Ini adalah momen yang menentukan: untuk mencegah dampak terburuk dari krisis iklim, kita membutuhkan tindakan segera, dramatis, dan konsisten dari pemerintah dunia.

KTT Iklim PBB ke-26, juga dikenal sebagai COP26, akan berlangsung dari 31 Oktober-12 November dan merupakan tenggat waktu yang disepakati bagi hampir 200 negara untuk berbagi bagaimana tepatnya mereka berencana mengambil tindakan yang sangat dibutuhkan.

Relawan Greenpeace melakukan aksi damai bersama ribuan aktivis lingkungan lainnya, menuntut kebijakan iklim yang lebih kuat dari pemerintah Jerman di Berlin. © Sina Niemeyer / Greenpeace

Seperti yang terjadi saat ini, rencana negara-negara peserta untuk mengurangi emisi tidak cukup ambisius dan kami sedang dalam perjalanan untuk mencapai tujuan 1,5 C yang disepakati dalam Perjanjian Paris. Untuk kembali ke jalurnya, kita perlu melihat aksi nyata di COP26.

Mengingat besarnya tantangan yang kita hadapi, berikut adalah tindakan iklim yang Greenpeace Internasional minta agar pemerintah ambil dan akan dorong dengan segala cara di COP26. Empat tuntutan ini dapat memastikan masa depan yang lebih adil, lebih aman, dan lebih berkelanjutan bagi semua orang:

  1. Hentikan semua proyek bahan bakar fosil baru segera dan hentikan industri

COP26 adalah di mana dunia akhirnya harus menyatakan berakhirnya era bahan bakar fosil. Dari pertemuan ini dan seterusnya, kita membutuhkan komitmen bahwa tidak akan ada investasi bahan bakar fosil baru di mana pun, dan penghentian infrastruktur bahan bakar fosil yang ada harus sejalan dengan tujuan 1,5C. Itu berarti tidak ada sumur minyak baru, tidak ada pembangkit batu bara baru, tidak ada tambang batu bara baru, dan tidak ada proyek gas baru.

Untuk tetap berada di bawah peringatan 1,5C, target pengurangan emisi harus ditingkatkan. Ini tidak hanya berarti tidak ada proyek baru tetapi juga tidak ada pembiayaan baru, dan tidak ada dukungan publik untuk proyek-proyek yang ada, yang juga harus dihentikan. Prioritas juga harus ditempatkan pada penghapusan batu bara secepat mungkin dan teks keputusan akhir COP26 harus secara khusus menyebutkan bahan bakar fosil sebagai penyebab utama darurat iklim.

Penghapusan bahan bakar fosil juga harus mencakup transisi yang adil bagi pekerja dan masyarakat yang terkena dampak. Solusi cerdas, efisien, dan berkelanjutan siap memenuhi semua kebutuhan energi kita, jika memungkinkan.

Lebih dari 50.000 orang berada di jalanan Brussels untuk pawai iklim pertama sejak kemunculan krisis COVID-19. Kegiatan yang diadakan oleh Greenpeace Belgia ini merupakan aksi melawan iklan bahan bakar fosil, untuk menyebarluaskan European Citizenship Initiative. © Johanna de Tessières / Greenpeace

2. Tetapkan rencana pengurangan emisi yang ambisius untuk mengurangi separuh emisi global pada tahun 2030

Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC), sekelompok ilmuwan iklim top dunia yang diadakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, mengatakan kita tidak boleh mengeluarkan lebih dari 500 miliar ton CO2 (dihitung dari awal 2020) untuk memberi diri kita peluang 50% membatasi pemanasan global hingga 1,5C di atas tingkat pra-industri. Untuk meningkatkan peluang kita menghindari skenario iklim terburuk hingga 67%, kita harus membatasi diri hingga 400 miliar ton. Sayangnya, saat ini, aktivitas manusia menghasilkan lebih dari 40 miliar ton per tahun sehingga kita memerlukan tindakan tegas dan mendesak untuk menghindari melampaui batas ini.

Kita perlu melihat tindakan yang akan mengurangi separuh emisi global pada tahun 2030 dan menempatkan kita pada jalur menuju emisi Nol Bersih pada tahun 2050. Jika pemerintah gagal meningkatkan komitmen pengurangan emisi yang mereka serahkan ke PBB, mereka akan menutup pintu pada tujuan Perjanjian Paris membatasi suhu naik ke 1.5C. Janji saat ini menunjukkan emisi meningkat sebesar 16% pada tahun 2030, menempatkan kita di jalur pemanasan 2,7C pada akhir abad ini. Sementara itu, kebijakan pemerintah global saat ini akan membuat kita semakin terpuruk – menuju 2,9C.

Negara-negara G20 menyumbang hampir 80% dari emisi global, tetapi terlalu banyak dari mereka yang belum memperbaiki rencana iklim mereka menjelang COP26, termasuk India, Cina, Australia, Arab Saudi, Rusia, dan Brasil. Itu sebabnya, di Glasgow, kita membutuhkan negara-negara terkaya untuk menunjukkan kepemimpinan dan bergerak lebih cepat secara signifikan.

Cagar Alam Sungai Sembilang di Sumatera Selatan. Greenpeace bersama dengan perwakilan DPR dan Kepolisian Indonesia melihat langsung penghancuran hutan gambut alami di Sumatera. Deforestasi merupakan sumber kunci dari emisi rumah kaca Indonesia, yang menjadikan Indonesia sebagai negara terbesar ketiga yang berkontribusi dalam emisi global. © Kemal Jufri / Greenpeace

3. Aturan kuat yang mendorong kerja sama internasional yang adil daripada rencana untuk membuka pasar global dalam penyeimbangan karbon atau Carbon Offset (itu penipuan dan tidak berhasil)

Offsetting tidak menghentikan emisi yang memasuki atmosfer dan menghangatkan dunia kita – itu hanya menghentikan emisi yang muncul di buku besar pencemar. Pada dasarnya, mereka adalah trik akuntansi. Menurut para ilmuwan di balik laporan ilmiah terbaru PBB, dunia perlu untuk melakukan pengurangan emisi yang segera, dramatis dan konsisten – tetapi penyeimbangan adalah kebalikan dari itu. Ini hanyalah izin untuk terus mencemari, itu mendorong komodifikasi alam dan memungkinkan perusahaan dan pemerintah yang kuat untuk mengambil alih tanah komunitas yang rentan, menginjak-injak hak asasi manusia dan melanggar integritas lingkungan.​​

Jujur saja: Carbon Offset adalah penipuan yang berbahaya, tidak berhasil dan memperluasnya hanya akan menunda tindakan nyata.

4. Komitmen finansial untuk negara-negara rentan iklim yang terkena dampak iklim

Banjir di Lafaitte, Louisiana paska badai Ida. Badai Ida merupakan badai mematikan dan menghancurkan yang masuk ke Kategori 4 badai Atlantik, membuatnya menjadi badai kedua yang paling merusak yang pernah menerjang Louisiana setelah badai Katrina. © Julie Dermansky / Greenpeace

Perubahan iklim adalah masalah global sehingga membutuhkan solusi secara global. Berdasarkan catatan, penghasil emisi terbesar adalah Amerika Serikat, China, dan Rusia – termasuk Jepang, Jerman, dan Inggris Raya yang berada di 10 besar.

AS, UE, Inggris, Jepang, Kanada, dan Australia juga termasuk di antara negara dan blok utama yang berkomitmen untuk memberikan $100 miliar pendanaan iklim per tahun pada tahun 2020 tetapi mereka gagal melakukannya. Ada kesenjangan $ 20 miliar dan negara-negara itu harus meningkatkan dan memenuhi tanggung jawab mereka.

Negara-negara yang berkomitmen perlu tampil di COP26 dengan rencana yang kuat, transparan, dan berbasis kebutuhan yang menunjukkan bagaimana $100 miliar akan dipenuhi setiap tahun selama lima tahun ke depan. Dana akan membantu mengembangkan sistem energi bersih dan transisi dari bahan bakar fosil serta adaptasi terhadap pemanasan iklim di masa depan. Lebih banyak uang di atas itu akan dibutuhkan untuk adaptasi lebih lanjut dan untuk mengatasi dan mengkompensasi kerusakan yang sudah disebabkan oleh dampak iklim di negara-negara yang rentan.

Kita bisa mewujudkannya

Semua perubahan ini tidak akan dan tidak terjadi dengan sendirinya. Sejak Perjanjian Paris, telah terjadi peningkatan kesadaran yang luar biasa dan peningkatan besar dalam aktivisme. Jutaan orang telah turun ke jalan untuk mogok demi iklim, pemilu didominasi oleh politik krisis iklim, dan lebih banyak orang membawa perjuangan keadilan iklim ke pengadilan dan menang. Kekuatan masyarakat bekerja!

Pada intinya, konferensi ini adalah tentang mewujudkan kesetaraan dan keadilan, terutama bagi masyarakat rentan. Ini tentang siapa yang memiliki masa depan – para pencemar yang mendapat untung dari industri yang menyebabkan krisis ini, atau orang-orang yang paling merasakan dampaknya – Masyarakat Adat, komunitas rentan, dan kaum muda di seluruh dunia.

Planet kita sedang terbakar dan para pemimpin di dunia belum berusaha untuk memadamkannya. 37 hari sebelum COP26, anak muda dari berbagai belahan dunia bersatu untuk menuntut masyarakat dan pemerintah memberi perhatian lebih terhadap krisis iklim dan keanekaragaman hayati yang Bumi sedang hadapi. © Marcela Casarino / Greenpeace