganya disubsidi oleh pemerintah. Saya membayangkan, jika sejak dulu pemerintah memberikan subsidi bagi pengembangan sagu, bahkan memfasilitasi pemasaran sagu, tidak akan ada kepanikan akan makanan pokok seperti sekarang. Sagu akan begitu mudah dijumpai, mungkin juga dengan harga yang miring dibanding beras impor.

Andai saja sagu di Papua dijaga, diolah, dan dijadikan salah satu makanan pokok di Indonesia seperti zaman dulu. Sagu-sagu itu tentu mampu untuk turut memenuhi kebutuhan pangan masyarakat Indonesia, tanpa perlu khawatir dengan stok makanan di masa pandemi seperti ini. Tidak perlu juga menghabiskan uang negara untuk mengimpor beras, apalagi menghancurkan hutan yang luas untuk dikonversi menjadi ladang sawah.

Kita semua pastinya berharap pandemi ini segera berakhir, kondisi kembali normal, dan kita bisa kembali beraktivitas seperti biasa. Namun, lebih dari itu saya juga berharap dari kondisi ini, kita semua bisa belajar menghargai apa yang sudah disiapkan oleh alam untuk menghidupi kita semua. Kondisi beberapa kampung di Papua yang tidak melupakan makanan pokok asli mungkin bisa menjadi pelajaran besar buat kita untuk tetap menjaga dan mengelola apa yang ada di alam kita.

Mumpung belum terlambat, mari bersama kita lestarikan hutan sagu yang masih tersisa. Kita jaga alam, maka alam pun akan jaga kita.