Waktu itu malam menjelang larut di Bandara Schiphol di Amsterdam, Belanda. Di tengah riuh rendah orang berbicara dalam berbagai bahasa asing, sayup-sayup telinga saya menangkap obrolan dengan bahasa dan aksen yang tak asing. Di satu sudut ruang tunggu, ada sekelompok pemuda Indonesia tengah asyik bersenda gurau. “Aja kaya kiye, ah! Ngisin-ngisini (Jangan seperti itu, ah. Bikin malu saja.),” ucap seseorang dan disambut tawa teman-temannya.

Saat antre masuk pesawat menuju Indonesia, tampak masing-masing dari mereka menenteng kantong belanja bertuliskan “SCHIPHOL”. 

“Isi coklat, Mbak. Buat oleh-oleh yang di rumah. He he he,” ujar salah satu di antara mereka.

Namanya Widayanto. Pemuda 28 tahun asal Tegal, Jawa Tengah, itu di awal 2020 lalu meninggalkan tanah kelahirannya untuk bekerja menjadi ABK atau awak kapal perikanan (AKP) migran. Setelah menyelesaikan kontraknya selama 22 bulan, akhirnya ia dipulangkan ke Tanah Air. Rekeningnya hijau subur. Betapa tidak, upahnya hampir dua tahun bekerja nyaris tak pernah terpakai selama dia masih di rantau.

Selama 1,5 tahun terakhir saya banyak berjumpa AKP migran untuk pekerjaan saya di kampanye laut Greenpeace, tapi baru kali ini saya bertemu dengan awak kapal seperti dia. Tak seperti beberapa AKP yang datang membawa kisah pilu karena menjadi korban kerja paksa dan pulang dengan tangan hampa, Widayanto menceritakan pengalamannya dengan ceria.

“Nama kapalnya SAE IN VICTOR bendera Korea [Selatan]. Kami nangkap ikan mero (Antarctic toothfish atau Dissostichus mawsoni), biasanya dimakan mentah seperti sushi sama orang Korea. Nangkap ikannya di perairan Falkland dekat Antartika. Dingin di sana; sekitar 15 derajat [Celcius],” tuturnya saat pesawat kami sudah dekat Indonesia.

Untuk setiap 12 jam bekerja, ia mendapat waktu 6 jam untuk beristirahat. Selama bekerja dan hidup di kapal, ia mendapatkan fasilitas yang baginya layak – mulai dari makan, minum, tempat tidur, hingga kebutuhan lain seperti peralatan mandi. Dalam memberikan instruksi, sang kapten kadang menggunakan bahasa Indonesia kendati lebih sering pakai bahasa Korea. Biasanya mereka melaut selama 4-5 bulan, lalu kapal akan kembali bersandar di Montevideo, Uruguay. Selama kurang lebih sepekan selagi kapal dikosongkan dan ikan-ikan hasil tangkapan dipindahkan ke kapal pengangkut untuk dibawa ke Korea Selatan, para AKP beristirahat di daratan. Setelah lambung kapal kosong, gudang penuh dengan perbekalan, dan kru kapal siap bekerja lagi, kapal mengangkat sauh dan mereka kembali melaut. Upahnya sudah dilunasi pihak pemberi kerja sebelum ia dibelikan tiket pulang. Segala dokumen pun aman berada di tangannya.

“Dulu semua berkas saya urus sendiri, Mbak,” ucap Widayanto saat saya bertanya tentang cerita di balik “kesuksesannya” sebagai AKP migran.

“Semuanya. Dari paspor, sertifikat BST (basic safety training), sampai buku pelaut. Lebih capek, tapi lebih aman karena kalau ada apa-apa saya tahu semua. Biasanya kalau kantor yang bermasalah itu [proses pengurusan berkasnya] digampangin semua,” tuturnya.

Ia mengacu pada kantor-kantor manning agency atau agen perekrut dan penyalur AKP migran nakal. Dari puluhan manning agency yang beroperasi di Tegal, tak sedikit yang menawarkan “paket instan” seperti itu. Calon AKP migran dimintai sejumlah uang dengan jaminan semua urusan berkas beres dan mereka tinggal menunggu diberangkatkan. Inilah celah yang mereka manfaatkan untuk memalsukan beragam dokumen dan mengirim awak kapal tanpa legalitas yang jelas.

Sayangnya, tak semua calon AKP migran sekritis Widayanto. Setiap tahun ribuan AKP migran meninggalkan Indonesia menjadi “pahlawan devisa”. Tapi tak satu pun dari pihak pemerintah tahu pasti berapa jumlah mereka, di kapal mana saja mereka bekerja, dan bagaimana kondisi mereka yang sudah berada di laut sana. Dan ketika mereka terjebak beragam masalah ketenagakerjaan – seperti mengalami kekerasan fisik, gaji tak dibayar, ditipu, dokumen ditahan, dan lainnya – berbagai pihak saling tunjuk dan lepas tanggung jawab. Tapi saat ada AKP Indonesia yang meninggal dan peristiwa itu terpublikasi hingga viral di media sosial, semua berbalik menjadi pahlawan kesiangan.

Serikat Buruh Migran Indonesia bersama Greenpeace Indonesia melakukan aksi damai di depan Istana Merdeka, Jakarta Pusat, untuk mendorong Presiden segera meratifikasi Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Penempatan dan Pelindungan Awak Kapal Niaga dan Awak Kapal Perikanan.

Cerita Widayanto menyadarkan saya akan satu hal: AKP migran bekerja dengan baik dan pulang dengan selamat adalah mungkin JIKA pemerintah membenahi tata kelola perekrutan dan pelindungan AKP migran. 

Widayanto dan AKP lain yang bekerja di kapal Korea Selatan barangkali sedikit pengecualian, sebab antara pemerintah Indonesia dan Korea Selatan punya perjanjian antarpemerintah untuk sektor perikanan. 

Namun, bagaimana dengan AKP di kapal negara lain seperti Tiongkok dan Taiwan? Tentu pemerintah harus memastikan keselamatan mereka, bahkan sejak mereka baru hendak mendaftarkan diri. Salah satu mata rantainya adalah di urusan perizinan bagi perusahaan perekrut dan pengirim AKP migran.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2022 tentang Penempatan dan Pelindungan Awak Kapal Niaga Migran dan Awak Kapal Perikanan Migran tertulis bahwa pihak yang merekrut dan menempatkan AKP migran haruslah mengantongi izin dari Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia (Kemnaker RI) berupa Surat Izin Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (SIP3MI) dan dari Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) berupa Surat Izin Perekrutan Pekerja Migran Indonesia (SIP2MI). 

Namun, yang berlangsung selama ini, ternyata Kementerian Perhubungan juga punya wewenang memberikan izin untuk manning agency, yakni melalui penerbitan Surat Izin Usaha Perekrutan dan Penempatan Awal Kapal (SIUPPAK). Ini tercantum dalam Peraturan Menteri Perhubungan No. 59 Tahun 2021.

Nah, dengan terbitnya PP 22/2022, seharusnya wewenang Kementerian Perhubungan tersebut gugur. Dan leading sector dalam perizinan dan pengawasan dalam perekrutan dan penempatan AKP migran adalah berada pada Kementerian Ketenagakerjaan – dan memang seharusnya demikian, sebagaimana dalam urusan pekerja migran di sektor lain.

Apa urgensinya? Tentu saja agar pemerintah lebih bertanggung jawab dari hulu ke hilir atas perekrutan, penempatan, pelindungan selama bekerja, hingga pemulangan AKP migran. Serta memastikan bahwa pihak yang melakukannya adalah kementerian dan badan yang memang membidangi urusan ketenagakerjaan.

Memperingati World Fisheries Day sekaligus Hari Ikan Nasional pada 21 November ini, kita perlu mengingatkan pemerintah sekali lagi tentang urgensi pelindungan yang lebih baik untuk awak kapal perikanan migran. Setidaknya itu dulu: perizinan harus satu pintu. Mengiringi di belakangnya barulah pembenahan mekanisme pengawasan, pengaduan, dan lainnya. Memang perjalanan masih panjang. Namun harus diakui, kita bukan Roro Jonggrang dan pemerintah bukan Bandung Bondowoso yang bisa mengabulkan harapan kita dalam satu malam saja. Perubahan perlu proses. Dan proses itu perlu komitmen semua pihak.

Pesawat yang saya dan Widayanto tumpangi akhirnya mendarat di Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Dari jendela tampak langit berwarna jingga karena matahari baru lingsir. Sesaat sebelum kami berpisah, dengan mata berbinar Widayanto berkata, “Saya mau langsung ke terminal, Mbak. Ngejar bus malam biar besok subuh sampai Tegal. Keluarga mau jemput, tapi nggak saya bolehin.”

Di balik masker yang ia kenakan, saya yakin ia sedang tersenyum. Senyum kangen yang membuncah ingin segera menyerahkan coklat yang dibelinya di Belanda untuk sang ibu. Senyum lega akhirnya pulang membawa rezeki untuk memperbaiki kesejahteraan keluarga. Senyum penuh harap untuk bisa melaut lagi suatu hari nanti.