Tanpa disadari, masyarakat dunia sekarang hidup berdasarkan model ekonomi berbasis linear (linear economy), di mana produsen akan memproduksi sebuah produk dan konsumen akan mengkonsumsinya lalu membuangnya, sehingga menciptakan pola pikir “out of sight, out of mind” mengenai nilai guna dari sampah setiap produk. Selain itu, model ini juga menciptakan gaya hidup “produksi-konsumsi-buang” di dalam masyarakat, di mana masyarakat akan langsung membuang produk tanpa mendaur ulang atau memakainya kembali – dan hal ini bukan sepenuhnya salah dari pihak rumah tangga saja, namun juga dari produsen yang mungkin mendesain produknya agar tidak dapat digunakan kembali. Padahal, gaya hidup dan pola pikir ini akan menyebabkan berlimpahnya sampah di tempat pemrosesan akhir (TPA) yang sesungguhnya tidak selalu harus berakhir di sana. Beberapa dari sampah tersebut sebenarnya masih memiliki nilai guna yang dapat digunakan kembali, sehingga apabila didaur ulang dapat mengurangi volume sampah yang ada. Di Indonesia sendiri, data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada tahun 2019 menyebut bahwa dari sekitar 64 juta ton timbunan sampah yang dihasilkan setiap tahunnya, 60% dari angka tersebut ditimbun ke TPA, 30% dibiarkan dan mencemari lingkungan, sementara hanya 10% yang didaur ulang.

Jurukampanye Urban Greenpeace Indonesia, Muharram Atha Rasyadi, meninjau sampah plastik yang tertimbun di TPA Burangkeng Bekasi, Jawa Barat. ©Jurnasyanto Sukarno/Greenpeace

Model ekonomi berbasis linear “take-make-dispose” atau “ambil-buat-buang” yang selama ini dianut kini tidak bisa dipertahankan sebagai gaya hidup maupun pola pikir di tengah krisis ekologis yang sedang dihadapi sekarang. Selain boros materi yang sebenarnya masih memiliki nilai guna, model ekonomi ini juga menyebabkan ekstraksi sumber daya alam yang masif sehingga menggunakan energi dan melepaskan emisi gas rumah kaca yang lebih banyak. Maka, dunia perlu menghentikan praktik model ekonomi linear dan menggantikannya dengan model ekonomi sirkular (circular economy) – sebuah model ekonomi yang bersifat seperti lingkaran tertutup, di mana sumber daya dan materi akan dimanfaatkan nilai gunanya secara terus menerus dan energi yang digunakan akan lebih hemat serta terbarukan.

Bersama Departemen Lingkungan Hidup Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia, Greenpeace Indonesia berusaha untuk mendorong ekonomi sirkular melalui kegiatan UI Youth Environmental Action (UI YEA) ke-10 yang mengusung tema Unlocking The Circular Economy Potential For A Global Sustainable Future.” Panitia memilih tema ini karena konsep ekonomi sirkular dapat menciptakan masa depan berkelanjutan yang juga membuat lingkungan dapat terus menjaga dan melindungi sumber dayanya dari dampak negatif kegiatan industri di saat ini maupun di masa mendatang. Terdapat beberapa rangkaian acara dalam program ini, yaitu pre-event, roadshow, summit, dan student conference.

Greenpeace Indonesia berperan sebagai kolaborator pada ajang International Student Conference, yakni konferensi mahasiswa yang diikuti 80 peserta mahasiswa S1/D4 dari berbagai jurusan dan universitas pada tanggal 9 Oktober 2021. Pada ajang ini, Greenpeace Indonesia berkolaborasi dengan The 10th UI YEA dalam Chamber 1: Industrial Waste, di mana Greenpeace Indonesia menyusun studi kasus, memberikan input dan feedback, serta mengirim dua representatif yakni  Bondan Andriyanu dan Didit Haryo Wicaksono untuk menilai para peserta. 

Di dalam Chamber 1: Industrial Waste, para peserta diminta untuk menyelesaikan studi kasus mengenai FABA (Fly Ash, Bottom Ash). Hal ini terkait dari kebijakan pemerintah mengeluarkan FABA dari kategori limbah B3, sehingga membuat limbah FABA terkesan sebagai limbah yang tidak termasuk Bahan Berbahaya dan Beracun. Hal ini menjadi suatu polemik karena meskipun dalih penerapan ekonomi sirkuler semakin kuat, FABA pada nyatanya memberikan dampak yang berbahaya terhadap lingkungan sekitar dan terhadap kesehatan warga yang tinggal di dekat lokasi penambangannya. Selain itu, dari perspektif lingkungan, hal ini berpotensi menjadi pembenaran bagi Indonesia untuk terus membakar batu bara, sedangkan yang seharusnya kita lakukan adalah melakukan transisi ke energi terbarukan. 

Ilustrasi Fly Ash. © Sajan Ponappa / Greenpeace

Mengenai ekonomi sirkular, para peserta telah menemukan bahwa permasalahan yang memiliki urgensi tinggi untuk dibahas adalah: (1) Pemanfaatan FABA diklaim menerapkan ekonomi sirkular sementara LSM percaya bahwa sebenarnya tidak, karena mekanisme pembangkit listrik tenaga batu bara, di belakang pembangkitan FABA, melanggar konsep SDGs, (2) Komunitas terdampak (affected communities) telah mengalami masalah kesehatan, termasuk anak-anaknya. Komunitas terdampak sebagai masyarakat yang terkena dampak berhak mendapatkan kesempatan untuk hidup normal dan sehat seperti warga sipil lainnya. Dan (3) Pemerintah telah melakukan miskonsepsi tentang ekonomi sirkular yang berujung pada pembebasan FABA dari daftar limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) tanpa regulasi yang komprehensif. 

Solusi yang ditemukan peserta dalam Chamber 1: Industrial Waste The 10th UI YEA antara lain:

  1. Menerapkan suatu sistem untuk mengolah FABA sehingga tidak menimbulkan kerusakan lingkungan yang lebih besar dan penggunaan FABA yang lebih efisien, serta sistem untuk menyimpan dan mengangkut FABA dengan aman.
  2. Melakukan kelayakan teknologi pelaksanaan proyek dan perubahan persyaratan undang-undang lingkungan.
  3. Mendorong pemerintah untuk menerapkan pajak karbon untuk menekankan bahwa transisi menuju energi terbarukan yang bersih lebih memiliki urgensi yang jauh lebih tinggi. 
  4. Kriteria pemrosesan limbah FABA untuk pembentukan regulasi pemanfaatan yang tepat guna.
  5. Melakukan pengelolaan ekstra limbah jenis FABA menggunakan alat dan penyimpanan khusus yang melestarikan lingkungan hingga dapat diproses dengan standar yang baik.
  6. Diperlukannya data terpercaya yang dapat membantu akademisi dan investor dalam memutuskan untuk mendorong FABA sebagai bahan konstruksi yang akan membantu transisi antara industri batu bara dan terbarukan sambil tetap mempertahankan sirkularitas.
  7. Berdiskusi dengan masyarakat yang terkena dampak, LSM, dll.
  8. Mengetahui apakah FABA berbahaya melalui penelitian, penelitian, penelitian untuk mendapatkan data: batas ambang batas, penelitian toksikologi.
  9. Memanfaatkan data untuk menggunakan teknologi yang sesuai untuk pemanfaatan FABA.
  10. Melakukan penilaian dampak lingkungan untuk meminta pertanggungjawaban industri.
  11. Meneliti dan membuat alat pengukuran tingkat FABA yang akurat di rumah warga sipil (termasuk media air dan udara) melalui sampel udara pasif dan uji total padatan tersuspensi
  12. Menangani pembuangan FABA dengan benar.
  13. Untuk mengurangi kesulitan pembangkit listrik tenaga batu bara dan pemanfaatan kompleks, pemerintah perlu menegakkan hukum yang lebih ketat, menyediakan sumber daya untuk mendukung studi pemanfaatan FABA dengan penerapan analisis dampak lingkungan, dan industri untuk mewujudkan transparansi dan menjunjung tinggi keselamatan pekerja. dan komunitas. Dengan demikian, kita dapat mengurangi kerugian yang terkait dengan FABA.
  14. Dalam upaya penegakkan hukum yang lebih ketat, perlu dilakukan penerapan analisis dampak lingkungan untuk industri dengan mengidentifikasi komposisi FABA dan pengukuran toksisitasnya untuk menghindari potensi risiko pemanfaatannya bagi masyarakat yang terkena dampak.

Selain itu, The 10th UI YEA juga mengadakan kegiatan lapangan untuk mempromosikan gaya hidup ekonomi sirkular di dalam masyarakat, terutama mengenai sampah plastik yang marak dihasilkan. Fokus dari kegiatan ini adalah untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai kesehatan lingkungan dan bahaya dari sampah plastik, serta mewujudkan kebiasaan untuk memilah dan mengurangi sampah sebagai salah satu bentuk gaya hidup ekonomi sirkular dalam skala rumah tangga. 

Field event pertama dilaksanakan pada tanggal  7 dan 14 November 2021 di Sukmajaya RW 06 Depok, di mana The 10th UI YEA berhasil mengajak masyarakat dan bank sampah untuk mengelola sampah plastik menjadi bahan yang dapat didaur ulang serta meningkatkan kesadaran warga mengenai bahaya dari penumpukkan sampah plastik pada jangka pendek dan panjang. Agar semakin mendorong masyarakat untuk memilah sampah, panitia The 10th UI YEA memberikan lima pasang tempat sampah fiber anorganik dan organik kepada masyarakat Sukmajaya RW 06. 

Kegiatan kedua dilaksanakan pada tanggal 20 November 2021 yang dihadiri oleh Djakaria (Ketua RW 6), Herman (Ketua Yayasan Rumah Harum), Leon Alvinda (Ketua BEM UI 2021), Nurul (Dosen Pembimbing UI YEA 2021), dan Nouvna Nore (Mpok Depok). Pada rangkaian ini, pihak The 10th UI YEA menghibahkan sebuah mesin pencacah sampah kepada Yayasan Rumah Harum Depok, lebih tepatnya Bank Sampah Induk Depok, dan mengedukasi warga setempat mengenai cara penggunaan dan perawatan alat dalam jangka panjang. Pemberian mesin pencacah sampah yang dapat mendaur ulang semua jenis plastik ini bertujuan untuk mengajak masyarakat agar memilah sampah serta memudahkan proses daur ulang sampah plastik untuk dikirimkan agar kembali memiliki nilai ekonomi, sesuai dengan SDG no. 12: Responsible Consumption and Production. Selain itu, panitia juga memberikan beberapa tanaman sebagai kenang-kenangan agar mengajak warga untuk berpartisipasi aktif dalam menyadari pentingnya kesehatan lingkungan. Pada acara ini, diberikan sertifikat kepada RW 06 oleh UI YEA yang diwakili oleh Leon Alvinda selaku ketua BEM UI 2021 dan kepada Bank Sampah Induk Depok yang diwakili oleh Kara Carolluna selaku Project Officer The 10th UI YEA.