Selama lebih dari 20 tahun, kapal Greenpeace yang bernama Esperanza – ‘Harapan’ dalam bahasa Indonesia – telah menerangi kegelapan dalam perjuangan untuk melindungi lingkungan. Namu perjalanannya kini telah berakhir, meninggalkan warisan inspirasi dan perlindungan lingkungan yang membanggakan.

Selama dua dekade, kru Esperanza menghadapi penangkapan ikan illegal dan tombak kapal pemburu yang mengincar paus, dari daerah kutub hingga Afrika Barat, bekerja sama dengan ilmuwan dan jurnalis untuk mengungkap kegiatan ilegal dan melakukan studi inovatif. Mereka berjuang atas nama manusia dan planet kita melawan mereka yang hanya mengutamakan keuntungan dan kekuasaan.

Kapal Greenpeace Esperanza: 2000-2022

‘Espy’, adalah nama lain Esperanza yang dikenal dengan penuh cinta di dalam Greenpeace, telah membawa para aktivis kami ke bagian dunia yang tidak dapat diakses oleh kebanyakan orang. Seringkali di daerah paling terpencil inilah kejahatan lingkungan dan kemanusiaan terburuk terjadi. Espy juga membawa bantuan dan bantuan kemanusiaan kepada mereka yang membutuhkan setelah gempa Haiti tahun 2010, dan Topan Bopha 2012, yang menghancurkan sebagian besar Filipina.

Sebagai kapal tercepat di armada Greenpeace, Esperanza sering digunakan untuk mengejar kapal berkecepatan tinggi dan untuk menghadapi penjahat lingkungan yang hanya bisa ditangkap dengan mengejarnya lebih cepat. Esperanza yang memiliki kredensial kelas es mampu membawa pertarungan ini ke perairan Antartika yang membeku dalam berbagai ekspedisi kutub yang pernah dilakukan Greenpeace.

Aerial view of the Esperanza cutting through sheets of ice

Esperanza di es laut Arktik di sekitar Svalbard selama perjalanan kutub ke kutub Greenpeace 2019-2020.© Will Rose / Greenpeace

Esperanza, akan selalu menjadi simbol harapan, ia yang lahir dari dukungan jutaan orang di seluruh dunia dan diawaki oleh mereka yang mempertaruhkan keselamatan dan hidup mereka untuk melawan rintangan yang mustahil demi perlindungan lingkungan kita bersama.

Sekarang, Esperanza telah tiba di perhentian pelabuhan terakhirnya di Gijón, Spanyol dan dalam beberapa minggu mendatang akan berhenti berlayar untuk selamanya.

Saat dunia berubah, demikian pula operasi maritim Greenpeace. Esperanza, bahkan dengan penggerak listriknya, memiliki jejak karbon yang jauh lebih besar daripada kapal Greenpeace lainnya dan terlepas dari upaya terus-menerus dari kru, teknisi, sukarelawan, dan pendukung yang berdedikasi untuk mengasah dan meningkatkan fitur teknis kapal, sistem dasarnya tidak memungkinkannya untuk konsisten dengan visi Greenpeace untuk masa depan tanpa karbon.

Awak Esperanza telah meluncurkan pesawat bertenaga surya, helikopter dan kapal selam dari geladak dan memberi kapal ini banyak renovasi agar menjadi lebih hijau dari sejak awal pelayarannya dan sepanjang hidupnya, tetapi di tengah darurat iklim dengan kejahatan lingkungan yang masih dilakukan di seluruh dunia, Greenpeace perlu memimpin dalam mengurangi emisi karbon, sementara pada saat yang sama menemukan sumber daya maritim yang lebih fleksibel dan lokal untuk memungkinkan kita melakukan perjuangan ke tempat-tempat terpencil yang hanya sedikit yang bisa pergi.

Crew members watch a helicopter taking off from the helideck of the Esperanza

Awak Esperanza mempersiapkan penerbangan pencarian di atas Samudra Hindia pada tahun 2016 selama ekspedisi yang juga menggunakan pengawasan udara dan bawah air bertenaga surya untuk berburu operasi penangkapan ikan yang merusak.© Will Rose / Greenpeace

Sementara Esperanza sekarang akan dibongkar, dengan standar lingkungan tertinggi, semangat dan harapan yang diwakilinya akan terus hidup dalam perjuangan berkelanjutan untuk melindungi Bumi kita yang rapuh.

Harapan yang mengapung

Sebelum bergabung dengan armada Greenpeace pada tahun 2000, kapal yang mulai hidup sebagai kapal pemadam kebakaran Rusia ini dikenal sebagai ‘Echo Fighter’. Awak Greenpeace pertama di atas kapal menghapus kata ‘h’ untuk menjadikannya ‘Eco Fighter’, tetapi ketika Greenpeace memulai proses reparasi kapal menjadi lebih ramah lingkungan, pemungutan suara online digelar untuk memilih nama yang permanen. Ribuan aktivis di Argentina dan negara-negara Hispanik lainnya melihat kesempatan bersejarah untuk menjadikan kapal Greenpeace pertama dengan nama Spanyol. Antusiasme mereka untuk aksi di laut dan aktivisme digital yang muncul pada zaman itu bersatu dan mereka membanjiri pemungutan suara dengan satu nama: ‘Esperanza’.

Selama lebih dari dua dekade, kisah Esperanza adalah gabungan dari aksi para krunya yang berbakat dan berdedikasi, para aktivis dan sukarelawan pemberani yang menjadikannya rumah, tim kampanye yang membantu memberikan harapan dalam aksi melalui berbagai kegiatan kampanye dan para pendukung yang telah membawa Esperanza ke armada Greenpeace, menamai kapal itu, dan berdiri di belakangnya di setiap bagian perjalanannya.

Crew members lie on the grouns in the shape of the letters T-H-A-N-K-S

Anggota kru berbaring di dek Esperanza untuk membentuk kata ‘Terima kasih’ pada tahun 2016.© Will Rose / Greenpeace

Esperanza berhutang terima kasih kepada ratusan ribu bahkan jutaan orang untuk berbagai perjalanan yang dilalui selama ini. Mungkin pantas jika tujuan akhir kapal adalah di negara berbahasa Spanyol: bahasa kelahiran namanya.

Kepada mereka, dan Anda semua, yang telah membawa cahaya harapan di hati Anda, kami mengucapkan “gracias” terima kasih. Meskipun kami tidak tahu pasti dimana tempat yang akan membutuhkan cahaya tersebut di masa depan, kami tahu itu tidak akan pernah padam, dan kami akan membawanya ke mana pun ia pergi, bersama-sama.

Sering dikatakan bahwa sebuah kapal jauh lebih dari sekadar konstruksi fisik: ia terdiri dari hati dan jiwa orang-orang yang membuatnya. Seperti yang dikatakan penulis Prancis Antoine de Saint-Exupéry: “Jika Anda ingin membangun sebuah kapal, jangan kumpulkan orang untuk mengumpulkan kayu atau memberikan tugas dan pekerjaan, tetapi ajari mereka untuk merindukan luasnya laut yang tak ada habisnya.”

The Esperanza visible through the mist in the waters off Greenland

Esperanza di lepas pantai Greenland pada tahun 2011 selama kampanye untuk mencegah pengeboran minyak laut dalam di Kutub Utara oleh rig Leiv Eriksson © Jiri Rezac / Greenpeace