Banjir yang melanda Jabodetabek pada awal tahun 2020 adalah bukti nyata dari  #KrisisIklim yang sedang berlangsung di Indonesia. Jakarta dan sekitarnya mendapat curah hujan yang sangat tinggi. Bahkan daerah Halim, Jakarta Timur dinobatkan memiliki curah hujan dengan intensitas tertinggi selama 154 tahun terakhir.

Pada tulisan sebelumnya yaitu #KrisisIklim? Manusia Akan Kehilangan Banyak Privilege, sudah dibahas beberapa akibat dari terjadinya #KrisisIklim. Semua orang tentunya akan merasakan akibat tersebut, menjadi korban dari #KrisisIklim. Namun, apakah semua orang akan “langsung” menjadi korban? Apakah semua orang “langsung” menjadi korban yang paling dirugikan banjir yang terjadi di awal tahun 2020?

Hmm, rasanya tidak. Mari kita melihat realita lebih dalam lagi.

Krisis Air Bersih? Beli Saja…

Villagers Collect Water in Beed District. © Subrata Biswas / Greenpeace

Coba kita ketik di mesin pencarian “krisis air bersih di Indonesia”, puluhan portal  berita online menyuguhkan bencana krisis air bersih di beberapa daerah di Indonesia. Agustus 2019 di Gresik, Jawa Timur, ratusan warga di 59 desa mengalami krisis air. Warga-warga tersebut terpaksa harus membeli air dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) wilayah setempat (dikutip dari cnnindonesia.com). Warga harus mengeluarkan uang sebesar Rp 40 ribu per hari untuk membeli air karena sumur kering, dengan kata lain warga harus mengeluarkan Rp 1,2 juta lebih banyak setiap bulannya ‘hanya’ untuk membeli air. Bagaimana dengan masyarakat menengah ke bawah? Menurut data BPS, garis kemiskinan secara nasional adalah sebesar Rp 1.990.170/rumah tangga/bulan. Dengan kata lain warga Gresik yang tergolong miskin (pendapatan di bawah garis kemiskinan), akan kesulitan mendapat air bersih di tengah kekeringan yang melanda. Orang-orang yang berada di atas garis kemiskinan memiliki privilege yang lebih banyak dalam menghadapi #KrisisIklim karena mampu membeli air bersih.

Harga Pangan Melambung Jauh

© Jose Enrique Soriano / Silverlens / Greenpeace

Indonesia mengutamakan beras sebagai pangan utama tentunya menuntut sektor pertanian harus mampu memenuhi kebutuhan beras untuk masyarakat Indonesia. Kekurangan beras akan menjadi masalah serius untuk Indonesia. Lalu apa hubungannya dengan #KrisisIklim?

Cuaca tak menentu akan terasa dampaknya di sektor pertanian. Contoh jelasnya masih segar karena baru saja terjadi yaitu ratusan hektare sawah di Banten gagal panen akibat banjir yang melanda. Tak hanya kekeringan saja yang akan merusak jadwal panen para petani, banjir juga berdampak demikian.

Cuaca yang tidak menentu seperti itu dipicu oleh iklim yang semakin tidak bersahabat. Saat ini, pangan Indonesia masih dalam kondisi aman karena produksi yang berlimpah dan dibantu oleh beras impor. Namun, mari kita pikirkan beberapa tahun kedepan, akankah kekuatan pangan Indonesia masih dalam kondisi prima ketika #KrisisIklim semakin ganas? Ketika cuaca semakin tidak bersahabat. Kekeringan dan hujan ekstrim datang tanpa bisa di prediksi.

Ketika saat itu terjadi, stok beras menipis dan tidak dapat memenuhi seluruh masyarakat Indonesia. Akibatnya harga beras yang melambung lagi-lagi tidak ramah untuk masyarakat yang tergolong miskin. Tak hanya beras, produk pertanian lainnya akan bernasib sama. Begitu pula hasil laut yang akan turun drastis ketika nelayan tak mampu melaut akibat cuaca yang mengganas.

“Semua di dunia ini harus bayar, termasuk bernafas.”

WHO menyatakan bahwa polusi udara adalah masalah lingkungan utama yang menimbulkan risiko bagi kesehatan. Setiap tahunnya, ada 7 juta kematian yang disebabkan oleh polusi udara. Jumlah kematian akibat polusi udara terbesar terjadu di kawasan Asia Tenggara dan Pasifik Barat lalu diikuti oleh Afrika, Mediterania Timur, dan Amerika.

Coba kita ingat kembali, berapa banyak negara yang menjadi konsumen tetap dari produen udara bersih dalam kemasan? Dan berapa harga yang dibandrol untuk udara dalam kemasan tersebut?

Pada 2015, independent.co.uk memberitakan bahwa lelaki asal Inggris bernama Leo De Watts, menjual udara bersih dalam kemasan bermerek Aethaer ke China seharga Rp 1.575.000 atau 80 pounds. Kaum kaya di China tidak berpikir panjang untuk membeli produk tersebut karena kualitas udara China semakin buruk, salah satu dampak dari #KrisisIklim. Tak hanya dari Inggris, produsen asal Kanada dengan merek Vitality memproduksi udara dalam botol dengan harga $24 dolar dan mampu menjual puluhan ribu botol dalam sebulan, di ekspor ke berbagai negara. Vitality juga membuka cabang di India. Negara-negara dengan kualitas udara yang buruk juga menjadi konsumen setia dua perusahaan udara ini. Terlihat bisnis jual beli udara sangat menjanjikan di tengah masalah polusi udara yang sulit diselesaikan.

Dibalik mengambil peluang disetiap kesempatan, bisnis jual beli udara bersih ini menjadi tamparan keras untuk masyarakat dunia. Selama ini kita dibebaskan menghirup udara sebanyak-banyaknya tanpa mengeluarkan sepeser pun. Beberapa negara harus membeli udara bersih karena buruknya kualitas udara di negara mereka, yang kemudian menyebabkan kematian. Ternyata udara bersih itu sangat berharga!

Banjir Datang? Si Kaya Mencari ‘Rumah’ Cadangan, si Miskin Menatap Nanar Atap Rumah

Beberapa masyarakat yang terkena dampak banjir pada awal tahun 2020 memilih untuk mengungsi di hotel. Masyarakat menengah dan menengah ke atas memiliki banyak pilihan ketika rumah terendam banjir. Lalu bagaimana dengan masyarkat yang tergolong miskin? Mereka hanya duduk termenung menatap rumah satu-satunya yang hanya terlihat atapnya saja. Rata-rata pemukiman kumuh tersebut berada di dataran rendah sehingga air dengan mudah menenggelamkan rumah-rumah mereka. Tak ada pilihan ke hotel, pindah rumah, atau merenovasi rumah menjadi dua lantai atau ditinggikan. Pilihan mereka hanyalah mengungsi di tempat yang disediakan dan membereskan rumah ketika banjir surut.

Begitu besar perbedaan yang terjadi di antara masyarakat berekonomi rendah dan yang berkecukupan dalam menghadapi #KrisisIklim. Kesenjangan sosial semakin terasa. Bahwa masyarakat yang tergolong miskin akan sangat sulit bertahan hidup ketika #KrisisIklim sudah semakin ganas. Kaum kaya dengan privilege yang mereka miliki masih sanggup membeli barang-barang dengan harga mahal ketika kuantitasnya semakin sedikit akibat #KrisisIklim. Tapi tenang, semua cerita horor tersebut masih mungkin untuk tidak terjadi di dunia khususnya Indonesia jika seluruh masyarakatnya memahami betul #KrisisIklim dan mengurangi aktivitas-aktivitas yang dapat memicu #KrisisIklim. Apa yang bisa kita lakukan sebagai masyarakat? Cukup mudah! Menghemat pemakaian listrik, menggunakan kendaraan umum, bersepeda, mengurangi pemakaian barang sekali pakai, mulai mengurangi konsumerisme, dan menanam pohon di lingkungan sekitar untuk menambah suplai udara bersih. Masyarakat juga secara langsung bisa mendorong regulator untuk segera melakukan transisi energi ke energi yang lebih ramah lingkungan. Semua bisa kita hadapi, termasuk #KrisisIklim. Yuk, masih ada kesempatan untuk merubahnya. Bersama-sama, tanpa memandang saya dan kamu siapa.