Siang itu terik matahari terasa sangat menyengat di pertengahan September 2019. Kabut pekat asap di Banjarmasin cukup tebal dan sudah beberapa minggu menyelimuti kota. Kami menggunakan sistem informasi geografis atau geographic information system (GIS) untuk mengecek lokasi dimana titik api paling berasal yang menyumbang kabut asap pekat di kota ini. Ternyata lokasinya berada di arah barat laut Banjarmasin, untuk menuju kesana kita harus menempuh jalur darat selama lima jam.

Pukul 4 pagi kami bergegas menuju lokasi. Setibanya disana, ternyata lokasi lahan terbakar berada di wilayah konsesi PT. Global Agung Lestari (PT. GAL). Lokasi yang tidak bisa ditembus oleh kendaraan, memaksa  kami menggunakan perahu dan harus menempuh medan setapak kaki sekitar 2 jam untuk sampai di titik api. Semakin mendekati pusat kebakaran, kabut asap terasa semakin pekat dan membuat kami sulit untuk bernafas.

“Pantas saja kebakaran lahan ini semakin membesar dan lahan perusahaan ini ternyata dibiarkan terbengkalai,”  pikirku.

Melalui drone kami bisa melihat luas lahan yang terbakar di dalam konsesi ini. PT. GAL merupakan salah satu perusahaan sawit yang telah terbukti membiarkan kebakaran terjadi di dalam konsesinya.Kanal yang dibuat di perbatasan konsesi membuat air mengalir sehingga lahan gambut ini menjadi kering. 

Sejumlah lahan PT. GAL beroperasi di atas lahan gambut, kebakaran di konsesi ini menghasilkan asap yang terus berlangsung selama berminggu-minggu sehingga mengganggu kesehatan warga sekitar dan kemungkinan mereka mengalami masalah pernapasan cukup rentan. Sayangnya sampai saat ini perusahaan tersebut belum mendapatkan ganjaran hukum yang setimpal atas kelalaiannya dan akibat dari kebakaran lahan bagi masyarakat di sekitar konsesi. PT. GAL bukanlah satu-satunya perusahaan yang membiarkan kejadian yang sama terus berulang setiap tahunnya. 

Antara 2015 dan 2019, 4,4 juta hektar lahan telah terbakar di Indonesia. Sekitar 789.600 ha kawasan ini (18 persen) telah terbakar berulang kali. Menurut analisis Greenpeace, hingga saat ini luas bekas kebakaran di dalam konsesi mencapai 1,3 juta hektar. Total 8 dari 10 perusahaan kelapa sawit dengan area terbakar terluas sejak 2015-2019 sampai saat ini belum mendapatkan sanksi dari pemerintah. Pasca karhutla yang hebat di tahun 2015, pemerintah telah berjanji bahwa akan memberlakukan langkah-langkah tegas dan pengawasan ketat terhadap perusahaan agar bertanggung jawab dalam mencegah kebakaran lahan di konsesi mereka. 

“Pengawasan dan penegakan hukum yang lemah seperti ini membuat perusahaan lalai dan terbebas dari tanggung jawabnya dalam menjaga lahan. Tanpa pemberian sanksi, kebakaran lahan seperti ini akan terus terulang”

Saat ini hutan, lahan gambut, dan masyarakat Indonesia menghadapi ancaman baru.  Pemerintah Indonesia menunjuk aktor-aktor dari kalangan asosiasi pebisnis kelapa sawit, bubur kertas dan pengusaha hutan lainnya dalam merancang dan mengesahkan ‘Omnibus Law’ yang berisi berbagai langkah deregulasi dirancang untuk melemahkan perlindungan lingkungan dan menurunkan standar perusahaan dari industri sawit dan hutan tanaman industri. Ini meningkatkan potensi kebakaran di sektor perkebunan lebih besar dari sebelumnya, sebab pertanggungjawaban korporasi untuk menjaga lahannya dari kerusakan lingkungan telah dikurangi bebannya. Berbagai kritik muncul karena UU Cipta Kerja dinilai mengutamakan kepentingan bisnis dengan mengorbankan masyarakat dan lingkungan.

Sudah saatnya kita bersama menentang sebuah kebijakan yang akan terus melanggengkan korporasi untuk membiarkan hutan dan gambut Indonesia terus terbakar. Apa jadinya masa depan anak-anak di Sumatera dan Kalimantan jika semasa hidupnya mereka terus terpapar asap karhutla.

Ayo kita bersama-sama serukan #TolakOmnibusLaw melalui tandatangan di petisi ini: https://act.gp/31qUEEH