Tenaga nuklir seringkali dielu-elukan sebagai solusi untuk menurunkan emisi gas rumah kaca yang instan dan dalam skala besar agar dapat mengurangi atau bahkan mencegah dampak krisis iklim. Tenaga nuklir merupakan opsi yang sangat difavoritkan oleh para politisi dan pelaku industri dalam hal investasi di bidang energi terbarukan, opsi penggunaan tenaga nuklir diperkuat dengan klaim menyesatkan yang berkaitan dengan keamanan, efisiensi, stabilitas, serta kecepatan penerapan tenaga nuklir tersebut.

Dengan mempertimbangkan biaya dan efisiensi energi terbarukan yang makin berkembang tiap tahunnya serta dampak krisis iklim yang makin buruk dan dirasakan oleh seluruh dunia, kita harus mempertanyakan “mitos” yang dilontarkan oleh pelaku industri nuklir dan para pendukungnya. Inilah enam alasan mengapa tenaga nuklir bukanlah solusi untuk mewujudkan masa depan yang bersih serta bebas dari karbon.

1. Energi nuklir hanya sedikit berkontribusi

Penggunaan bahan bakar fosil di dalam bauran energi total harus dikurangi menjadi 0% jauh sebelum tahun 2050 agar dampak krisis iklim dapat ditangani. Berdasarkan skenario yang dibuat oleh World Nuclear Association dan OECD Nuclear Energy Agency, pelipatgandaan tenaga nuklir di seluruh dunia pada tahun 2050 hanya akan mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 4%. Pengurangan yang tidak signifikan itu juga hanya akan terjadi dengan syarat harus beroperasinya 37 reaktor nuklir baru mulai tahun ini, setiap tahunnya, hingga tahun 2050.

Akan tetapi, terhitung sejak 10 tahun lalu, jumlah reaktor nuklir baru yang beroperasi hanya ada 10 tiap tahunnya. Maka dari itu, memaksakan pembangunan reaktor nuklir hingga 37 reaktor tidaklah mungkin (disebabkan oleh kurangnya kapasitas untuk membangun bejana reaktor). Sedangkan untuk 15 tahun mendatang, jumlah reaktor baru yang akan dibangun atau masih dalam tahap perencanaan hanya sebanyak 57 reaktor. Oleh karenanya, pelipatgandaan tenaga nuklir untuk mengurangi penggunaan bahan bakar fosil secara berarti sangatlah tidak mungkin.

2. PLTN merupakan objek yang berbahaya dan rentan

Pabrik dan reaktor nuklir merupakan sasaran empuk untuk tindakan kejahatan seperti: ancaman teroris, kemungkinan kecelakaan pesawat baik yang disengaja maupun tidak, serangan siber, serta perang. Struktur bangunan pabrik serta reaktor nuklir yang dipenuhi dengan material radioaktif tidaklah dirancang untuk menghadapi gangguan tindakan kejahatan tersebut.

Pembangkit listrik bertenaga nuklir memiliki tingkat bahaya yang berbeda ketika mengalami kerusakan jika dibandingkan dengan pembangkit listrik bertenaga lainnya. Hal ini ditunjukkan saat terjadinya bencana di Fukushima Daiichi dan juga pada konflik militer yang ada.

Untuk pertama kalinya dalam sejarah, sebuah perang besar terjadi di suatu negara yang memiliki banyak reaktor nuklir serta ribuan ton bahan bakar radioaktif. Perang yang terjadi di Ukraina Selatan di sekitar Zaporizhzhia meningkatkan potensi adanya kerusakan reaktor nuklir.

Pembangkit listrik bertenaga nuklir adalah bangunan yang sangat sensitif dan sangat kompleks sehingga untuk menjaganya tetap beroperasi dengan baik tanpa kerusakan dibutuhkan sumber daya yang siap setiap saat. Hal ini tentunya tidak dapat dipenuhi ketika perang sedang terjadi.

Selain itu, pembangkit listrik tenaga nuklir juga rentan terhadap krisis iklim dan juga cuaca ekstrem. Tenaga nuklir merupakan teknologi yang sangat membutuhkan air untuk proses pendinginannya. Tenaga nuklir sangat rentan terhadap kekurangan air dan meningkatnya suhu air karena dapat melemahkan fitur pendinginan pada reaktor nuklir beserta alat-alatnya. Reaktor nuklir di Amerika Serikat dan Perancis sering dimatikan ketika gelombang panas sedang berlangsung.

3. Energi nuklir itu mahal

Biaya untuk menghasilkan tenaga surya berkisar dari 36$ hingga 44$ per megawatt-hour (MWh), berdasarkan laporan status dari World Nuclear Industry, sedangkan biaya untuk menghasilkan tenaga angin berkisar dari 29$ hingga 56$ per MWh. Akan tetapi, biaya untuk menghasilkan tenaga nuklir berkisar dari 112$ hingga 189$ per MWh.

Selama satu dekade terakhir, laporan World Nuclear Industry memperkirakan biaya untuk penggunaan tenaga surya telah turun hingga 88% dan angin telah turun hingga 69%. Namun, biaya penggunaan tenaga nuklir malah meningkat hingga 23%.

Berdasarkan studi yang dirilis oleh Greenpeace Prancis dan Rousseau Institute pada November 2021, energi yang dihasilkan dari European Pressurised Reactor (EPR) di Flamanville, Prancis akan menjadi tiga kali lipat lebih mahal dari sumber energi terbarukan lain di Prancis.

4. Energi nuklir itu lamban

Laporan World Nuclear Industry pada tahun 2021 memperkirakan bahwa sejak 2009, rata-rata waktu konstruksi reaktor nuklir di seluruh dunia memakan waktu 10 tahun. Perkiraan ini jauh dari estimasi yang diperhitungkan oleh World Nuclear Association (WNA) yang memperkirakan pembangunan reaktor nuklir hanya memakan waktu sekitar 5 hingga 8,5 tahun.

Perbedaan estimasi pembangunan reaktor nuklir tentunya memiliki dampak yang besar dalam penanggulangan krisis iklim karena semakin lama menunggu,pembangkit listrik berbahan bakar fosil akan terus beroperasi dan menghasilkan gas rumah kaca.

Proses ekstraksi, transportasi, dan juga pengolahan uranium tentunya tidak terlepas dari emisi gas rumah kaca. Walaupun pada prosesnya tenaga angin dan surya juga mengemisikan gas rumah kaca, tetapi kedua tenaga tersebut bisa dioperasikan lebih cepat dan dalam skala yang lebih besar.

5. Energi nuklir menghasilkan limbah beracun dalam jumlah besar

Banyaknya tahapan dalam siklus bahan bakar nuklir berakibat pada banyaknya produksi limbah dengan kandungan radioaktif yang tinggi. Hingga kini belum ada pemerintahan yang mampu memecahkan solusi untuk mengolah limbah tersebut dengan aman.

Sebagian dari limbah nuklir ini akan tetap memiliki kandungan radioaktif yang tinggi selama ribuan tahun. Tentunya hal ini akan menjadi momok bagi lingkungan serta generasi yang akan datang.

Alasan utama nuklir tidak bisa dilabeli sebagai energi yang berkelanjutan adalah karena nuklir tidak memenuhi prinsip Uni Eropa, yaitu “tidak memberikan bahaya yang signifikan”. Hal ini disetujui oleh negara-negara seperti Austria, Denmark, Jerman, Luksemburg, dan Spanyol dalam taksonomi keuangan hijau milik Uni Eropa. Ini juga merupakan salah satu alasan mengapa, pada 9 Maret 2020, Kelompok Pakar Teknis untuk Keuangan Berkelanjutan (TEF) Komisi UE menolak energi nuklir karena tidak memenuhi prinsip ‘Do No Significant Harm’ UE dan merekomendasikan untuk mengecualikan tenaga nuklir dari taksonomi hijau.

Pengelolaan limbah nuklir juga sangat membebani para pembayar pajak. Ini juga berlaku di Eropa dan Amerika Utara. Pada tahun 2019, laporan dari US Energy Department menyebutkan bahwa perkiraan biaya untuk pembersihan limbah nuklir dalam jangka panjang melunjak hingga 100 juta dolar hanya dalam setahun.

6. Industri Nuklir Sudah Usang

Teknologi reaktor nuklir EPR dipamerkan oleh pemerintah serta operator nuklir Prancis EDF sebagai teknologi yang revolusioner. Pada kenyataannya teknologi tersebut sudah usang dan pembangunannya mangkrak selama lebih dari 10 tahun serta biayanya membengkak hingga empat kali lipat.

Apa yang disebut “reaktor nuklir generasi berikutnya”, juga mengalami banyak masalah. Penundaan dan pembengkakan biaya terjadi di Prancis, Inggris, Finlandia, dan China.

Selama 40 tahun terakhir, teknologi tenaga nuklir baru disebut-sebut akan menjadi hal yang besar. Akan tetapi, meskipun dengan adanya pendanaan publik, prospek itu hanyalah bualan belaka. Meskipun ada subsidi publik yang besar, prospek itu tidak pernah berhasil. Itu juga berlaku untuk Reaktor Modular Kecil (SMR).

Kita harus sangat waspada setiap mendengar pandangan pronuklir dari para ahli dan organisasi yang bekerja sama dengan pemangku kepentingan karena pandangan tersebut telah dikotori oleh kepentingan pribadi. Energi nuklir tidak memiliki tempat untuk masa depan yang aman, bersih, dan berkelanjutan. Kita harus menjauh dari solusi palsu dan meninggalkan tenaga nuklir menjadi masa lalu.


*Artikel ini sebelumnya dipublikasikan di laman web Greenpeace Internasional oleh Mehdi Leman dengan judul “6 reasons why nuclear energy is not the way to a green and peaceful world