Perubahan iklim membuat cuaca semakin tidak menentu. Hujan lebat mengguyur wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya pada 13 hingga 16 Juli. Fenomena hujan lebat di bulan Juli (biasanya adalah puncak kemarau) terbilang jarang terjadi dan cukup aneh. Apalagi ini bukan sekedar hujan rintik, derasnya curah hujan membuat sebagian wilayah Jakarta, Bogor dan Tangerang dikepung banjir.  

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menjelaskan bahwa sebanyak 47 persen wilayah zona musim di Indonesia diprediksi akan terlambat memasuki musim kemarau. Kemudian, mereka juga memproyeksikan bahwa musim hujan di Indonesia akan datang lebih awal. 

Pada tingkat global, fenomena La Nina tengah aktif dalam kategori lemah dan menunjukan kondisi suhu muka laut Samudra Pasifik bagian tengah tengah mengalami pendinginan di bawah kondisi normal. Hal ini mengakibatkan curah hujan di Indonesia meningkat.

Akibatnya, wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya dilanda curah hujan yang besar dan mengakibatkan bencana banjir menggenangi 71 RT dengan ketinggian 40 cm hingga satu meter. 

Krisis iklim adalah nyata

Anomali cuaca yang terjadi sebagai dampak dari perubahan iklim pada akhirnya akan mengarah pada krisis iklim. Perubahan cuaca yang tak menentu membawa dampak luas bagi kehidupan makhluk hidup di bumi; kualitas dan kuantitas air, kesehatan, hutan, pertanian, dan ekosistem laut.

Anomali cuaca niscaya semakin bertambah parah jika kita tetap berpegang pada kebiasaan dan kebijakan yang sama. Pada dasarnya, air hujan yang turun sebagian akan diserap oleh tanah dan akan menjadi air tanah. Namun, kenyataan yang terjadi saat ini adalah nihilnya resapan air yang cukup akibat pembangunan dan kurangnya tumbuhan. Akibatnya, resiko banjir menghampiri tiap kali hujan menjadi berlipat.

Kepala Pusat Layanan Informasi Iklim Terapan, Ardhasena Sopaheluwakan, dalam pengkajian yang dilakukan oleh Panel Antar Pemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) menjelaskan bahwa krisis iklim tidak akan terjadi tanpa pengaruh faktor kegiatan manusia (antropogenik). Pengaruh antropogenik dianggap lebih mendominasi menjadi penyebab bertambah parahnya krisis iklim, dibandingkan akibat variabilitas alami. 

Solusi nyata secepatnya!

Diharapkan fenomena di atas menjadi pengingat bahwa kita butuh solusi nyata dan langkah ambisius guna menangani krisis iklim secepatnya. Selama pemerintah dan para elit pengusaha masih saja acuh terhadap kerusakan lingkungan dan tidak membuat kebijakan yang berpihak pada lingkungan, sejauh itu pula dampak krisis iklim akan terus menggentayangi kita. 

Mengingat, Reyes Tirado, seorang ilmuwan senior pakar pertanian dan perubahan iklim di Laboratorium Riset Greenpeace Universitas Exeter, mengatakan bahwa solusi krisis iklim berada di semua sektor. Jika solusi serius dan ambisius dilakukan di semua sektor–menghentikan deforestasi, beralih ke energi terbarukan, konsep pertanian sehat, mengubah pola hidup menggunakan transportasi publik, dan lain-lain. Dengan begitu, kita akan mengarah pada nol emisi dan terjauh dari berbagai dampak krisis iklim. 

Tidak seperti Hujan Bulan Juni (karya Sapardi Djoko Damono) yang membawa kenangan indah akan cinta, hujan bulan Juli akibat perubahan iklim hanya membawa duka akibat bencana.

Sherina Redjo adalah Content Writer di Greenpeace Indonesia