Merespons pidato Presiden Joko Widodo dalam Climate Adaptation Summit 2021 dengan situasi sejumlah bencana di awal tahun

Dampak krisis iklim semakin dirasakan oleh masyarakat Indonesia. Peningkatan curah hujan yang ekstrim, kekeringan, kenaikan muka air laut, serta menurunnya kualitas lingkungan, telah menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi masyarakat, terutama bagi yang memiliki kerentanan tinggi. 

Banjir yang terjadi di Kalimantan Selatan, bukti nyata tingkat anomali cuaca kian ekstrim dengan daya rusak yang semakin besar. Tingginya curah hujan yang berlangsung selama beberapa hari berbarengan dengan rusaknya daerah tangkapan air di Kalimantan Selatan, telah meningkatkan risiko bencana dan kerugian mencapai Rp 1,3 triliun yang harus ditanggung oleh masyarakat [1]. Angka tersebut hampir seperlima Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Kalimantan Selatan. 

Flash Floods in South Kalimantan. © Iman Satria / Greenpeace
Warga menyebrangi sungai dengan menggunakan jembatan seadanya setelah jembatan tersebut hancur akibat banjir bandang di Desa Alat, Hantakan, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan. Kabupaten Hulu Sungai Tengah masih terisolir dari bantuan karena akses jalan rusak. Banjir yang disebabkan oleh curah hujan tinggi musiman dan pembukaan lahan besar-besaran untuk penambangan kelapa sawit dan batu bara di Kalimantan Selatan mengakibatkan naiknya permukaan air hingga dua meter, menggenangi ratusan rumah dan memaksa ribuan penduduk mengungsi dan mencari perlindungan di tempat yang lebih tinggi.

Sementara itu, Presiden Jokowi, dalam pidatonya pada acara Climate Adaptation Summit tanggal 25 Januari 2021, menyerukan negara harus mengambil langkah yang luar biasa untuk menanggulangi permasalahan krisis iklim. Ia juga menyebutkan, petani dan nelayan menjadi salah satu pihak yang terdampak perubahan iklim, sehingga mendorong negara harus melakukan aksi adaptasi dan mitigasi iklim yang serius. Indonesia pun dikatakan telah memutakhirkan NDC (Nationally Determined Contribution) untuk meningkatkan ketahanan kapasitas dan adaptasi. 

Kenyataannya, NDC Indonesia masih belum ambisius, di mana target pengurangan emisi karbon masih jauh dari mencukupi untuk mencegah kenaikan temperatur global. Apabila semua negara di dunia menerapkan target NDC Indonesia, maka kenaikan temperatur global akan mencapai 4 derajat Celcius [2].

Komitmen iklim Indonesia pun bertentangan dengan pengesahan UU Minerba dan UU Cipta Kerja yang semakin menomorduakan perlindungan lingkungan dengan dalih pertumbuhan ekonomi. Bencana banjir yang terjadi di Kalimantan Selatan seharusnya menjadi peringatan bagi pemerintah akan potensi dampak dari kedua peraturan ini. Bentuk deforestasi yang didorong oleh perluasan perizinan tambang dan perkebunan skala besar (industri sawit dan bubur kertas) dan penebangan telah berdampak pada DAS Barito. Bentang alam semakin sensitif terhadap peristiwa iklim seperti kekeringan dan curah hujan yang intensif. Terutama selama periode La Nina dengan curah hujan intensitas tinggi, daerah yang gundul dengan sistem drainase yang disalurkan di dalam perkebunan tidak dapat menyerap air dalam jumlah besar karena fungsi penyerapan kurang. Perlu komitmen kuat yang ditunjukkan dalam bentuk UU Cipta Kerja dan turunannya.

Mannequins Protest in Jakarta. © Jurnasyanto Sukarno / Greenpeace
Puluhan manekin dipasang untuk mewakili aktivis publik yang tidak bisa menggelar aksi massa saat Pandemi Covid-19 di depan gedung DPR di Jakarta. Greenpeace Indonesia menggelar aksi kreatif dengan menggunakan boneka untuk mengirimkan pesan-pesan yang terkumpul dari masyarakat kepada anggota parlemen yang ingin mengesahkan RUU Omnibus law kontroversial yang secara mutlak akan mereduksi demokrasi, hak warga negara dan pekerja. Pengesahan RUU tersebut akan merusak lingkungan secara masif dan hanya menguntungkan korporasi dan investor.

Kegiatan ekstraksi bahan bakar fosil batu bara pun malah mendapat banyak keistimewaan untuk semakin merambah hutan kita. Indonesia saat ini masih sangat bergantung pada bahan bakar fosil, khususnya sektor energi. Batu bara masih mendominasi penyediaan listrik di Indonesia sebesar 64%, atau 28 GW, dan diperkirakan menghasilkan emisi sekitar 168 juta ton CO2 [3]. Selain itu, menurut RUPTL 2019-2028, Pemerintah Indonesia pun berencana untuk menambah kapasitas PLTU batu bara sebesar dua kali lipat dalam sepuluh tahun mendatang, yaitu 27 GW. Jumlah emisi karbon pun akan semakin meningkat dan semakin menjauhkan Indonesia dari target NDC-nya.

Open-pit Coal Mine in Indonesia. © Kemal Jufri / Greenpeace
Tambang batu bara terbuka di Kertabuana, Kalimantan Timur, Kalimantan, Indonesia. Menurut laporan Greenpeace, sebagian besar perusahaan pertambangan batu bara di Indonesia menggunakan metode penambangan terbuka untuk operasi mereka.

Dengan membangun PLTU batu bara baru, emisi karbon yang akan dihasilkan juga akan terkunci hingga 40 tahun mendatang atau selama masa operasi PLTU. Hal ini juga bertentangan dengan target Perjanjian Paris, di mana IPCC mendorong semua negara untuk mengurangi 80% PLTU existing di tahun 2030 untuk dapat mencapai target 1,5 derajat Celcius.

Coal Power Plants in Suralaya, Indonesia. © Ulet  Ifansasti / Greenpeace
Pemandangan PLTU Suralaya di kota Cilegon, Provinsi Banten, Indonesia.

Ketidakseriusan pemerintah dalam melaksanakan komitmen iklim akan menyumbang kerugian akibat bencana iklim yang dampaknya langsung dirasakan oleh masyarakat Indonesia. Jika Presiden Jokowi memang serius ingin menyelamatkan masyarakat yang rentan terhadap krisis iklim, maka pemerintah pun harus membuktikan komitmen iklimnya. Target penurunan emisi karbon yang lebih ambisius harus diterjemahkan dalam komitmen politik Jokowi dan juga pada kebijakan sektoral pemerintahnya, sehingga tidak tercipta kesenjangan antara strategi besar pembangunan dengan turunan kebijakan dan implementasinya.