Sebagai bagian dari rangkaian peringatan HUT Kemerdekaan, Presiden menyampaikan pidato kenegaraan di hadapan sidang tahunan MPR-RI. Tentu saja isinya didominasi klaim keberhasilan. Misal klaim keberhasilannya dalam menangani krisis global dan salah satu negara dengan jumlah vaksinasi terbesar. Selain itu, Presiden juga menyampaikan kekuatan besar Indonesia dalam hal  bonus demografi dan kekayaan sumber daya alam yang melimpah. Hanya saja ada banyak hal penting lain yang luput disebut. Berikut adalah beberapa hal penting yang hilang dari pidatonya.

Krisis Iklim

Kids swim/wade through the floods in Palangka Raya, Central Kalimantan. The widespread flooding forced the Palangka Raya city government to declare a state of emergency for 14 days from 12 to 25 November 2021. It was recorded that 17 sub-districts were inundated. Floods recorded an impact on 4,157 families consisting of 10,739 residents in 17 of 30 urban villages in the Palangka Raya City area.

Presiden Jokowi berbicara mengenai tantangan global akibat perang Rusia-Ukraina yang menghasilkan krisis pangan, krisis energi, dan krisis keuangan. Namun, tak ada satupun kata ‘krisis iklim’ muncul dalam pidatonya. Padahal, krisis iklim termasuk dalam isu global. Apakah krisis iklim tidak cukup penting? Terlebih, Presiden Jokowi mengklaim bahwa Indonesia telah berhasil menghadapi krisis global. Jadi, apakah benar Indonesia telah berhasil menghadapi krisis global, termasuk isu krisis iklim?

Merujuk pada data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), tahun 2021 menempati urutan ke-8 sebagai tahun terpanas dengan nilai anomali sebesar 0.4 °C. Sementara itu, tahun 2020 dan 2019 berada pada peringkat kedua dan ketiga dengan nilai anomali sebesar 0.7 °C dan 0.6 °C. Data tersebut diperoleh dari 89 stasiun pengamatan BMKG.

Selain itu, pada April 2021 silam terjadi fenomena siklon tropis Seroja yang menyebabkan banjir bandang dan tanah longsor di wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT). Fenomena Siklon adalah sebuah wilayah atmosfer bertekanan rendah yang bercirikan pusaran angin yang berputar berlawanan dengan arah jarum jam di bagian bumi utara dan searah jarum jam di bagian bumi selatan. Fenomena siklon termasuk jarang terjadi di Indonesia. Namun, selama 10 tahun terakhir siklon tropis sering terjadi dikarenakan semakin memanasnya kondisi laut di wilayah perairan Indonesia. 

Banyak fenomena lain yang menunjukan bahwa dampak krisis iklim adalah nyata dan masif, dan mempengaruhi semua sektor mulai dari kekeringan, gelombang panas, dan kenaikan permukaan air laut. Maka dari itu, seharusnya Presiden Jokowi menjadikan krisis iklim sebagai isu prioritas. Mengingat Indonesia telah meratifikasi Persetujuan Paris pada 22 April 2016 melalui Undang-Undang Nomor 16 tahun 2016 dan telah berjanji untuk mengurangi emisinya per tahun 2030.

Deforestasi

Dalam pidatonya, Presiden Jokowi menyatakan bahwa sumber daya alam yang melimpah adalah salah satu kekuatan negara Indonesia. Dengan wilayah yang luas dan keanekaragaman hayati yang melimpah, ia optimis bahwa hal ini bisa menjadi kekuatan bila diolah secara bijak dan berkelanjutan. Kemudian, ia berpendapat bahwa sumber daya alam kita harus dihilirkan dan diindustrialisasikan untuk menambah pendapatan devisa negara. 

Berulang kali kata industrialisasi sumber daya alam diucapkan dalam pidatonya. Namun, tak satupun dampaknya disebutkan, seperti deforestasi. Padahal, deforestasi merupakan salah satu permasalahan utama yang terjadi di Indonesia.Setidaknya,deforestasi dalam lima tahun terakhir kepemimpinan Jokowi mencapai 2,13 juta hektare atau setara dengan 3,5 kali luas pulau Bali.

Ditambah, pemerintah juga mengesahkan peraturan yang terkesan melegalkan deforestasi dan degradasi hutan lewat UU Cipta Kerja. Padahal, hutan berperan besar dalam menyerap karbon dioksida (CO2) dalam jumlah besar. Kemudian, hutan dapat mengayomi manusia dan kehidupan di dalamnya untuk kebutuhan apapun. 

Tidak adanya deforestasi dalam pidato Jokowi semakin membuat kami bertanya-tanya, apakah deforestasi tak sepenting itu bagi pemerintah?

Bantu jaga hutan Papua, dukung perlindungannya. 

Masyarakat Adat

Papuan Indigenous people from Dani tribe hold a mass dancing during the Baliem Valley festival in Wamena, Jayawijaya Regency, Papua.

Presiden Jokowi selalu menyempatkan dirinya berpakaian adat dalam tiap kesempatan pidato HUT Kemerdekaan RI. Namun, hal ini kontradiktif dengan dirinya yang tak menyebut satupun kata  ‘masyarakat adat’ dalam pidato kenegaraannya. Jadi, untuk apa memakai baju adat bila tak berpihak atau bahkan melupakan masyarakat adat? 

Masyarakat adat adalah  isu yang amat genting. Mengingat, belum adanya pengakuan masyarakat adat dan wilayah adat dari pemerintah, mengakibatkan perampasan lahan dan ruang hidup masyarakat adat semakin marak terjadi. Banyak dari mereka yang merasakan wilayahnya masuk konsesi dan lahannya masuk ke dalam proyek pembangunan infrastruktur secara sepihak dan tiba-tiba. Mereka yang seharusnya dirangkul, justru terpinggirkan dan dalam banyak kasus menjadi korban kriminalisasi karena mempertahankan ruang hidupnya. 

Tidak adanya payung hukum bagi masyarakat adat membawa mereka ke dalam kondisi rentan menerima perlakuan represif, kriminalisasi, dan juga berbagai macam ancaman. Belum lagi ancaman krisis iklim yang kian mengancam ruang hidup masyarakat adat. 

Kini, masyarakat adat butuh diakui oleh negara. Salah satunya dengan cara pemerintah agar segera untuk mengesahkan UU Masyarakat Adat. Bagaimanapun mereka mempunyai hak asasi dan perlakuan yang sama di mata hukum. Sudah delapan kali Presiden Jokowi pidato kenegaraan setiap tahunnya menggunakan pakaian adat, tapi tak kunjung membuat kebijakan memihak masyarakat adat.

Sering kali merasa bangga dan memamerkan kekayaan Indonesia (dalam konteks banyaknya pulau, suku, budaya, dan bahasa), namun tidak berpihak dan peduli terhadap masyarakat adat, merupakan sebuah ironi, bukan?

Dukung pengesahan RUU Masyarakat adat, tanda tangani petisinya di sini. 

Sherina Redjo adalah Content Writer di Greenpeace Indonesia