Refleksi Peringatan Hari Laut Sedunia 2020

Awal November 2019, Ibu W mengantarkan anaknya AM ke sebuah kantor perusahaan perekrut dan penempatan anak buah kapal (ABK), dijanjikan bekerja di sebuah kapal di luar negeri. Perusahaan tersebut mengisyaratkan pengurusan surat-surat yang mudah. Selepas itu pemuda kelahiran 2001 tersebut diberangkatkan ke penampungan di Jakarta dan selanjutnya terbang ke Taiwan. Pertengahan Desember, AM mengabari orang tuanya bahwa ia telah bekerja di kapal di perairan Uruguay, Amerika Selatan. Impian pemuda lulusan SMK Pelayaran ini untuk menjadi pelaut tampaknya terwujud. 

Calon ABK ikan asal Indonesia belajar bahasa Korea untuk disalurkan di negara Korea Selatan di salah satu agen penyalur ABK di Suradadi, Tegal, Jawa Tengah.

Hanya berselang satu bulan, persisnya pertengahan Januari 2020, perwakilan perusahaan perekrutan mendatangi rumah Ibu W dan menyampaikan kabar duka bahwa AM meninggal akibat kecelakaan kerja saat kondisi badai, dan jenazahnya akan dipulangkan ke Indonesia. Seketika buyarlah impian dan harapan keluarga AM. 

Kisah miris lainnya datang dari keluarga ABK di Sulawesi Selatan. Pada Desember 2019, seorang pemuda bernama AL diberitakan media nasional meninggal dan jenazahnya dilarung ke laut. AL berlayar dengan kapal berbendera TIongkok semenjak tahun 2017, setelah menyelesaikan pendidikan di SMK Pelayaran di Kabupaten Barru. Keluarga AL mendapat kabar tentang kematian AL bukan melalui perusahaan perekrut, tetapi melalui media. Proses pelarungan jenazah pun dilakukan tanpa persetujuan keluarga. Padahal, keluarga sangat mengharapkan jenazah AL dipulangkan untuk dimakamkan secara layak. 

Sekitar April silam, sebanyak empat orang ABK ikan Indonesia nekat melompat ke laut karena tidak tahan mendapatkan kekerasan di atas kapal. Sebelumnya, salah satu rekan mereka meninggal dan dilarung di tengah samudra. Mereka beruntung diselamatkan kapal yang melintas di Selat Malaka setelah 12 jam terapung dengan hanya mengandalkan kotak ikan. 

Berita kematian ABK ikan seolah tanpa jeda. Awal Mei, beredar sebuah berita dari Korea Selatan. Media setempat, MBC News, memberitakan kasus perbudakan dan pelarungan yang dialami oleh ABK ikan asal Indonesia di kapal ikan Tiongkok. Berbekal adanya dokumentasi di atas kapal, berita tersebut pun menjadi tajuk utama berbagai media di Tanah Air juga internasional. Menegaskan perbudakan modern itu nyata! Kasus ini mengisyaratkan pemerintah lalai dalam melindungi warga negaranya. Harga diri Indonesia sebagai negara maritim tercabik-cabik. 

Kasus perbudakan yang dialami oleh ABK Indonesia yang bekerja di kapal penangkap ikan jarak jauh lahir dari buruknya pengelolaan dan pengawasan terhadap industri perikanan tangkap global yang eksploitatif serta tidak mengusung prinsip berkelanjutan. Penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan menyebabkan berkurangnya stok ikan global secara drastis. 

Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) melaporkan bahwa 33% perairan global mengalami penangkapan ikan berlebih (overfishing) dan 60% berada pada titik kritis atau di luar batas kemampuan keberlanjutan. Overfishing juga ditunggangi oleh praktik IUU (ilegal, tidak diatur dan tidak dilaporkan), karena sebagian besar kapal penangkap ikan jarak jauh menggunakan alat tangkap longline dan purse seine, dua alat tangkap paling tidak ramah lingkungan karena potensi tangkapan sampingan berupa hiu, paus, penyu dan mamalia laut lainnya sangat tinggi. 

Penyu yang tersangkut di jaring kapal purse seine di Ekuador.

Berkurangnya stok ikan berdampak pada biaya operasional penangkapan ikan, karena kapal harus berlayar lebih jauh dan lebih lama. Untuk efisiensi, pemilik kapal mengabaikan aspek kemanusiaan dengan “memainkan” biaya tenaga kerja yang mencapai 30-50% dari biaya operasional. Mereka merekrut pekerja dari negara-negara berkembang yang tidak punya regulasi yang kuat untuk melindungi pekerja, lemah dalam pengawasan serta pejabat yang bisa disuap, seperti Indonesia dan Filipina. Dua negara ini menjadi ladang yang subur untuk perekrutan pekerja yang bisa dieksploitasi. Karena tekanan ekonomi, diiming-imingi gaji besar, akhirnya banyak masyarakat yang melaut dengan kapal ikan jarak jauh melalui perekrutan yang tidak transparan dan tidak sesuai aturan oleh perusahaan perekrutan (manning agency) ilegal.

Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) melaporkan selama 2011-2019 terdapat 30.864 ABK ikan bekerja di kapal asing. Dalam Inaugural Plenary Meeting of the SEA Forum for Fishers 2019 di Bali, 25-26 September 2019, Pemerintah Indonesia memperkirakan ada sebanyak 186.430 ABK ikan Indonesia yang bekerja di kapal ikan Malaysia, 12.278 ABK ikan Indonesia bekerja di kapal ikan Taiwan, dan 4.885 ABK ikan Indonesia bekerja di kapal Korea Selatan (2018). Menurut Badan Perikanan Taiwan, per Juni 2019, sebanyak 21.994 ABK ikan dari Indonesia dan 7.730 lainnya dari Filipina bekerja di kapal ikan berbendera Taiwan. 

Berdasarkan fakta di atas, saat ini ada ratusan ribu ABK ikan Indonesia sedang terombang-ambing di tengah lautan, bekerja di kapal ikan asing tanpa perlindungan di salah satu industri paling berbahaya di dunia. Tidak ada yang tahu bagaimana nasib mereka, apakah mereka dalam keadaan sehat? Apakah mereka mendapatkan makanan dan minuman yang layak? Apakah mereka bisa beribadah sesuai keyakinannya? Apakah mereka mendapatkan upah yang layak? Mereka juga terisolasi di tengah laut selama berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, karena kapal-kapal penangkap ikan juga melakukan praktik alih muatan di tengah laut atau tanpa perlu berlabuh sehingga jauh dari pengawasan. Dengan begitu, peluang ABK untuk mendapatkan pertolongan sangat tipis. 

Kru kapal ikan Ping Tai Rong 58 sedang mempersiapkan penangkapan tuna. Banyak dari kru kapal asing yang berasal dari Indonesia.

Peringatan Hari Laut Sedunia tahun 2020 seharusnya dijadikan momentum untuk merespons kasus-kasus perbudakan terhadap ABK ikan Indonesia secara nyata. Pemerintah harus segera menerbitkan regulasi untuk melindungi ABK ikan Indonesia, memperkuat penegakan hukum serta melakukan diplomasi dengan negara-negara yang menjadi tempat penempatan ABK ikan Indonesia. Selain itu, Pemerintah Indonesia harus segera melakukan inventarisasi terhadap ratusan ribu anak bangsa yang bekerja di kapal ikan jarak jauh asing saat ini dan memastikan perlindungan kepada mereka. 

Pemerintah harus menjaga dan melindungi anak-anak bangsa yang bermimpi menjadi pelaut. Jangan sampai mimpi untuk menjadi poros maritim dunia hanya angan-angan dan nasib para pelaut muda Indonesia terbelenggu oleh jeratan perbudakan yang berakhir di pelarungan. Jika hal ini terus dibiarkan, slogan besar bahwa Indonesia adalah negara maritim terbesar di dunia tidak lagi relevan untuk kita banggakan.

Selamat Hari Laut Sedunia 2020! Semoga perbudakan segera berakhir, tidak lagi memupus harapan ABK ikan Indonesia untuk menafkahi keluarga. 

***

Hentikan Perbudakan Modern di Laut!

Tak jarang ABK Indonesia menjadi korban perbudakan modern di kapal perikanan asing jarak jauh. Bagaimana pelindungan Pemerintah?

Ikut Beraksi