Apa yang terlintas ketika kalian mendengar ‘Papua’? Ada banyak hal tentunya, tetapi bagi saya yang pertama terlintas di kepala ketika mendengar ‘Papua’ adalah wilayah yang memiliki kekayaan alam melimpah dengan tingkat keanekaragaman hayati tinggi. Salah satu kekayaan alam yang melimpah itu adalah; kawasan hutan yang luas yang belum terjamah (paradise forest), walaupun kini tidak lagi, karena semakin terancam oleh ekspansi perkebunan kelapa sawit yang membuka hutan secara besar-besaran.

Aerial view of Papua province, Indonesia’s last intact forest frontier. Smoke rises from long rows of smouldering debris from recent forest clearance in the PT Dongin Prabhawa oil palm concession in Mappi district, Papua. The concession is controlled by the Korindo Group.

Baru-baru ini, Greenpeace International  dan Forensic Architecture membeberkan temuan terkait dugaan pembakaran hutan yang sengaja dilakukan perusahaan asal Korea Selatan: Korindo.  Dalam laporan tersebut dijelaskan bahwa dalam kurun tahun 2001-2019, sekitar 57.000 hektar hutan telah dibuka untuk menjadi lahan perkebunan kelapa sawit.

Derita Masyarakat Adat Papua

Hutan tak hanya menjadi habitat bagi banyak spesies flora dan fauna, namun juga menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat adat Papua secara turun temurun. Salah satu suku yang terdampak dari pembukaan hutan dengan pembakaran disengaja tersebut adalah suku Mandobo dan Malind yang tinggal di pedalaman Papua. Seiring dengan geliat ekspansi perkebunan kelapa sawit, semakin banyak hutan adat yang semakin terkikis. Padahal menurut Undang-undang Perkebunan dan Undang-undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), praktik pembakaran untuk pembukaan lahan adalah tindakan ilegal di Indonesia.

Dilansir dari BBC Indonesia, Petrus Kinggo, ketua marga Kinggo dari Suku Mandobo menjelaskan bagaimana masyarakat adat Papua sangat menggantungkan hidupnya dari hutan, contohnya ketika mencari makan setiap hari. Menurut Petrus, korporasi menggunakan berbagai cara agar mendapatkan tanah dari kendali masyarakat adat. Misalnya dengan cara memberikan kompensasi biaya pendidikan, pembangunan sumur bersih, genset dan lain sebagainya. Namun dampak dari penghancuran hutan tersebut justru semakin merugikan masyarakat adat di Papua. Dengan dalih legalitas, Korindo merasa bahwa tak ada hak masyarakat adat yang menjadi korban lantaran mereka melakukannya sesuai dengan hukum yang berlaku.

Lindungi Hak Masyarakat Adat

Skandal ini mencerminkan bahwa masyarakat adat bukan menjadi prioritas negara yang seharusnya dilindungi. Praktik pembakaran oleh Korindo belum tersentuh hukum, ditambah lagi,  kehadiran Omnibus Law Undang-undang Cipta Kerja menunjukkan ketidakseriusan pemerintah Indonesia dalam melindungi hutan serta mencegah kasus pembakaran hutan di Indonesia terus terjadi.

UU Cipta Kerja tak lagi menetapkan luas minimal kawasan dalam bentuk presentasi. UU ini juga melakukan penyederhanaan perizinan berusaha pada perizinan pemanfaatan hutan. Dari sebelumnya ada 14 jenis izin menjadi 1 jenis izin yaitu perizinan berusaha pemanfaatan hutan. Perizinan berusaha meliputi kegiatan pemanfaatan kawasan hutan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, pemanfaatan hasil hutan kayu, pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu.

Sungguh ironi bukan? ketika pemerintah sendiri justeru membuat  undang-undang yang memperlemah perlindungan lingkungan. Mau berapa banyak masyarakat adat yang harus kehilangan tempat tinggal jika hal ini terus dibiarkan?

Tandatangani petisi ini, berikan suaramu untuk mencegah lebih banyak lagi hutan yang dibakar dengan sengaja. Suara yang kamu berikan juga membantu melindungi masyarakat adat di Papua. 

Ditulis oleh Thalitha Yuristiana, Mahasiswi UPN Veteran Jakarta yang sedang melakukan magang di Greenpeace Indonesia

Saya Bersama Hutan Papua

Saat ini Hutan Papua beserta isinya sedang dalam ancaman yang besar. Kami butuh suaramu untuk lindungi hutan alami terakhir di Indonesia.

Ikut Beraksi