Setiap tanggal 10 Desember, seluruh dunia memperingati hari Hak Asasi Manusia (HAM). Kabar baik datang dari Majelis Umum Perserikatan Bangsa – Bangsa (PBB). Setelah sebelumnya pada November 2021 lalu, Komisi HAM telah menyetujui resolusi hak atas lingkungan hidup yang bersih, sehat dan berkelanjutan. 28 Juli 2022 lalu, Majelis Umum PBB telah menyetujui resolusi yang mengakui hak atas lingkungan hidup yang bersih, sehat dan berkelanjutan. Setengah abad setelah Konferensi Stockholm dideklarasikan, sebuah perjalanan sejarah yang panjang. 

Jika merunut kembali sejarahnya, pada tahun 2001 Komisi HAM PBB telah menyimpulkan bahwa setiap orang memiliki hak hidup di dunia yang bebas dari polusi, bahan-bahan beracun dan degradasi lingkungan hidup. Resolusi ini merupakan hasil dari kerja-kerja panjang yang dilakukan oleh aktivis lingkungan hidup dan hak asasi manusia, dan tentu saja resolusi ini menjadi tonggak sejarah dalam upaya penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia dari berbagai ancaman, di antaranya adalah  krisis iklim yang tengah serius mengancam keberlanjutan makhluk bumi. 

Kill the Bill Protest in London.

Sebagaimana halnya hak sipil dan politik, hak ekonomi, sosial dan budaya, hak atas lingkungan hidup bersifat universal, yang artinya hak tersebut melekat pada setiap manusia dan menjadi kewajiban masyarakat internasional dan negara untuk menegakkan dan memenuhinya sepanjang masa. Penghancuran lingkungan hidup dan krisis iklim yang terjadi sebagai akibat dari model pembangunan yang eksploitatif, ditenggarai telah mengganggu penikmatan penuh terhadap hak asasi manusia. Di antaranya hak atas hidup, hak atas kesehatan, makanan, air, dan hak atas perumahan. 

Laporan IPCC (AR6, 2022) menyebutkan bahwa dunia akan menghadapi bahaya iklim dalam dua dekade ke depan, krisis iklim semakin memburuk. Gelombang panas, kekeringan, banjir, dan dampak turunannya seperti krisis pangan dan air menjadi fakta yang tak terbantahkan, yang diingatkan oleh para ahli sebagai pengingat bagi kemanusiaan. Krisis iklim telah dan akan terus menyebabkan kerugian dan kerusakan secara luas bagi alam dan manusia. Merusak  tempat tinggal, mata pencaharian dan budaya, dan menjadi ancaman serius bagi kesejahteraan manusia dan kesehatan planet bumi, dan diprediksikan oleh science akan lebih parah, jika tidak ada upaya yang serius dan ambisius dari para pemimpin dunia untuk melakukan langkah adaptasi dan mitigasi, guna memastikan jaminan masa depan bumi yang layak huni dan berkelanjutan bagi semua. 

Anak-anak berenang/menyeberang melewati banjir di Palangka Raya, Kalimantan Tengah. Meluasnya banjir memaksa pemerintah Kota Palangka Raya memberlakukan keadaan darurat selama 14 hari sejak 12 hingga 25 November 2021. Tercatat 17 kecamatan terendam. Banjir tercatat berdampak pada 4.157 KK yang terdiri dari 10.739 warga di 17 dari 30 kelurahan di wilayah Kota Palangka Raya.

Litbang Kompas telah merilis hasil jajak pendapat yang menyebutkan bahwa sedikitnya 9 dari 10 orang merasa khawatir dengan perubahan iklim, kerusakan lingkungan hidup dan polusi udara (28 Juli 2022). Temuan jajak pendapat ini mengkonfirmasi dan memperkuat alasan 14 orang warga negara, dan empat orang di antaranya adalah anak-anak. Para pengadu merasa sangat khawatir dengan krisis iklim yang merampas hak-hak mereka, di antaranya hak untuk mendapatkan kehidupan yang baik, sehat dan berkualitas. Para pengadu menilai bahwa hak asasi mereka dipengaruhi oleh tindakan-tindakan pemerintah dalam merespon perubahan iklim. Terlebih dampak terburuk dari krisis iklim jelas akan dirasakan oleh generasi mendatang. Kekhawatiran anak-anak akan masa depan yang terancam dari krisis iklim adalah valid. Sayangnya dalam konteks kebijakan politik, anak-anak ini seolah tak berwajah dan bernama, mereka terabaikan. Padahal anak-anak menjadi kelompok yang menanggung beban paling berat, dari apa yang dilakukan oleh pengurus negara hari ini. 

Pekerjaan Rumah

Berbanding terbalik dengan kesadaran dan sekaligus kekhawatiran publik, termasuk anak-anak dan kaum muda akan kerusakan lingkungan hidup dan ancaman krisis iklim yang sudah di depan mata, tidak demikian yang ada di benak pengurus negara dan elit politik yang pada realitasnya menjadi penentu bagi keselamatan bumi dan masa depan generasi yang akan datang. 

Students Protest against Omnibus Law in Semarang.

Alih-alih memikirkan bagaimana melindungi dan memastikan terpenuhinya  hak generasi yang akan datang, pengurus negara, elit politik dan institusi politik justru sibuk membentang karpet merah untuk oligarki dan gurita bisnisnya di industri ekstraktif. Demokrasi dibajak, kekayaan alam digadaikan untuk melanggengkan kuasa oligarki. Sistem politik justru menjadi mesin-mesin yang menghancurkan alam. Kejahatan iklim dilegalkan dalam produk Undang-Undang. Dari semua praktik politik yang tengah berlangsung ini, pada akhirnya yang dikorbankan adalah bumi dan masa depan generasi yang akan datang. 

Nampaknya pengurus negara perlu melihat dan mendalami kembali Konstitusi pasal 28H, UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang telah secara tegas menyebutkan lingkungan hidup yang bersih dan sehat sebagai hak asasi manusia. Bahwa esensi kehidupan manusia sangat ditentukan oleh kualitas lingkungan hidup  yang baik dan sehat. Mungkin pengurus negara berpikir, bahwa yang memiliki tanggung jawab menjalankan hak asasi manusia hanya lembaga Hak Asasi Manusia. 

Pada  Amicus Curiae yang dikirimkan dalam kasus gugatan polusi udara sebagai contoh, Utusan Khusus PBB, David R. Boyd menyatakan bahwa pemerintah Indonesia gagal memenuhi kewajiban untuk mengambil tindakan yang diperlukan dalam meningkatkan kualitas udara, padahal udara bersih adalah komponen penting dari hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat yang wajib diberikan oleh pemerintah. Pengurus negara gagal memahami esensi dari hak asasi manusia, gagal memahami tugas mereka sebagai pemanggul kewajiban HAM yakni menghormati, melindungi dan memenuhi HAM.

Sebagai bagian dari 161 negara yang mendukung resolusi Majelis Umum PBB ini, pemerintah Indonesia dituntut untuk menjalankan komitmennya. Meminjam pesan yang disampaikan oleh Sekjen PBB yang mengingatkan kepada para pemimpin negara bahwa mengadopsi resolusi hak atas lingkungan hidup yang bersih, sehat dan berkelanjutan sebagai sebuah langkah awal untuk menjadikan hak tersebut menjadi kenyataan bagi semua orang, dimana saja. Maka kenyataan tersebut harus diterjemahkan ke dalam kebijakan nasional masing-masing negara, termasuk Indonesia yang bersetuju dengan resolusi ini. Secara fundamental mengoreksi paradigma ekonomi dan pembangunan ke arah ekonomi yang berkeadilan bagi lingkungan hidup dan rakyat, dan berikutnya diikuti dengan tindakan membatalkan regulasi-regulasi yang justru menyebabkan kerusakan dan kehancuran yang meluas hingga hilangnya ekosistem. 

Dan pada akhirnya sebagai warga negara, kita harus secara bersama-sama bersuara untuk mendorong dan memastikan agar institusi negara secara serius untuk menghormati (to respect), melindungi (to protect), dan memenuhi (to fulfill) hak atas lingkungan hidup (rights to the environment) dan hak lingkungan hidup itu sendiri (environmental rights).