Fenomena kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Kalimantan Barat, agaknya sudah menjadi rutinitas tahunan. Karhutla hampir terjadi pada setiap musim kemarau, khususnya pada saat kemarau ekstrim akibat El-Nino. Kondisi ini diperparah dengan  kondisi krisis iklim yang menyebabkan perubahan cuaca ekstrem seperti gelombang panas dan kekeringan, belum lagi  faktor aktivitas manusia juga kerap menjadi penyebab masifnya kebakaran hutan di Kalimantan Barat.

Drone footage of smoke from smouldering peatland fires rising through trees in forest and orang-utan habitat near the Gunung Palung National Park in Kayong Utara, West Kalimantan. The area is covered by the government moratorium on new permits for development on primary forest or peatland.

Data yang dilansir dari SiPongi+, yang merupakan fasilitas laman web guna memantau karhutla milik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), menunjukan seluas 19.633 hektar lahan dan hutan terbakar di Kalimantan Barat sepanjang periode Agustus 2022. 

Rizqy Fathi, yang akrab disapa Iki, memaparkan bahwa dirinya tak bisa melihat dan bernafas dengan baik ketika karhutla sedang terjadi di Kubu Raya, Kalimantan Barat. Sebab, asap yang dihasilkan tersebut berasal dari lahan gambut, yang diketahui memiliki kandungan racun yang lebih tinggi dari pada asap pembakaran rumah tangga.

“Dulu waktu kecil aku cukup senang jika sedang terjadi bencana karhutla, karena sekolah pasti diliburkan. Tapi, waktu aku beranjak dewasa aku mulai paham kalau ini masalah serius. Dulu ketika asap ada di mana-mana, aku gak bisa lihat karena jarak pandang terbatas, dan gak bisa nafas juga. Parah lah pokoknya” singkap Iki (27), 17 September lalu di Posko Pemadam Kapur Raya.

Pemadam Kapur Raya 

Berangkat dari pengalaman dan keresahan yang cukup pahit akibat dampak karhutla pada 2020–Iki, Kelvin, dan Aldy yang juga tergabung di Tim Cegah Api (TCA) membentuk unit pemadam kebakaran di Desa Kapur, Kubu Raya dengan bermodal alat seadanya.

The Kapur Raya Fire Department is conducting training in 2022.

Dampak karhutla tak memandang latar belakang, umur, dan profesi seseorang. Semua makhluk hidup akan terancam dengan berbagai dampak yang dirasakan, bahkan hingga berujung kematian atau kepunahan. Selain itu, tingginya angka karhutla sangat berbanding terbalik dengan ketersediaan fasilitas pemadam di Kabupaten Kubu Raya. Karena itu, meski serba terbatas, mereka merasa bahwa mereka harus bergerak untuk merespon bencana karhutla yang sering kali terjadi. 

“Dulu kami hanya bermodalkan motor dan mesin sederhana yang dibeli pakai duit hasil donasi teman-teman, Kak. Kami juga tidak belajar secara teori tentang safety dan tata cara memadamkan api. Langsung aja gitu, belajarnya di TKP. Walaupun hanya bermodal seperti itu, kami tetap jalan. Yang penting kami bergerak..” kenang Kelvin (20)

“Motornya juga seadanya aja, Kak. Saat ini kami punya armada mobil pick up gitu, butut juga sebenarnya. Tapi kami maksimalin dan kami modif sedemikian rupa supaya bisa dan layak dipakai untuk beroperasi. Tapi Alhamdulillah.” Tambah Aldy (23)

Hal tersebut menjadi salah satu alasan mengapa mereka bergabung dengan TCA. Menurut mereka, dengan bergabung dengan TCA mereka bisa mendapatkan ilmu tata cara memadamkan kebakaran dengan benar dan aman. Kemudian, nantinya ilmu tersebut akan turut diimplementasikan dan dibagi kepada anggota pemadam Kapur Raya lainnya.

Greenpeace Indonesia Forest Fire Prevention (FFP) Team extinguish the fires at plantation and forest in Tanjung Taruna, Sub-district Jabiren Raya, District Pulang Pisau, Central Kalimantan, Indonesia. Indonesia’s government has declared a state emergency in six provinces at Sumatra and Kalimantan island as forest fires in Indonesia get bigger.

Kini, unit pemadaman yang mereka buat sudah menginjak umur tiga tahun. Walaupun masih terbilang seumur jagung, terhitung mereka telah mempunyai 20 anggota aktif yang rata-rata diisi oleh anak muda. Selain itu, mereka sudah mempunyai dua armada mobil dan dua armada motor yang biasa mereka gunakan untuk beroperasi. 

Semua anggota Pemadam Kapur Raya benar-benar bergerak berdasarkan hati dan jiwa mereka. Bagaimana tidak, untuk pekerjaan yang terbilang berbahaya dan tak mengenal waktu, mereka rela dengan tidak menerima gaji demi melayani masyarakat dan merespon bencana karhutla yang acap kali terjadi di daerah mereka. 

“Gak digaji, Kak. Boleh ditanya ke anggota lainnya. Jadi kita punya pekerjaan sampingan. Aku jadi freelance nyanyi di Kafe gitu. Kalau Kelvin jadi kurir pengantar barang, dan Iki pernah jadi admin di suatu klinik gitu. Di sini memang bukan cari duit, Kak. Untuk yang berjiwa sosial aja.” Ucap Aldy.

Iki, Aldy, and Kelvin at Tim Cegah Api’s basecamp.

Selain pelayanan pemadaman kebakaran, mereka juga melakukan rescue atau penyelamatan terhadap hewan-hewan terdampak. Nantinya, mereka akan merawat hewan tersebut, lalu dikembalikan ke hutan seiring kondisinya terpantau membaik. 

“Seringnya, kami merescue ular. Ini salah satu pengalaman pahitku, menemukan ular sanca kembang besar sekali. Tapi pas didekati dan mau direscue ternyata ularnya sudah habis terbakar. Gosong semua dan mati.” Tegas Kelvin.

Sulitnya memadamkan api lahan gambut

Aldy, Kelvin, dan Iki mengaku bahwa kebakaran lahan gambut lebih susah dipadamkan dari pada lahan mineral. Pada kondisi normal, lahan gambut sejatinya bersifat seperti spons yang menyerap dan menahan air. Namun, jika musim kemarau gambut bisa dengan mudah terbakar. Cukup mengherankan, alih-alih dijaga agar tidak terbakar, namun nyatanya lahan gambut sering kali sengaja dibakar dalam skala masif guna pembukaan lahan sawit. 

Fires at the peatland in the district of Kapuas in the Central Kalimantan province on Borneo island, Indonesia. Peatland soils store a massive amount of carbon. When peatlands are cleared and drained for plantations, they degrade and the carbon they store starts to release into the atmosphere as CO2 emissions. If peat soils catch fire, they can smoulder away below the soil surface, which is exceedingly difficult to extinguish.

Walaupun api di permukaan sudah hilang, bukan berarti api benar-benar padam. Dikarenakan, kemungkinan besar di bawah tanah masih terdapat api yang menyala dan bahkan lebih besar dari pada api yang muncul di permukaan. Mengingat gambut merupakan akumulasi sisa-sisa tumbuhan setengah membusuk yang berada di dalam tanah—fosil tumbuhan-tumbuhan tersebut, ibarat menjadi bahan bakar yang bisa memantik api menjadi lebih besar. Hal ini juga menjadi penyebab mengapa asap dari pembakaran lahan gambut berwarna hitam dan tebal.

“Aku sampai pernah pingsan waktu madamin api karhutla gambut di Ketapang, karena luasan kebakarannya cukup luas dan asapnya benar-benar tebal. Aku sampai tidak bisa melihat temanku dan mesin. Sampai akhirnya, tim memutuskan untuk tarik mundur. Kita cuma bisa berharap sama Tuhan. Ibarat cuma Tuhan dan hujan aja yang bisa madamin apinya.” Pungkas Iki

Kami butuh solusi nyata

KLHK mengklaim bahwa luasan karhutla pada pada Januari hingga Juli 2022 tercatat 87.703 hektar, atau mengalami penurunan 19,1% dibandingkan dengan periode sama pada 2021. Namun kita tentu belum boleh senang, karena angka tersebut masih tergolong cukup tinggi untuk luasan karhutla. Selain itu, penurunan ini disebabkan oleh anomali fenomena La Nina, dan bukan sepenuhnya hasil upaya pemerintah.

Kemudian, ditambah krisis iklim yang sangat mengancam. Krisis iklim akan terus menjadi pola atau lingkaran hitam yang tak kunjung usai bila tak segera ditangani dengan cepat. Krisis iklim akan memperparah kondisi karhutla akibat kenaikan suhu, kekeringan, dan gelombang panas.  

Kehadiran Undang-Undang Cipta Kerja yang sangat memaksa, eksklusif, dan prematur sangat berpotensi semakin melemahkan penegakan hukum terkait kasus karhutla di Indonesia. Hal ini menjadi ancaman besar karena terdapat banyak peraturan yang tidak proaktif terhadap lingkungan, khususnya terkait pembakaran hutan dan lahan. 

Maka dari itu, perlu upaya serius dari pemerintah untuk segera menangani permasalahan ini. Janji atau ratifikasi perjanjian pada Persetujuan Paris tidaklah cukup. Kami perlu aksi dan solusi nyata terkait penanganan krisis iklim dan deforestasi–seperti menghentikan deforestasi dengan kebijakan yang tegas dan proaktif terhadap lingkungan, transisi energi ramah lingkungan, dan penghentian budaya represif dan diskriminatif negara terhadap masyarakat adat yang menjaga hutannya. 

Harapan terdalam

Bagaimanapun, seharusnya pemerintah berterima kasih dan berkaca terhadap orang-orang seperti Iki, Kelvin, Aldy, serta mereka yang sedang berjuang memadamkan api karhutla di luar sana. Mereka adalah korban atau orang terdampak yang bergerak akibat kebijakan sembrono pemerintah yang hanya mementingkan elit demi keuntungan fana.

Harapan mereka dan masyarakat lainnya sama, hentikan dan berikan solusi nyata terhadap isu kebakaran hutan dan lahan. Jelas tidak akan ada keberlanjutan hidup di bumi selama krisis iklim dan kebakaran hutan masih menghantui. 

“Kami berharap agar tak ada kebakaran hutan karena kepentingan orang kaya aja kak. Cukup sudah.” Pungkas Aldy tersedu. 

“Kami punya keluarga, anak saya juga masih kecil. Mereka berhak hirup udara bersih. Banyak makhluk yang terkorbankan hanya karena kepentingan segelintir orang, itu parah.” Tambah Iki. 

Perlu diingat, hak untuk bebas dari siksaan asap dan hak untuk hidup dengan layak merupakan hak fundamental bagi setiap manusia. Negara harus hadir dan mampu memastikan hak mendasar warga negara ini terpenuhi, bukan justru membuat kebijakan yang memicu api terus datang lagi dengan dalih investasi. Tak akan ada ekonomi di atas bumi yang mati. 

Dukung Iki, Kelvin, Aldy, dan Tim Cegah Api menjaga hutan dari kebakaran. Tambahkan namamu di sini

Sherina Redjo adalah Content Writer di Greenpeace Indonesia