Chasing The Shadow (CATS) team hold a photo ops by spreading the banner in the middle of Timbulsoko village which about thirty years ago was surrounded by agriculture area then gradually changed and became fishponds and today is totally submerged by the sea water due to the rising sea levels in conjunction with the land subsidence and climate change in north coast of Sayung Sub-district, Demak Regency, Central Java, Indonesia.

Ketika perjalanan pulang dari Surabaya menuju Jakarta bersama para peserta Chasing The Shadow lainnya, Iman Sulaeman, atau yang akrab disapa Dayak sudah pasrah. Mengingat, ia merasa bahwa identitas dirinya dan teman-teman pesepeda lainnya sudah tersebar luas di jaringan informasi intel aparat. 

Mulai dari setibanya mereka di stasiun kereta hingga mereka terduduk di kursi kereta, para intel aparat senantiasa mengintai mereka tepat berada di depan dan belakang kursi yang diduduki oleh Dayak dan teman-teman pesepeda lainnya. 

“Asli, dari sana kaya sadar kalau semua data kita sudah benar-benar tersebar. Mulai dari apa yang kita bawa, sampai ke kita mau kemana, pesan tiket kereta apa, duduk di kursi berapa dan gerbong apa.” Ujar Dayak.

“Karena pas kita di stasiun sudah ada intel, pas kita duduk juga depan sama belakang udah ada juga” Tambah Dayak.

Dayak dan teman-teman pesepeda lainnya terpaksa harus pulang menuju Jakarta di bawah paksaan sejumlah orang dari organisasi masyarakat, Tapal Kuda Nusantara dan Sapu Lidi setelah makan siang di sebuah restoran di Probolinggo, Jawa Timur, 7 November lalu. 

Mereka memaksa pihak Greenpeace untuk menghentikan kegiatan Chasing The Shadow dengan menulis pernyataan dan tanda tangan di atas materai untuk menghentikan kegiatan dan tidak melanjutkan perjalanan ke Bali hingga Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 selesai. 

Hal tersebut menjadi salah satu momen teraneh sekaligus terseram yang dirasakan Dayak dan teman-teman pesepeda lainnya dalam menunaikan rangkaian aksi Chasing The Shadow. Bukannya menumbuh-tegakkan demokrasi dan kebebasan berpendapat, kegiatan yang damai dan kreatif justru diintimidasi.

Secara tidak langsung, kejadian ini samar-samar mengingatkan kita pada memoar budaya pencorengan demokrasi yang kerap dilakukan dan dinormalisasi oleh negara pada era Orde Baru. 

Bara semangat pesepeda dalam perjalanan kesaksian krisis iklim

An aerial view of the limestone mining as raw material for cement factories. The mining is threatening the agriculture land and the water source in Kendeng Mountains at Tegaldowo Village, Gunem Sub-subdistrict, Rembang Regency, Central Java, Indonesia.

Hari-hari dilalui Dayak dan teman-teman pesepeda lainnya dengan penuh semangat mengembarakan pesan dan solusi melawan krisis iklim dengan bersepeda dari Jakarta menuju Denpasar menjelang KTT G20. Perjalanan ini sekaligus menjadi sebuah kesaksian tentang bagaimana dampak krisis iklim sedang mengancam sejumlah wilayah di Indonesia.

Komoditas energi fosil batubara terbilang cukup tinggi di dunia, khususnya Indonesia. Tak bisa dipungkiri, ketergantungan ini dapat menyebabkan pelepasan emisi secara masif dan menyebabkan krisis iklim berefek domino– kerusakan lingkungan, terenggutnya kesehatan masyarakat, musnahnya flora dan fauna, dan tersingkirkannya masyarakat adat serta komunitas lokal akibat perampasan lahan. 

Chasing The Shadow (CATS) team Eko Satrio Purnomo shows the coal ashes on his hand from Marunda Flat’s that is polluting the neighborhood at Marunda area in North Jakarta, as they start the journey on the first leg bicycle tour, Monday on 17 October 2022.

Dalam rute Jakarta – Probolinggo, mereka menyambangi beberapa titik tempat yang menjadi saksi dari dampak industri batubara dan krisis iklim seperti Marunda, Muara Gembong, dan beberapa tempat lainnya.

Setelah Jakarta, perjalanan dilanjut di Bandung dengan acara berbalut pagelaran seni dan pemutaran film di Selasar Sunaryo Art Space. Selanjutnya, tim bergerak menuju Semarang dan melakukan sebuah sesi wawancara dengan stasiun radio lokal. Pada saat siaran berlangsung, ada beberapa aparat berseragam yang memasuki area studio dan melakukan pendokumentasian dan wawancara kepada beberapa teman-teman pesepeda. 

Setelahnya, tim melanjutkan perjalanan menuju Kudus dan Pati, tentunya masih diawasi dengan aktivitas pengintaian dari sejumlah intel aparat. Tim memutuskan untuk beristirahat di sebuah hotel di Pati untuk keesokan harinya melanjutkan perjalanan menuju Kendeng.

Pengintaian semakin menjadi. Pada tengah malam, receptionist hotel di Pati mengabari tim Chasing the Shadow bahwa salah satu mobil milik tim ditabrak dan menyebabkan kerusakan di suatu sisi. Nahasnya, kejadian itu tak terekam CCTV karena masuk di area blind spot. Namun, berdasar kesaksian didapatkan informasi bahwa yang menabrak mobil tersebut adalah seseorang yang menggunakan motor merah dengan plat nomor merah.

“Kecewa banget dengan apa yang dilakukan pemerintah buat ngebungkam kegiatan kita kemarin. Ketika negara yang harusnya membuka ruang selebar-lebarnya tentang semangat baik yang dibawa pesepeda, justru malah menutup rapat-rapat dengan cara yang gak baik dan malah mungkin jadi contoh yang buruk kedepannya.” Pungkas Dayak.

Di Surabaya, aksi intel aparat dan organisasi masyarakat semakin intens mengintai para pesepeda dan tim Chasing The Shadow hingga berujung pada pemaksaan dan intimidasi.

Ditambah, pada saat perjalanan menuju Probolinggo salah satu pesepeda Chasing The Shadow, Raffi, mendapat perlakuan represif dari aparat– salah satu mobil polisi dengan sengaja berjalan memepet dirinya yang tengah mengayuh sepeda. 

Lumpuhnya Demokrasi di Indonesia

Aksi intimidasi dan pemaksaan yang dilakukan oleh aparat negara dan beberapa organisasi masyarakat kepada tim Chasing The Shadow adalah bukti akurat atas kemunduran demokrasi di Indonesia. Tragisnya, hal ini seakan sengaja diciptakan dan dinormalisasi oleh negara, yang berarti negara dengan sengaja telah mencederai hak fundamental yang dimiliki oleh masyarakat.

Padahal, aksi Chasing The Shadow dilakukan secara damai dan sama sekali tidak bersifat mengancam siapapun dalam bentuk apapun. Justru sebaliknya, aksi ini sebagai pengingat bahwa bencana dampak krisis iklim sudah di depan mata dan sudah sepatutnya pemerintah bergerak tangkas untuk mengatasi masalah ini.

Chasing The Shadow (CATS talks with Timbulsloko’s villagers during their visit at Timbulsoko village which about about thirty years ago this area surrounded by agriculture area then gradually change became fishponds and today totally submerged by the sea water due to the rising sea levels in conjunction with the land subsidence and climate change in north coast of Sayung Sub-district, Demak Regency, Central Java, Indonesia, Sunday 30 October 2022.

KTT G20 yang sedang digelar di Bali akan membahas beberapa hal, salah satunya transisi energi yang berkelanjutan. Jika memang benar bahwa segala keputusan yang dihadirkan dalam KTT G20 berpihak pada lingkungan dan masyarakat, seharusnya pesan dan solusi yang dibawa pada aksi Chasing The Shadow bisa menjadi masukan. Sayangnya, fakta dan keadaan berkata sebaliknya.

KTT G20 seakan menjadi forum rahasia milik elit sangat tertutup, rakyat biasa tak boleh bicara. Padahal keputusan yang akan diambil dalam forum G20 akan mempengaruhi masyarakat kecil yang selama ini terus menjadi korban dan menanggung segala bentuk dari dampak buruknya.

Dayak dan teman-teman pesepeda dalam Chasing the Shadow hanyalah sedikit contoh dari banyaknya suara masyarakat yang dibungkam oleh penguasa tanpa alasan yang jelas. Namun, niscaya luka-luka yang disebabkan oleh bungkaman penguasa akan menjelma menjadi kobaran semangat masyarakat yang terus menyala untuk tetap menyuarakan tuntutan keadilan.

Dukung tim pesepeda Chasing The Shadow dengan menandatangani petisi Transisi Energi Butuh Demokrasi 

Sherina Redjo adalah Content Writer di Greenpeace Indonesia