Penangkapan Edhy Prabowo, Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) oleh KPK menguak pertanda keculasan dalam tata kelola sumberdaya ikan dan laut saat ini.  Perkara yang disangkakan diduga terkait tindak pidana korupsi dalam pelegalan kembali ekspor benih lobster yang tercantum dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12 Tahun 2020. Dalam kebijakan pemerintah tersebut, terdapat sejumlah kejanggalan yang mengancam keanekaragaman hayati ekosistem laut. 

Saya tidak akan membahas lebih dalam soal kasus penangkapan itu, tetapi mari kita berfikir lebih jauh terhadap kejanggalan kebijakan serta dampak dari pelegalan kembali ekspor benih lobster ini. Apakah kalian tahu kejanggalan itu? Siapa saja yang terdampak? Mensejahterakan nelayan? Atau malah merusak alam? Mari simak penjelasan di bawah ini.

Ancam Kepunahan Lobster

Lobster memang bernilai ekonomi tinggi. Namun akan terancam punah jika ekspor tetap dilegalkan apalagi tanpa integritas dalam pengendalian dan pengawasannya. 

Susi Pudjiastuti, mantan Menteri KKP dalam sebuah forum pernah menyampaikan kegelisahannya pada ancaman ekosistem laut. “Benih lobster adalah plasma nutfah yang harus dijaga bukannya malah diperjualbelikan,” ungkap Susi. [1] 

Kiat pemerintah untuk membuka kembali keran ekspor benih lobster dengan dalih peningkatan pundi devisa negara telah banyak mengundang kontroversi. Tugas negara yang seharusnya memastikan ekosistem lobster melimpah di alamnya serta menjaga agar spesiesnya tidak rapuh, kini malah sebaliknya. 

Stok lobster di laut kian menipis karena Indonesia belum serius menerapkan pola penangkapan dan budidaya pembesaran lobster yang berkelanjutan. Aktivitas penangkapan dan ekspor benih yang masif berlangsung tanpa pengawasan, untuk jangka panjang dapat menyebabkan penurunan stok benih di alam secara signifikan.

Rentan mati, malah dieksploitasi

Perlu diketahui bahwa di laut bebas, lobster yang ditetaskan oleh induknya hanya memiliki peluang hidup kurang dari 1 persen. Maka dari itu, eksploitasi berlebihan terhadap benih lobster di alam akan mengancam populasinya. 

Mengambil kasus pada perairan Kabupaten Wonogiri dalam penelitian Yusli et al 2020, analisis laju eksploitasi  lobster batu jantan dan betina di lokasi tersebut mencapai 0.77 dan 0.78. Hal itu menunjukan bahwa laju  eksploitasi lobster batu di perairan Kabupaten Wonogiri  telah mengalami eksploitasi berlebih. Padahal, untuk  memastikan keberlanjutan tingkat eksploitasi stok perikanan direkomendasikan sekitar 0.5 saja. Hal ini tidak hanya merugikan ekosistem laut, namun juga kesejahteraan nelayan. [2] 

Selain itu dari segi ekonomi, mengizinkan ekspor benih lobster sama saja dengan mengurangi kesempatan nelayan lokal dalam pengembangan budidaya lobster nasional dan menaikkan nilai tambah lobster serta hasil pendapatannya. Bayangkan saja, lobster  yang berukuran 400 gr hingga 500 gr harga per kilogram bisa mencapai 600 ribu hingga 800 ribu. Sementara jika diambil dan diekspor bibitnya saja kita hanya mendapatkan harga 30 ribu. Bukankah dalam segi ekonomi itu merugikan? 

Kekayaan maritim sejatinya dapat memberantas kemiskinan di Indonesia. Namun jika hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu dengan tindakan koruptif dan memacu eksploitasi berlebih bukankah hanya akan merusak ekosistem serta merugikan masa depan bangsa?

Pemerintah seharusnya menjaga alam dan memacu kemampuan masyarakat dalam budidaya lobster yang lebih lestari. Bukan malam mengekspor bayi lobster ke luar negeri.

Ditulis oleh Ulfah M. Hikmah, Mahasiswi Universitas Airlangga yang sedang melakukan magang di Greenpeace Indonesia.

[1] www.indozone.id/amp/gms7RJN/edhy-ditangkap-kpk-susi-pudjiastuti-pernah-ingatkan-soal-ketamakan-berujung-kepunanan

[2] http://ithh.journal.ipb.ac.id/index.php/jpsl/article/view/31435

Hentikan Perbudakan Modern di Laut!

Tak jarang ABK Indonesia menjadi korban perbudakan modern di kapal perikanan asing jarak jauh. Bagaimana pelindungan Pemerintah?

Ikut Beraksi