PLTU Batu Bara Suralaya di Cilegon, Provinsi Banten.

Undang-Undang No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Omnibus Law) telah bermasalah sejak awal pembahasan. Tidak hanya menutup diri dari aspirasi masyarakat, muatan omnibus law telah mengebiri sejumlah aturan terkait perlindungan lingkungan hidup karena hanya mengedepankan kepentingan bisnis dan investasi semata. Sejumlah elemen masyarakat menilai penyusunan dan pembahasan tidak transparan bahkan pada tahap akhir pengesahan pun undang-undang tersebut mengalami perubahan hingga soal kesimpangsiuran draf asli yang beredar di publik. Rentetan kontroversi di masa pandemi ini kemudian menimbulkan tanya di masyarakat soal siapa yang mendapatkan keuntungan lebih banyak dari terbitnya UU Cipta Kerja? 

Hak Istimewa (Privilege) bagi Pengusaha Batu Bara dalam UU Cipta Kerja dan UU Minerba

Salah satu kepentingan yang paling mencuat yakni terdapat pada sektor energi dan sumber daya. Hal ini tercermin dari pemberian keistimewaan (privilege) yang diberikan kepada industri batu bara. Para pengusaha tambang dapat menikmati bebas bayar royalti hingga 0 (nol) persen, bila meningkatkan nilai tambah pada komoditas batu baranya. 

Pemerintah menyatakan kebijakan bebas bayar royalti bertujuan untuk mendorong hilirisasi. Namun timbul pertanyaan besar, sebab ketentuan terkait hal ini akan diatur lebih lanjut oleh Peraturan Pemerintah (PP). Padahal, PP adalah regulasi yang sewaktu-waktu bisa berubah dan atau disesuaikan berdasarkan penilaian pemerintah pusat sendiri, sehingga tidak memberi kepastian hukum. Kondisi ini malah membuka celah terjadinya konflik kepentingan atau korupsi birokrasi antara pengusaha dan pemerintah. 

Hilirisasi di industri batubara tentu menjadi keputusan yang fatal. Sebab, pengerukan batu bara  sesungguhnya telah melebihi target yang ditetapkan dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). Menurut catatan, Indonesia masih menjadi salah satu eksportir batu bara terbesar di dunia, padahal hanya memiliki cadangan batu bara sebesar 2.2 persen dari total cadangan dunia. Tentunya, perlu perhitungan yang matang agar sumber daya ini tidak dikeruk habis hanya untuk mengakomodir kepentingan bisnis segelintir pengusaha batu bara.

Selain Omnibus Law, niat pemerintah untuk menciptakan iklim kepastian berusaha diwujudkan dengan membentangkan karpet merah bagi industri pertambangan. Hal ini terjadi setelah berlakunya Undang-Undang No 3 tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba).  Tidak cukup hanya membebaskan pembayaran royalti, pada UU Minerba pasal 47, pemerintah juga mengatur jaminan izin usaha seumur hidup bagi perusahaan tambang yang melakukan nilai tambah. Artinya, izin usaha pertambangan tidak lagi dibatasi hanya 20 tahun. Melalui hal ini, pemerintah hendak mengobral insentif dengan memberi jangka waktu eksploitasi yang semakin panjang bagi industri batu bara. 

Konsekuensinya, waktu operasional yang semakin lama tentu akan mendorong industri batu bara untuk menambah luas wilayah eksplorasi yang menjadi lebih masif. Kemudahan akan hal ini pun juga diatur pemerintah pada Pasal 83 UU Minerba. Undang-undang sebelumnya yang mengatur maksimal wilayah operasional hanya 15 ribu hektar, kini dapat diperluas tanpa menyebutkan batasan maksimal. Pembatasan dan perpanjangan luas wilayah akan sepenuhnya diatur berdasarkan hasil evaluasi pemerintah. 

Salah satu perusahaan yang sudah menikmati kebijakan ini adalah PT Arutmin Indonesia milik Bakrie Grup. Setelah habis kontrak pada tanggal 1 November 2020 kemarin, PT Arutmin kini bebas menikmati perpanjangan kontrak dengan memiliki total luas wilayah 57 ribu hektare di dataran pulau Kalimantan.


Kualitas udara di Jakarta buruk karena tingginya polusi dari lalu lintas dan pembangkit listrik tenaga batu bara yang mengelilingi Jakarta.

Keberpihakan negara yang semakin jelas melalui RPP Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Minerba

Sebagai turunan dari UU Minerba, pemerintah membuat Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Minerba. Selaras dengan peraturan induknya, RPP ini dibuat didesain untuk semakin memfasilitasi kemudahan bagi pengusaha batu bara untuk melakukan hilirisasi. Hal pertama dilihat dari hadirnya pasal yang memuat satu klasifikasi baru pemanfaatan batu bara. Tepatnya, pasal 116 yang berpotensi menambah kemudahan bagi para pebisnis, yakni aturan membangun PLTU batu bara Mulut Tambang, untuk mendapatkan keistimewaan dalam UU Minerba dan UU Cipta Kerja.  

Hal ini sangatlah ironi, sebab kehadiran PLTU tersebut berada di lokasi tambang tentunya malah menguntungkan para pengusaha batu bara, karena dapat menjual listrik langsung dari PLTU tersebut. Padahal dalam empat tahun terakhir tren global menunjukkan penurunan jumlah pembangunan PLTU batu bara yang baru, Indonesia justru akan menambah PLTU sebanyak- banyaknya untuk menggenjot pemanfaatan batu bara.

Kedua, terdapat celah yang bisa dimanfaatkan pebisnis dalam pasal 117 di RPP Minerba, yaitu pengusaha tambang diperbolehkan untuk melakukan kerja sama pada proses hilirisasi. Hal ini seolah memberi “jalan pintas” bagi pebisnis batu bara yang ingin melakukan penambahan nilai demi mendapatkan berbagai keistimewaan, tetapi enggan mengeluarkan banyak ongkos. Hanya dengan melakukan investasi sebanyak 25 persen pada perusahaan lain yang membantu melakukan proses pengembangan dan pemanfaatan batu bara, maka para pengusaha akan mendapatkan keistimewaan dalam UU Minerba. 

Berbagai keistimewaan yang diberikan pemerintah ini justru memperkuat dominasi energi kotor batu bara dalam bauran energi dalam negeri dan semakin mendorong laju eksploitasi batu bara berlebih sehingga menutup ruang bagi energi terbarukan.

Batu Bara Digolongkan Sebagai “Energi Baru” dalam RUU Energi Baru dan Terbarukan   

Terkait energi terbarukan, upaya pengembangan dan pemanfaatan batu bara yang diatur RPP ini juga sangat erat kaitannya dengan RUU Energi Baru dan Terbarukan (EBT). Lewat RUU yang tengah disusun oleh Pemerintah ini, publik akan dibuat terkecoh dengan istilah “energi baru” ini.

Misalnya saja, upaya pengembangan batu bara yang disebutkan dalam RPP pada pasal 116. Batu bara tercairkan (liquefied coal) dan batu bara tergaskan (gasified coal), keduanya malah dimasukkan ke dalam kategori “energi baru” dalam RUU EBT.  Lewat aturan ini, upaya pengembangan batu bara tersebut terkesan memiliki peran ganda. Selain mengantarkan para pengusaha untuk mendapatkan keistimewaan dalam UU Minerba, batu bara dapat pula dikategorikan sebagai bagian dari upaya untuk mencapai target bauran EBT sebesar 2 persen pada tahun 2025.

Tentunya upaya ini akan semakin menjauhkan Indonesia dari upaya pemanfaatan energi terbarukan yang sebenarnya. Hal tersebut semakin menegaskan bahwa energi masa depan yang diinginkan oleh pemerintah sebenarnya tidak jauh dari batu bara.


Pelemahan KPK sebagai pelengkap kelanggengan industri batu bara

Indikasi energi masa depan Indonesia yang terlalu bertumpu di sektor batu bara menjadi ancaman saat UU Nomor 19 Tahun 2019 (perubahan UU KPK) disahkan. Pasalnya riset Indonesia Corruption Watch (ICW) menemukan bahwa korupsi paling besar 2019 terjadi di sektor pertambangan meski jumlah kasus korupsi yang muncul hanya sedikit. Namun, nilai kerugian negara yang ditimbulkan mencapai angka triliunan rupiah, paling besar dibanding korupsi di sektor-sektor lain. 

Untuk itu, KPK melakukan pembenahan melalui Korsup Minerba (Koordinasi dan Supervisi Pertambangan Mineral dan batu bara). Perbaikan tata kelola dan pengawasan KPK  telah  berhasil memangkas hampir 30 persen izin pertambangan yang tumpang tindih dan tidak patuh aturan. Selain itu, KPK juga berhasil meningkatkan penerimaan PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) pasca adanya Korsup Minerba.

Namun disaat KPK tengah fokus dalam mencegah dan menindak korupsi di sektor sumber daya alam, pemerintah dan DPR merevisi UU KPK. Hal ini dinilai oleh banyak pegiat anti-korupsi telah memperlemah kewenangan dan menghilangkan independensi. Sebab, kedudukan lembaga anti-rasuah ini menjadi rumpun lembaga eksekutif yang tentu bertanggung jawab kepada Presiden melalui Dewan Pengawas. 

Lemahnya KPK diperparah dengan dihapusnya pasal 165 dalam UU Minerba yang lama terkait sanksi pidana bagi pihak yang mengeluarkan izin usaha pertambangan (IUP) secara sembarangan. Sehingga, usaha pencegahan dan penindakan kasus korupsi di sektor pertambangan menjadi semakin sulit dilakukan.Maka, misi pemerintah membangkitkan industri ekstraktif ini terlihat dalam rangkaian revisi UU Minerba dan terbitnya UU Cipta Kerja serta RUU EBT yang tujuannya hanya melanggengkan dan memperkaya industri batu bara. Jika para pengusaha diberikan prioritas dan keleluasaan untuk terus mengeruk batu bara tanpa batas, maka potensi bencana alam akibat kerusakan lingkungan serta krisis iklim sulit dicegah. Keharusan untuk melakukan transisi energi pun semakin diabaikan bahkan disaat tenggat waktu yang semakin tipis.

***