Alam semakin menampakkan wajah murkanya pada umat manusia akibat naiknya suhu global. 

Di Indonesia, berbagai peristiwa gagal panen akibat cuaca ekstrim semakin sering ditemukan. Salah satu kasus yang sangat mengkhawatirkan ketika embun beku di Kuyawage, Kabupaten Lanny Jaya, Papua hingga mengakibatkan rusaknya lahan pertanian masyarakat dan terjadinya gagal panen. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) mencatat sekitar 500 lebih kepala keluarga mengalami kelaparan, bahkan beberapa telah meregang nyawa. 

Kenaikan suhu global, mengakibatkan kondisi cuaca yang tidak menentu. Para petani bawang merah di Brebes, harus rela kehilangan kesempatan panen hampir 50 persen dari yang seharusnya mereka panen akibat hujan ekstrim. Begitu juga dengan petani cabe, hampir di semua wilayah Jawa dan Sumatera yang menderita kerugian akibat hujan ekstrim. 

Gagal panen akibat cuaca ekstrim semakin sering terjadi di Indonesia. Masyarakat harus menanggung biaya lebih untuk memperoleh pasokan karbohidrat, protein, dan serat. Sementara, lonjakan harga pangan, tidak pernah benar-benar mendatangkan kesejahteraan bagi petani. Petani, justru ikut menderita kerugian karena hasil panen yang tidak maksimal. Sementara, mereka harus tetap menanggung biaya produksi yang semakin tinggi. 

Petani memanen padi di sawah yang banjir di Desa Kasihan, Sukolilo, Pati, Jawa Tengah. Di tahun 2019, lebih dari 200 hektar sawah di area ini banjir setelah hujan deras selama tiga hari.

Ancaman Sistem Pangan Global

Situasi yang menimpa warga Lanny Jaya, dan beberapa daerah di Indonesia lainnya adalah potret krisis pangan. Secara global pada 2021 terdapat 828 juta orang terkena dampak kelaparan, atau 46 juta orang lebih banyak dari tahun sebelumnya dan 150 juta lebih dibanding 2019 (FAO, 2022). 

Angka orang terdampak kelaparan tersebut menurut FAO nyaris tidak berubah sejak 2015, bahkan porsi nya mengalami lonjakan pada 2020 dan terus meningkat pada 2021, menjadi 9,8 persen dari populasi dunia. Sementara 11,7 persen dari populasi global (924 juta) mengalami kerawanan pangan pada tingkat parah, selama dua tahun terakhir terjadi peningkatan sebesar 207 juta. 

Sayangnya, angka-angka kelaparan dan kerawanan pangan tersebut diikuti dengan tingginya jumlah sampah makanan dan pangan yang terbuang. Menurut PBB, sepertiga produksi pangan dunia untuk konsumsi manusia terbuang tiap tahunnya–rata-rata 1,3 miliar tone. Dan jika dilihat dari nilai kerugian pangan terbuang tersebut sebesar US$680 miliar dari negara industri dan US$310 miliar dari negara berkembang. 

Di Indonesia, menurut Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) sekitar 23-48 juta ton pangan terbuang selama periode 2000-2019 atau setara dengan 115-184 kilogram per kapita per tahun. Dengan perkiraan nilai kerugian ekonomi mencapai 213-551 triliun per tahun atau sekitar 4-5 persen dari pendapatan kotor dalam negeri (PDB). Pangan yang hilang dan terbuang di Indonesia didominasi oleh biji-bijian, seperti beras, jagung, gandum, dan produk terkait lainnya. Dan hampir semua pangan yang diproduksi secara tidak efisien adalah sayur-sayuran, di mana total yang terbuang mencapai 62,8 persen dari total suplai domestik sayuran di Indonesia. 

Situasi di atas menunjukkan gagalnya sistem pangan–bagaimana pangan diproduksi, diolah, diangkut, dan dikonsumsi– yang diterapkan saat ini. Selain itu, sistem pangan yang buruk ini berdampak negatif terhadap lingkungan dan kenaikan suhu muka bumi.

Laporan PBB mengenai kondisi lahan (UN Land Report), menyebut 40 persen dari permukaan tanah di bumi didedikasikan untuk lahan pertanian dan lebih dari setengahnya terdegradasi. Lahan-lahan pertanian ini didominasi oleh pertanian skala besar dan industri yang menghasilkan emisi gas rumah kaca yang tinggi. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyebut 23-24 persen gas rumah kaca global terkait dengan sistem pangan. Selain itu, 70 persen penggunaan air tawar dunia juga digunakan untuk pertanian.

Dari sisi keragaman pangan, sistem pangan saat ini juga tidak menyediakan beragam pilihan yang dibutuhkan untuk diet sehat. Hanya 15 tanaman yang menyediakan 90 persen asupan energi manusia. Beras, jagung, dan gandum menyumbang 48 persen dari rata-rata kalori harian global (FAO, 2018; Amy Ickowitz et.al, 2022). 

Indonesia memiliki sejarah panjang pemusatan jenis pangan dan proyek industrialisasi pangan ini. Semasa Orde Baru, pemerintah telah mendorong proyek-proyek menjadikan beras sebagai pangan utama. Proyek ini terus berlangsung hingga saat ini, lewat proyek pengembangan lahan-lahan pertanian sawah. 

Di Papua, untuk membiasakan orang asli Papua dengan beras. Pemerintah memberikan bantuan raskin atau beras miskin di Papua. Padahal, di Papua beras berasal dari luar atau dihasilkan oleh orang-orang luar Papua. Pemberian bantuan raskin ini ikut mempengaruhi luasan perkebunan masyarakat. Sejak adanya raskin, luas tanaman ubi dan kedelai cenderung berkurang (Kompas, 2022). 

Sehingga ketika terjadi cuaca ekstrim, masyarakat tidak lagi siap. Sebab, mereka telah meninggalkan sistem pertanian tradisional yang dulu teruji tangguh ketika menghadapi perubahan cuaca. Sementara pasokan beras yang dikirim dari luar tidak lagi lancar. 

Dampak Krisis Iklim

Masalah pangan ini selalu dua sisi. Sistem pangan yang diciptakan berkontribusi terhadap laju krisis iklim. Sementara krisis iklim akan mempengaruhi produksi pangan. 

Brown dan Funk (2008) telah mengingatkan bahwa sistem pangan adalah salah satu yang paling terdampak krisis iklim dalam beberapa dekade mendatang. Semua penilaian kualitatif menunjukkan bahwa krisis iklim akan mengakibatkan kerentanan pangan. Pandangan ini semakin diperkuat oleh IPCC pada 2021 dalam laporan khusus mereka terkait perubahan iklim dan lahan. IPCC menyatakan bahwa perubahan iklim yang terjadi akan mempengaruhi ketahanan pangan.

Naiknya suhu, curah hujan yang tidak dapat diprediksi, frekuensi cuaca ekstrim, dan naiknya serangan hama dan serangga adalah bentuk perubahan drastis yang berdampak terhadap produksi pangan. Selama periode April hingga Juni 2022, menurut laporan World Food Programe curah hujan di Indonesia tercatat paling tinggi dibanding rata-rata selama 30 tahun, terutama selama pekan kedua dan ketiga bulan Juni. Sebagian besar wilayah Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Bali mengalami curah hujan di atas normal akibat fenomena La Niña yang masih berlangsung.

Fenomena La Niña dan bentuk cuaca ekstrim lainnya adalah bukti ancaman krisis iklim begitu nyata di depan mata. Bahkan badan meteorologi dunia (World Meteorological Organization) memperkirakan situasi La Niña akan bertahan hingga tahun 2023. Sementara di tempat lain, terjadi kekeringan. Petani kesulitan memperoleh air untuk irigasi lahan pertanian. 

Berbagai studi telah membuktikan bahwa petani kecil adalah pihak yang paling dirugikan dampak krisis iklim ini (Morton, 2007; Harvey, 2018; Jamshidi, 2019;). Seperti yang terjadi di Lanny Jaya, Brebes, dan berbagai daerah lainnya di Papua, Jawa, Sumatera, dan Kalimantan gagal panen akibat perubahan cuaca ekstrim. 

Oleh sebab itu, perlu solusi komprehensif untuk mitigasi dan adaptasi krisis iklim bagi petani dan produksi pangan. 

Solusi Palsu Bernama Food Estate

Sejak beberapa tahun terakhir pemerintah tampak menaruh perhatian akan ancaman krisis pangan ini. Apalagi setelah FAO mengingatkan ancaman krisis pangan akibat pandemi Covid-19 dan kondisi ekonomi global. Sayang, solusi yang ditawarkan berupa ekstensifikasi lahan atau penambahan luas lahan pertanian dan mendorong pertanian skala besar dan industri.

Proyek ekstensifikasi lahan pertanian dan pertanian skala besar yang didorong oleh pemerintah bernama food estate. Proyek ini merupakan bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN) pada 2020. Lokasi proyek ini semula mencakup Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, dan Papua. Namun, seiring berjalannya waktu lokasi proyek terus berkembang. 

Terdapat beberapa kekeliruan proyek food estate dalam menjawab ancaman krisis pangan di Indonesia. Pertama, komoditas yang dikembangkan. Proyek food estate ini sama dengan proyek-proyek sebelumnya yang fokus pada beberapa komoditas seperti beras, jagung, dan umbi-umbian. 

Untuk jenis umbi-umbian seperti kentang dan singkong. Dalam beberapa laporan disebut bahwa jenis yang dikembangkan bukan jenis yang biasa dikonsumsi masyarakat. Untuk singkong yang di Kalimantan Tengah misalnya, jenis yang ditanam adalah varietas UJ-5. Varietas ini biasa digunakan untuk memenuhi kebutuhan industri. Sementara jenis kentang yang ditanam di Humbang Hasundutan adalah jenis granola. Kentang ini biasa digunakan untuk memasok kebutuhan industri keripik kentang. Kesaksian langsung yang dituturkan oleh para petani ini dapat dilihat selengkapnya dalam film dokumenter Limbung Pangan,  kolaborasi Watchdoc dan Greenpeace. 

Sementara proyek lainnya mengembangkan lahan pertanian padi. Jika melihat proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE), terbukti gagal menyediakan pangan untuk masyarakat. Izin-izin yang terbit justru untuk perkebunan sawit, komoditas yang selama ini asing bagi masyarakat adat di Papua. Lahan-lahan masyarakat dirampas oleh perusahaan perkebunan yang mengakibatkan konflik berkepanjangan di Merauke. Sumber pangan masyarakat hilang seturut hilangnya hutan mereka.

Kedua, penempatan lokasi proyek. Hampir setiap proyek pemerintah selalu menyasar hutan dan lahan-lahan yang memiliki keragaman hayati tinggi. Seperti proyek MIFEE di Merauke, lokasi proyek ini memiliki tutupan hutan alam yang bagus dan lahan gambut. Dengan adanya proyek ini, justru hutan dirusak untuk lahan pertanian. 

Contoh lainnya proyek satu juta hektar sawah yang dikenal dengan nama proyek lahan gambut. Mega proyek ini telah merusak lahan rawa gambut di Kalimantan Tengah, dan berkontribusi atas kebakaran lahan gambut pada 1997 hingga saat ini. 

Untuk lokasi proyek food estate saat ini, tidak jauh berbeda. Pemerintah masih menyasar lahan gambut dan lahan berhutan. Semua instrumen hukum diubah demi proyek ini berjalan lancar, tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang. 

Padahal, kehilangan tutupan hutan dan kebakaran terutama di lahan rawa gambut adalah penyumbang terbesar emisi karbon global. Pelepasan karbon besar-besaran ke udara akan mengakibatkan perubahan iklim. Dan perubahan iklim, akan berdampak negatif terhadap pertanian. 

Ketiga, konsep pertanian skala besar dan industri. Pertanian skala besar dan industri hanya akan menghasilkan pangan untuk kebutuhan pasokan bahan baku industri, ketimbang untuk pemenuhan pangan masyarakat. 

Humbang Hasundutan adalah bukti bahwa konsep food estate hanya akan menjadi jebakan bagi petani. Food estate di Humbang Hasundutan dikembangkan bersama petani dengan pendekatan top down. Petani tidak mendapat informasi yang utuh dan bebas dari tekanan ketika proyek ini dijalankan. Petani sekaligus pemilik lahan hanya diposisikan sebagai pelaksana proyek dan harus mengikuti metode bertani dari pemerintah. Masyarakat terpaksa meninggalkan pola pertanian tradisional mereka, yang jauh lebih tangguh. Akhirnya pola pertanian tradisional mereka terpaksa ditinggalkan begitu saja. Pendekatan ini akhirnya terbukti gagal di Humbang Hasundutan.

Lahan hutan yang akan dijadikan sebagai lahan pertanian untuk proyek Food Estate di Sepang, Gunung Mas, Kalimantan Tengah.

Begitu juga dengan food estate di daerah lain, seperti Gunung Mas. Justru dikelola langsung oleh perusahaan. Proyek ini masuk ke dalam kawasan hutan dan merambah pohon-pohon tempat habitat orangutan. Sialnya proyek ini tampak tak membuahkan hasil setelah satu tahun beroperasi. 

Kejadian yang menimpa Lanny Jaya, Papua harusnya jadi pembelajaran bagi semua pihak, terutama pemerintah. Konsep pengembangan pangan tidak cukup hanya berpegang pada ketahanan pangan semata. Konsep yang akhirnya membawa dalam perangkap industrialisasi pangan dan keseragaman pangan dan berdampak negatif terhadap kenaikan suhu muka bumi.

Mendorong Pertanian Ekologis

Sudah seharusnya pemerintah mendorong kedaulatan pangan berbasiskan pada pertanian ekologis (ecological farming). Pertanian ekologis mendukung dunia di mana produsen dan konsumen, bukan perusahaan, mengendalikan rantai makanan. Sebab kedaulatan pangan adalah tentang cara pangan diproduksi, dan oleh siapa. Kedaulatan pangan hendak meletakkan kendali ini di tangan masyarakat sebagai produsen, distributor, dan konsumen. 

Lewat kedaulatan pangan, petani dan masyarakat memiliki hak menentukan sistem pangan mereka sendiri. Kedaulatan pangan mengakui peran perempuan sebagai tulang punggung masyarakat pedesaan, dan peran bersejarah yang dimainkan perempuan dalam mengumpulkan dan menabur benih, sebagai penjaga keanekaragaman hayati dan sumber daya genetik. Mengatasi masalah kesetaraan gender adalah bagian dari konsep luas Kedaulatan Pangan tentang siapa yang mengendalikan makanan yang kita tanam dan makan.

Contoh nyata bisa kita temukan di Mangroholo Sira, Sorong Selatan. Ketika pandemi Covid-19 melanda dunia, dan distribusi beras ke hampir semua wilayah Papua terhambat. Masyarakat Mangroholo sebagai penghasil sagu, tidak terlalu merasakan dampak terhambatnya distribusi beras. Masyarakat tetap bisa menghasilkan sagu sebagai sumber karbohidrat utama. Bahkan mereka bisa mendistribusikan ke daerah sekitar dari kelebihan produksi mereka. 

Pendekatan masyarakat di Mangroholo adalah bentuk pertanian dan produksi pangan yang tahan terhadap iklim. Sagu mereka tumbuh dengan pepohonan lain dalam kawasan hutan. Selain itu dalam proses produksinya menggunakan sedikit sekali energi fosil dan menjadi tempat hidup beragam biodiversitas asli di daerah tersebut. 

Apa yang terjadi di Mangroholo adalah contoh kecil bagaimana pertanian yang tahan terhadap iklim dikembangkan. Tentu, banyak lagi model lainnya di berbagai komunitas masyarakat adat atau lokal di Indonesia. Semestinya, model ini yang diadopsi pemerintah. Bukan justru mengembangkan pertanian skala besar dan berorientasi industri. 

Padoch C (2014) dalam tulisannya Managing landscape for food security and enhanced livelihoods mengingatkan bahwa manusia telah mengelola pepohonan dalam wilayah mereka untuk meningkatkan produktivitas pangan sebelum adanya revolusi pangan. Oleh sebab itu, penting menjaga hutan dan keragaman hayati lainnya untuk memastikan produktivitas pangan yang baik. 

***