Terjebak berjam-jam di tengah kemacetan, sulit mendapatkan transportasi online, sehingga membutuhkan waktu jauh lebih lama untuk pulang menuju rumah, adalah derita yang dirasakan warga Ibukota Jakarta beberapa hari belakangan ini akibat banjir dan hujan ekstrem. Sejumlah daerah pun, lagi-lagi, tergenang banjir. Sampai Kamis, 6 Oktober kemarin, Badan Penanggulangan Bencana Daerah DKI Jakarta mencatat ada 17 ruas jalan 41 RT yang terimbas banjir. Bertambah dari hari sebelumnya sebanyak tujuh ruas jalan dan lima RT.

Tak hanya itu, banjir juga merenggut tiga nyawa siswa Madrasah Tsanawiyah (MTS) Negeri 19, Pondok Labu, Jakarta Timur. Mereka tertimpa tembok yang roboh, diduga akibat tak kuat menahan luapan air. Mereka, anak muda ini adalah korban dari krisis iklim.

Kondisi ini mungkin bertambah parah dalam waktu dekat. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika memperkirakan potensi cuaca ekstrem—hujan sedang hingga lebat, disertai kilat atau petir dan angin kencang—akan berlangsung sampai 15 Oktober. Wilayah tetangga Jakarta, seperti Jawa Barat dan Banten, dan lebih dua puluh provinsi lain di Indonesia diprediksi mengalami hal yang sama.

Banjir—termasuk jatuhnya korban—dan kemacetan adalah dampak dari krisis iklim yang melanda negara-negara secara global. Penggunaan bahan bakar fosil terus-menerus, efek gas rumah kaca, berkurangnya hutan dan ruang terbuka hijau jelas membuat Bumi semakin panas. Temperatur yang semakin panas ini memicu lebih banyak air yang menguap ke udara. 

Semakin banyak uap air di udara, potensi hujan lebat pun meningkat. Pada saat bersamaan, suhu global juga mempengaruhi bagaimana gelombang panas dan uap air bergerak mengitari Bumi. Walhasil, satu belahan dunia bisa mengalami kekeringan—seperti yang terjadi di Amerika bagian utara dan Eropa, sedangkan belahan dunia lainnya dilanda banjir.

Kita melihat bagaimana banjir menerjang Seoul, Korea Selatan dan Pakistan pada Agustus lalu karena cuaca ekstrem. Di Seoul, setidaknya sembilan orang meninggal dan tujuh orang hilang. Sedangkan banjir Pakistan merenggut nyawa 1.600 orang dan membuat lebih dari sembilan juta orang mengungsi

Floods in South Korea 2022.
Taman dan jalan banjir di samping sungai Han di Seoul karena hujan deras yang lebat.

Di mana-mana setiap ada kejadian bencana, selalu orang-orang dari kelas sosial bawah yang paling merasakan dampaknya, seperti warga Seoul yang tinggal di banjiha atau semi-underground apartment. Kita yang beraktivitas di Jakarta pun mungkin akan mengalami lebih banyak banjir dan kemacetan di masa mendatang lantaran dampak krisis iklim. Apalagi, kajian analisis bisnis Verisk Maplecroft yang dirilis tahun lalu menempatkan Jakarta sebagai kota paling rentan krisis iklim dari 576 kota besar di dunia.

Tak bisa dipungkiri ada segudang masalah yang melatari banjir di Jakarta dan juga kota-kota besar lainnya. Minimnya ruang terbuka hijau—baru 9 persen dari seharusnya 30 persen, penurunan muka tanah karena penyedotan air tak terkendali, buruknya sistem drainase, hingga masalah yang melintasi batas administratif, seperti berkurangnya tutupan lahan di kawasan Puncak, Bogor, Jawa Barat. 

Pemerintah DKI Jakarta jelas harus meninjau kembali peruntukan lahan dan mengembalikan ruang terbuka hijau di Ibu Kota. Pembatasan kendaraan bermotor, prioritas pada pejalan kaki dan pesepeda dan perluasan jaringan transportasi publik yang bebas dari gangguan macet dan banjir, mutlak dilakukan agar kota ini dapat menghadapi ancaman krisis iklim. 

Pemerintah pusat juga mesti memegang kendali untuk memadukan kebijakan lintas daerah. Pun perlu komitmen untuk mengakhiri aktivitas yang memperparah dampak krisis iklim, seperti menutup PLTU Batubara lebih cepat, melindungi hutan yang masih tersisa, dan menyediakan transportasi publik yang andal dan menjangkau banyak wilayah demi mengurangi penggunaan energi fosil.

Kota kita tidak dirancang untuk menghadapi krisis iklim, karena memang krisis iklim bukan sesuatu yang kita harapkan, namun dengan kondisi saat ini, perubahan harus dilakukan, kota kita harus diubah, kebijakan pemerintah pun juga harus diubah, atau hidup kitalah yang akan diubah oleh krisis iklim. 

Climate Strike in Jakarta.
Ratusan masyarakat Indonesia mengikuti long march Climate Strike di Jakarta pada Jumat, 23 September 2022.