Pemerintah mengklaim program food estate atau lumbung pangan baru merupakan resep mengantisipasi ancaman krisis pangan akibat pandemi Covid-19. Kemunculan program ini mengkhawatirkan banyak pihak, pasalnya ini bisa dijadikan alasan baru pemerintah untuk membuka hutan sehingga mendorong deforestasi baru. Setelah lahan di Kalimantan dan Sumatera habis, kini Papua menjadi target pembangunan perkebunan skala industri besar. Hal tersebut mengancam keanekaragaman hayati dan meminggirkan masyarakat asli Papua yang selama ini hidup ketergantungan pada hasil alam hutan.

Pemerintah mencanangkan food estate sebagai salah satu program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang bertujuan untuk mengantisipasi krisis akibat pandemi Covid-19. Presiden Joko Widodo juga menempatkan food estate sebagai salah satu agenda Program Strategis Nasional (PSN) 2020-2024. 

Untuk menyukseskan PEN, pemerintah mengalokasikan pembiayaan dari negara sekitar Rp 356,5 triliun. Hal ini justru membebani keuangan negara, per Oktober 2020, rasio utang terhadap pendapatan domestik bruto (PDB) telah mencapai 37,84 persen atau naik sekitar 1,44 persen dibanding September 2020.

Pemerintah menetapkan lokasi proyek food estate di empat provinsi yaitu, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, dan Papua. Salah satu lahan yang akan digunakan untuk food estate adalah eks Proyek Lahan Gambut (PLG) satu juta hektar yang sudah pernah mengalami kegagalan di Kalimantan Tengah dan Papua.

Sejak awal rencana pengembangan food estate, telah mendapat penolakan dari berbagai kalangan dan pakar. Klaim Pemerintah proyek ini berbeda dari sebelumnya dan lebih memprioritaskan kepentingan masyarakat. Namun, belajar dari kegagalan proyek food estate semasa rezim sebelumnya, belum ada penjelasan kepada publik secara komprehensif soal rencana dan rasionalitas dibalik pengembangan usaha pertanian skala luas tersebut. Publik perlu mendapat penjelasan dan keterbukaan, mengingat proyek ini tergolong rakus lahan, sehingga perlu ditilik lebih dalam. 

Prioritas program food estate sebagai bagian dari PEN tentu sangat mengkhawatirkan. Selain rekam jejak masa lalu yang merusak lingkungan, kebijakan ini diambil secara sepihak oleh pemerintah (top down) tanpa dasar aspirasi masyarakat dan ahli atau tidak sesuai realita dan kebutuhan masyarakat.

Meningkatkan Risiko Deforestasi

Rerata luas deforestasi Indonesia antara 2001-2019 sekitar 500 ribu hektare. Pada 2019, tutupan hutan primer tersisa sekitar 86 juta hektar, atau berkurang sekitar 9,6 juta hektar sejak 2001. Hilangnya tutupan hutan primer ini dipicu oleh sejumlah aktivitas pembangunan dan investasi. Terutama aktivitas konversi hutan menjadi lahan perkebunan monokultur seperti perkebunan kayu akasia dan perkebunan kelapa sawit.

Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 2019, angka deforestasi Indonesia belum mengalami penurunan secara signifikan tercatat seluas 325 ribu hektar, sementara tahun sebelumnya deforestasi sekitar 341 ribu hektar. Namun, jika dilihat angka per provinsi, wilayah kaya hutan seperti tanah Papua justru angka deforestasi mengalami peningkatan. Setidaknya sekitar 1,4 juta hektar hutan alam tersisa di lahan perkebunan sawit di tanah Papua, dan semuanya menunggu untuk dikonversi jadi perkebunan sawit. Bila proyek ini tetap dijalankan, akan ada sekitar 1,4 juta hektar deforestasi terencana di tanah Papua. 

Pengembangan food estate ini semakin membuka peluang peningkatan deforestasi, pasalnya lokasi proyek ini  akan berada di luar izin perkebunan sawit yang telah ada saat ini. 

Pada 26 Oktober 2020, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menerbitkan Peraturan Menteri No. P.24/Menlhk/Setjen/KUM.1/2020. Peraturan menteri ini lahir untuk mengakomodir proyek food estate yang berasal dari kawasan hutan.

Terbitnya Peraturan Menteri LHK No. P.24 tersebut semakin mengukuhkan ancaman deforestasi skala luas akibat proyek food estate. Bukan hanya itu, jika kita lihat materi muatan peraturan menteri ini, terdapat sejumlah ketentuan yang tidak sinkron sehingga berpotensi membuka ruang korupsi baru, akibat luasnya interpretasi tiap norma dalam beleid tersebut. 

Salah satu inkonsistensi Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) mengenai kebijakan food estate seperti terlihat pada Pasal 1 angka 10. Pasal tersebut berbunyi sebagai berikut  “usaha pangan skala luas … di suatu kawasan hutan.” Penekanan pada frasa “di suatu kawasan hutan,” dapat diinterpretasikan bahwa proyek food estate akan dilaksanakan di kawasan hutan. Kawasan hutan menurut Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Kehutanan yaitu wilayah tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. 

Keberadaan food estate dalam kawasan hutan ini terlihat dengan adanya terminologi baru yang dimunculkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Kehutanan No. P.24 (Permen LHK P.24) yaitu Kawasan Hutan Ketahanan Pangan (KHKP). Namun, pada Pasal 1 angka 7 justru muncul terminologi Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan (PPKH). Yang dimaksud dengan PPKH yaitu perubahan kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan, yang dilakukan lewat mekanisme Pelepasan Kawasan Hutan (PKH). Pelepasan kawasan hutan yaitu perubahan peruntukan kawasan hutan yang dapat dikonversi menjadi bukan kawasan hutan. Adanya frasa “bukan kawasan hutan” justru bertolak belakang dengan definisi food estate yang dimaksud oleh Pasal 1 angka 10 Permen LHK P.24.  

Ancaman serius lainnya yaitu potensi deforestasi pada lokasi KHKP. Menurut Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya Bakar, lokasi KHKP diperbolehkan di kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung. Masalahnya Menteri Siti menjadikan izin KHKP sekaligus berfungsi seperti izin pemanfaatan hasil hutan kayu sehingga tidak ada pengecualian bagi hutan lindung. 

Bila dicermati lebih lanjut, hutan lindung untuk food estate menurut Menteri Siti adalah hutan lindung yang tidak sepenuhnya berfungsi lindung sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Apa yang dimaksud dengan “…tidak sepenuhnya berfungsi lindung?” Jika berdasarkan konsideran Permen LHK P.24, salah satu rujukannya Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 (PP 6/2007). Tidak ada satupun klausul mengenai hutan lindung yang tidak sepenuhnya berfungsi lindung, dalam peraturan pemerintah tersebut. PP 6/2007 hanya membagi tiga fungsi pokok hutan yaitu hutan konservasi, hutan lindung, dan hutan produksi. 

Perihal hutan lindung, PP 6/2007 secara tegas membatasi lingkup pemanfaatan kawasan hutan lindung. Adapun bentuk usaha yang dapat dilakukan dalam kawasan hutan lindung menurut Pasal 24 peraturan a quo yaitu a. budidaya tanaman obat; b. budidaya tanaman hias; c. budidaya jamur; d. budidaya lebah; e. penangkaran satwa liar; f. rehabilitasi satwa; atau g. budidaya hijauan makanan ternak. 

Apabila bentuk usaha food estate masih tergolong dalam lingkup PP 6/2007, maka ini dapat diterima. Alih-alih demikian, pernyataan Menteri Siti malah membuka ruang pemanfaatan kayu pada hutan lindung, yang diduga bersembunyi di balik terminologi yang belum ada rujukannya.

Jika food estate sebagaimana dimaksud Menteri LHK dalam Permen LHK P.24 tersebut tetap terlaksana, maka ada sekitar 3 juta hektar hutan alam terancam. Angka ini tersebar di Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, dan Papua. 

Misal di Papua terdapat tiga kabupaten target pengembangan food estate yang direncanakan Kementerian LHK yaitu di Merauke, Mappi, dan Boven Digoel yang luasnya lebih dari 2 juta hektar. Berapa tutupan hutan alam yang terancam di lokasi tersebut? Berdasarkan kriteria yang diatur dalam P.24/2020, maka di tiga kabupaten tersebut terdapat tutupan hutan alam seluas 290 ribu hektar pada hutan lindung, 2 juta hektar pada hutan produksi, 858 ribu hektare pada HPK dan 607 ribu hektare pada APL. Dan sekitar 2 juta diantaranya akan dialokasikan untuk food estate. Jika ditotal dengan luas perkebunan sawit yang akan dibuka, akan ada sekitar 50 kali luas Jakarta deforestasi terencana di tanah Papua.

Untuk pengembangan food estate, pemerintah katanya berencana mengembangkan model pertanian yang bersahabat dengan hutan, seperti agroforestry, silvopasture, atau paludiculture khusus di lahan gambut. Namun, perlu diingat bahwa agroforestry bukan untuk pangan primer. Apalagi adanya ruang pemanfaatan hasil hutan kayu, justru menempatkan proyek food estate sebagai salah satu ancaman terbesar hutan alam Indonesia.

Perusahaan atau Masyarakat

Menteri Siti Nurbaya membuka ruang bagi masyarakat atau perusahaan mengakses food estate. Sejauh mana keterlibatan masyarakat? Jika kita lihat fakta pertanian di Indonesia, jumlah petani di Indonesia mengalami penurunan yang disebabkan rendahnya daya tawar sektor pertanian. Terutama bagi generasi muda, mereka yang serius bertani justru lahannya digusur oleh pemerintah. 

Jika melihat peluang dan target yang ingin dicapai pemerintah, memberikan akses kepada perusahaan adalah cara yang efisien. Seperti yang terjadi di Sumatera Utara, sejumlah perusahaan telah menanamkan modal mereka untuk pengembangan food estate atau seperti pengembangan food estate di Merauke oleh rezim sebelumnya. Proyek food estate di Merauke, yang dikenal sebagai Merauke Integrated Food Estate & Energy, hampir semuanya dioperasikan oleh perusahaan. Masyarakat justru menjadi pihak yang terpinggirkan. 

Bagi orang asli Papua, yang memiliki tradisi berburu meramu. Dan melihat hutan sebagai ibu, bukan objek eksploitasi, model food estate ini tidak akan cocok. Jika proyek pemerintah ini tetap terlaksana di tanah Papua, sangat mungkin pemerintah akan memberi porsi alokasi lebih besar pada perusahaan, dan masyarakat lagi-lagi hanya akan jadi penonton.

Industrialisasi Pangan Bukan Solusi

Persoalan pangan seharusnya tidak dilihat sebagai proses industrialisasi. Pandemi Covid-19 telah mengajarkan kita bahwa berdaulat secara pangan jauh lebih baik, terutama bagi masyarakat adat. Selain itu akan mengurangi ketergantungan pada hasil industri pangan. Pemerintah semestinya melakukan penguatan dan memberi ruang bagi orang asli Papua dan masyarakat adat di daerah-daerah lain untuk mengembangkan pangan yang sesuai dengan ciri pangan lokal mereka.

Menggagas food estate sebagai jalan keluar dari situasi krisis, ibarat memberi obat sembelit kepada orang migrain. Food estate tidak akan menjawab kebutuhan untuk keluar dari krisis ekonomi. Justru APBN akan semakin terbebani oleh proyek food estate, tanpa ada jaminan keberhasilan.

Besarnya potensi mudharat dibanding manfaat dari pengembangan food estate ini, alangkah baiknya pemerintah meninjau ulang proyek ini. Jika Indonesia ingin berdaulat secara pangan atau mengurangi ketergantungan impor. Food estate bukan jawaban. Apabila pemerintah tetap ingin mengembangkan industri pangan, maka lakukan di lahan-lahan di luar kawasan hutan dan tidak lagi memiliki tutupan hutan. Kemudian memberdayakan petani serta masyarakat adat dan melindungi mereka dari penggusuran lahan yang atas nama pembangunan.

Syahrul Fitra adalah Juru Kampanye Hutan di Greenpeace Indonesia