“Perubahan iklim yang disebabkan oleh aktivitas manusia dan perang di Ukraina memiliki akar yang sama: bahan bakar fosil dan ketergantungan kita pada mereka,” kata ilmuwan iklim Ukraina, Svitlana Krakovska, ketika Rusia, salah satu produsen minyak dan gas terbesar di dunia, menyerbu negaranya.

Pada saat itu, dia berbicara kepada Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (The Intergovernmental Panel on Climate Change)  dari rumahnya di Kyiv, dan harus menarik diri dari sesi persetujuan laporan terbaru saat bom menghantam kotanya.

Sebulan kemudian, perang di Ukraina telah menjadi krisis kemanusiaan: lebih dari 3,7 juta orang telah meninggalkan negara itu, dan sekitar 13 juta orang yang tidak memungkinkan keluar dari Ukraina, harus bertahan  dengan persediaan makanan, air, dan perawatan medis sangat terbatas.

Minyak mentah menjadi ‘bahan bakar’ perang Ukraina

Ada hubungan langsung antara bahan bakar fosil dan mesin perang Rusia. Rosneft, salah satu perusahaan minyak terbesar Rusia, dilaporkan menjadi salah satu pemasok utama bahan bakar untuk tentara Rusia. Rosneft juga memasok minyak ke perusahaan seperti BP (-sebuah perusahaan minyak bumi bermarkas di London). 

Jadi, setiap kali minyak atau gas Rusia dibeli, bukan hanya menyumbangkan dana untuk berperang, tetapi juga menjaga mesin militer tetap berjalan. Rosneft dan anak perusahaan Rosneft-Aero dan Transneft dilaporkan mengirimkan bahan bakar ke Angkatan Darat Rusia sebelum dan selama invasi. 

Untuk menghentikan perang ini, kita perlu melakukan divestasi global dari, dan embargo, bahan bakar fosil Rusia sesegera mungkin, serta pengiriman bantuan kemanusiaan yang mendesak kepada mereka yang membutuhkan.

Aktivis Greenpeace Nordic dalam sebuah aksi damai di atas derek konstruksi yang menghadap ke parlemen Swedia. Para aktivis memasang spanduk sepanjang 30 meter dengan pesan “Rakyat Ingin Damai – Stop Mendanai Perang” yang ditujukan kepada para pengambil keputusan politik Swedia. © Greenpeace / Christian Åslund

Bahan bakar fosil memiliki sejarah panjang dengan peperangan

Perebutan sumber daya energi menjadi faktor yang mencolok dalam banyak konflik, seperti Perang Iran-Irak pada 1980-1988, Perang Teluk 1990-1991, dan Perang Saudara Sudan pada 1983-2005. Greenpeace sudah menyuarakan tentang konflik-konflik tersebut di masa lalu, terutama saat perang Irak terakhir.

Perang Teluk 1990 sebagian besar adalah konflik tentang minyak. Isu-isu yang menjadi dalih Irak melakukan invasi ke Kuwait adalah kebijakan harga dan pendapatan minyak. Walaupun minyak bukan satu-satunya alasan, hal tersebut adalah motivator kuat atas tindakan Amerika Serikat dan sekutunya yang bergerak cepat untuk melindungi aksesnya sendiri dan negara-negara anggota OECD (Organisation for Economic Co-operation & Development) ke pasokan minyak strategis. 

Selain itu, eksploitasi minyak skala besar oleh perusahaan asing yang beroperasi di Sudan selatan menyebabkan banyak pelanggaran hak asasi manusia dan memperburuk konflik yang sudah berlangsung lama di Sudan. Mengakibatkan dua juta orang meninggal dan empat juta orang mengungsi sejak 1983, serta kelaparan yang berlangsung lama dan epidemi.

Menurut penelitian tahun 2021 yang dilakukan oleh Greenpeace Italia, Greenpeace Spanyol dan Greenpeace Jerman, hampir dua pertiga dari semua misi militer Uni Eropa adalah memantau dan mengamankan produksi serta transportasi minyak dan gas ke Eropa. Pemerintah Italia, Spanyol, dan Jerman telah menginvestasikan lebih dari 4 miliar euro untuk melindungi bahan bakar fosil yang merusak iklim sejak 2018.

Aktivis Greenpeace memegang spanduk bertuliskan “BERHENTI MENDANAI PERANG” dan melukis pesan “Damai – Bukan Minyak” sepanjang dua meter di badan kapal tanker Seasprat berbobot 40.000 ton, yang mengirimkan minyak olahan dari Pelabuhan Primorsk di kawasan Laut Baltik. Aksi di pelabuhan Bremen tersebut merupakan bagian dari protes terhadap impor minyak dari Rusia, yang secara tidak langsung membantu pendanaanperang yang dimulai Putin di Ukraina. © Axel Heimken / Greenpeace

Produsen bakar bakar fosil tidak dapat dipercaya

Pada awal perang di Ukraina, perusahaan minyak memanfaatkan peluang untuk memperluas operasi mereka, menggunakan krisis energi sebagai alasan untuk terus menjalankan bisnis polusi mereka. Perusahaan Shell bahkan membeli minyak dari Rusia setelah invasi, dan hanya meminta maaf dan berjanji untuk memutuskan hubungan dengan Rusia setelah reaksi publik besar-besaran yang dapat berimbas pada bisnis mereka. Kini perusahaan minyak lain seperti BP dan Total Energies berjanji akan melakukan divestasi dari Rusia, setelah dikaitkan langsung dengan perang Ukraina.

Seperti tembakau besar, perusahaan-perusahaan ini memanfaatkan setiap kesempatan untuk terus menjual produk kotor mereka. Kecuali kita terus mengekspos model bisnis kotor mereka, mereka akan terus mengambil untung dari konflik dan krisis iklim.

Perdagangan bahan bakar fosil menopang sistem yang tidak adil

Untuk membantu memastikan perdamaian dan menghentikan krisis iklim, pemerintah perlu mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil dan segera menghentikan penggunaannya. Saat ini, ekonomi dunia sebagian besar masih menggunakan bahan bakar fosil yang terus menyumbang lebih dari 80% dari bauran energi global.

Kecanduan bahan bakar fosil ini menempatkan keamanan energi dan aksi iklim pada belas kasihan geopolitik. Pemerintah tidak dapat mengklaim berdiri untuk perdamaian jika mereka terus membiayai perang. Perpindahan dari minyak dan gas Rusia ke minyak dan gas dari negara lain dengan catatan hak asasi manusia dipertanyakan, seperti Venezuela atau Arab Saudi, hanya akan menggeser kekuatan geopolitik dari satu pelaku ke pelaku lainnya.
Ketidakseimbangan kekuatan ini dapat menyebabkan negara-negara bertindak dengan impunitas-. Pada pembicaraan iklim global COP26 baru-baru ini, produsen minyak dan batu bara terkemuka seperti Arab Saudi dan Australia menghalangi upaya untuk memasukkan penghapusan bahan bakar fosil dalam teks akhir, dan negara-negara seperti Rusia dan Amerika Serikat bukanlah anggota Pengadilan Kriminal Internasional yang menuntut kejahatan perang.

Ribuan orang membentuk tanda perdamaian besar untuk memprotes invasi Rusia ke Ukraina dan untuk mengungkapkan rasa peduli mereka kepada para korban perang yang tidak bersalah di Lapangan Pahlawan Budapest. © Bence Jardany / Greenpeace

Energi terbarukan adalah jalan menuju perdamaian

Untuk mencapai dunia yang lebih adil dan damai, kita membutuhkan negara-negara untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil. Demi transisi yang cepat, pertama-tama, negara-negara maju harus mengurangi permintaan energi mereka dan memaksimalkan efisiensi energi. Kemudian bergerak cepat untuk mengisi sisa kebutuhan energi mereka dengan energi terbarukan.

Tidak seperti bahan bakar fosil, energi terbarukan cenderung tidak menyebabkan perebutan kekuatan geopolitik atau ketidaksetaraan, karena infrastrukturnya sebagian besar dilokalisasi. Hal ini dapat membantu mengurangi perdagangan dengan negara-negara yang catatan hak asasi manusianya dipertanyakan. Energi terbarukan skala lokal juga melindungi konsumen dari guncangan harga seperti krisis energi global yang kita lihat saat ini.

Relawan sedang memasang panel surya pertama. Antara 10 dan 18 September, sebanyak 12 sukarelawan dilatih dalam pelatihan fotovoltaik surya. Pelatihan diakhiri dengan pemasangan fotovoltaik di atap kantor Greenpeace di Kinshasa. Lokakarya ini diselenggarakan oleh Greenpeace Afrika dan Pusat Dukungan Pemuda Greenpeace Swiss. © Greenpeace / Crispin Assimbo Bosenge

Menjaga ketahanan energi dan iklim

Kombinasi energi terbarukan dan efisiensi energi adalah pilihan yang lebih baik untuk ketahanan energi. Jika potensi keduanya digabungkan, total permintaan energi global dapat dikurangi hingga 25% pada2030. Langkah-langkah efisiensi energi akan mencapai 50% hingga 75% dari total penghematan energi, dengan energi terbarukan mengisi sisanya. Hal ini berdampak besar untuk menjaga iklim, dengan bahan bakar fosil menjadi kontributor nomor satu untuk pemanasan global.

Transisi yang cepat dan adil ke energi terbarukan sangatlah mungkin. Memasang kapasitas terbarukan jauh lebih cepat daripada membangun infrastruktur bahan bakar fosil baru – Di Inggris dibutuhkan rata-rata 28 tahun untuk mengembangkan sumur minyak baru, dibandingkan dua tahun untuk membangun ladang tenaga surya. Dan jika dunia berinvestasi pada lebih banyak energi terbarukan, akan menjadi pilihan yang lebih murah dan lebih banyak tersedia. Maroko dan Mesir dengan cepat meningkatkan kapasitas energi terbarukan mereka, dan menunjukkan bagaimana kolaborasi dapat membantu semua orang melangkah lebih jauh dan lebih cepat bersama-sama.

Ini adalah kesempatan bagi pemerintah untuk memutus siklus bahan bakar fosil yang merusak dan transisi ke masa depan yang damai dan hijau. Pemerintah harus bertindak untuk perdamaian dan iklim yang aman dengan transisi ke energi yang efisien dan terbarukan secepat mungkin.

Marie Bout adalah Staf Strategi Komunikasi Iklim Global di Greenpeace International

Referensi:

[1] Menurut laporan tahun 2017 yang diposting oleh perusahaan dalam bahasa Rusia, perusahaan-perusahaan di grup Rosneft memasok Kementerian Pertahanan Rusia, Komite Investigasi Federasi Rusia, Kementerian Darurat Rusia, Kementerian Dalam Negeri Rusia, Pengawal Rusia dan pada saat itu merupakan satu-satunya pemasok bahan bakar motor untuk Garda Nasional, yang sejak itu ditempatkan di perbatasan dengan Ukraina.

#Climate #EnergyRevolution #Peace