Puluhan manekin dipasang untuk mewakili publik yang tidak bisa menggelar aksi massa saat Pandemi Covid-19 di depan gedung DPR di Jakarta.

Dalam pidato pelantikannya, Presiden Joko Widodo menyebutkan lima prioritas kerja pemerintah selama periode 2019-2024, yakni pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM), pengembangan infrastruktur, pemangkasan kendala regulasi, penyederhanaan birokrasi, dan transformasi ekonomi. Dari daftar prioritas tersebut, salah satu rencananya adalah menyusun Undang-Undang Omnibus, yang berarti “Undang-Undang yang merevisi beberapa (puluhan) Undang-Undang”.

Awalnya Presiden menyatakan bahwa akan ada dua Undang-Undang Omnibus, yaitu Undang-Undang Omnibus Cipta Karya atau yang sering kita dengar dengan UU Cilaka (Penciptaan Lapangan Pekerjaan) dan Undang-Undang Omnibus Pemberdayaan UKM (PMUKM). Adapun Undang-Undang Omnibus diperlukan untuk mempercepat dan memfasilitasi investasi demi meningkatkan perekonomian Indonesia.

Akan tetapi, Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus sesungguhnya bermasalah. Seperti yang dinyatakan dengan jelas oleh pemerintah, gagasan utama RUU ini ialah untuk “mempercepat proses perizinan demi mendukung investasi dan pengembangan dengan cara menyederhanakan peraturan perizinan dan menghilangkan hambatan yang ada dalam proses perizinan”. Dengan demikian, tujuannya tak lain adalah memfasilitasi investasi sambil mengabaikan isu lingkungan.

Argumen tersebut diperkuat oleh pernyataan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yasonna Laoly. Ia menyebutkan bahwa RUU ini akan mengatur sebelas kluster di dalamnya: penyederhanaan perizinan tanah; persyaratan investasi; pekerjaan; kemudahan dan perlindungan UMKM; kemudahan melakukan bisnis; penelitian dan dukungan investasi; administrasi pemerintah; pengendalian lahan; kemudahan proyek pemerintah; dan zona ekonomi khusus. Tampak jelas bahwa ekonomi menjadi elemen kunci dalam perumusan peraturan ini.

Pembahasan RUU Omnibus telah berlangsung sejak pertengahan 2019. Namun, proses perumusan aturan baru ini sangat kontroversial karena sejumlah pihak yang terlibat terutama dari asosiasi bisnis, seperti Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN), serta Bank Dunia. Oleh karena itu, mereka turut membentuk tim Satgas Hukum Omnibus yang terdiri dari 127 orang yang mayoritas berprofesi sebagai pengusaha.

Investigasi Greenpeace mengungkap deforestasi besar-besaran saat menteri Pemerintah Indonesia tiba di UE untuk membela industri minyak sawit.

Melihat mayoritas struktur ekonomi di Indonesia menggunakan pendekatan industri galian seperti pertambangan dan perkebunan, keselamatan lingkungan negeri ini berada dalam ancaman besar.

Perkara utama terkait lingkungan terletak pada penyederhanaan dan penghapusan peraturan penting untuk perlindungan lingkungan. Lisensi dan izin usaha  akan lebih mudah diberikan, sementara perlindungan bagi masyarakat secara umum dan masyarakat adat semakin terpinggirkan. Mengacu pada RUU tersebut, izin lingkungan akan dihapus, sementara analisis dampak lingkungan (AMDAL) akan “dilemahkan” atau dikurangi. Tanggung jawab ketat atas kebakaran hutan akan ditiadakan dan peraturan kepemilikan tanah pun akan menjadi lebih longgar. Partisipasi masyarakat juga semakin terbatas terhadap lingkungannya sendiri.

Selain itu, pemusatan otoritas juga akan menjadi masalah bagi demokrasi. Dalam hal ini, secakup wewenang akan kembali ke tangan Pemerintah Pusat, seperti pengeluaran lisensi dan izin bisnis. Kondisi ini akan membahayakan tidak hanya lingkungan Indonesia, tetapi juga terhadap demokrasi Indonesia. Berikut daftar lengkap artikel bermasalah dalam RUU Omnibus tentang Perlindungan Lingkungan.

RUU Omnibus jelas mengancam lingkungan di Indonesia, terutama hutan-hutan di dalamnya. Sebagai hutan hujan terbesar ketiga di dunia serta salah satu penghasil emisi utama dari penggunaan lahan, Indonesia telah berkomitmen untuk mengurangi emisi global menjadi 29-41%. Seperti yang dinyatakan dalam Nationally Determined Contributions (NDC), 17% dari target terletak pada penggunaan lahan dan hutan. Kondisi ini menempatkan hutan dan penggunaan lahan sebagai tulang punggung negara dalam mengurangi emisinya. Akan tetapi, hutan dan penggunaan lahan masih menjadi tantangan utama karena kebakaran hutan, deforestasi, dan degradasi merupakan pendorong utama emisi negara selain keberadaan sektor energi. Dengan demikian, kehadiran Undang-Undang Omnibus akan memperburuk kondisi ini.