#TolakOmnibusLaw

Omnibus Law, undang-undang penuh polemik yang memicu penolakan di berbagai kalangan. Berawal dari rapat paripurna DPR yang akhirnya mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja pada Senin (05/10/20) walaupun terus mendapat penolakan dari berbagai kelompok, DPR dan Pemerintah memutuskan untuk terus lanjut. Sehingga memunculkan respon penolakan masif buruh, penggerak lingkungan, mahasiswa, dan beberapa elemen masyarakat, turun ke jalan. 

Demonstrasi besar terjadi di mana-mana, dan tentu saja memicu pro dan kontra. Tidak hanya di dunia nyata, di media sosial juga masif. Sebenarnya apa yang sedang terjadi? Untuk lebih memahami kenapa begitu banyak yang turun ke jalan, saya membuat survei kecil pada beberapa kawan sesama mahasiswa yang mengikuti aksi dari berbagai kota. Dua di Depok, satu di Jakarta, dan satu lagi di Yogyakarta. Untuk menghindari identifikasi pribadi dan mengingat isu ini masih sensitif, saya tidak akan mengungkapkan identitas lengkap narasumber dalam tulisan ini dan menggunakan inisial dalam penyebutan nama.

Pertama: Mengapa kamu memutuskan turun ke jalan?

UU Omnibus Law Cipta Kerja ini memang sungguh kontroversial sejak awal yang tidak mengherankan membuat banyak orang kesal. Seperti yang diungkapkan, MP, “Gerakan hati yang ngebuat aku turun ke aksi, karna sadar ada suatu hal yang mengganjal dari disahkannya RUU Cipta Kerja ini mulai dari dirancangnya UU tersebut sampai ke isinya,” Ternyata MP mengamati proses pembuatan Undang-undang ini sejak awal, hingga saat disahkan Ia merasa ada yang salah dan harus diluruskan. 

Berbeda dengan, MP, RD lebih menyoroti dampak lingkungan yang akan terjadi. “Semua berawal dari keresahan terhadap UU yang merampas hak lingkungan hidup yang baik dan sehat.” RD sadar, bahwa UU Cipta Kerja membahayakan investasi berkelanjutan di Indonesia, serta membuka peluang korupsi aparat. Ia merasa, jika sampai lolos taruhannya akan sangat besar bagi nasib negeri ini ke depan, menurutnya “Kita bergerak saat ini, atau tidak sama sekali”.

Kedua: Apa yang kamu takutkan terkait disahkannya UU Cipta Kerja?

Sebagian besar ketakutan mereka sama, takut jika disahkannya UU Cipta Kerja bukannya bisa mengubah Indonesia menjadi lebih baik. Malah sebaliknya, kerusakan alam semakin parah dan kesejahteraan masyarakat menjadi ancaman. Misalnya, BA, “Karena upaya percepatan pembangunan serta investasi tapi tidak mementingkan keberlangsungan ekologi atau kehidupan lain di sekitar, akan banyak lagi kebakaran hutan, banjir, dan lainnya,” selain itu persoalan lain yang sangat disorot adalah hilangnya kewajiban kawasan hutan 30%. 

Proporsi besar penolakan adalah substansi terkait ketenagakerjaan. Ironi memang, namanya UU Cipta Kerja, tetapi justru paling membuat khawatir para pekerja atau pencari kerja. Menurut RA, persoalan job security (keamanan dalam bekerja) menjadi krusial,  “Karena perusahaan dapat membuka lowongan untuk kontrak yang tidak permanen,” ungkapnya. 

Ketiga: Apa kamu merasa masa depan akan terancam?

Saat ditanya tentang masa depan, keempat mahasiswa ini menunjukkan solidaritasnya. Mereka memiliki persepsi sama bahwa Indonesia akan terancam masa depannya jika UU ini disahkan. Menurut BA, “Saya lebih takut adalah permasalahan lingkungan akan semakin parah dengan dalih pembukaan lapangan kerja, perusahaan semakin seenaknya hingga merusak keseimbangan ekosistem,” Selain itu, MP, seorang mahasiswi menekankan kekhawatirannya soal aturan cuti dan pesangon, “Aku wanita yang juga suatu hari nanti akan ambil cuti karena hamil,” keluhnya.

Mereka paham, masih banyak orang yang belum menyadari.  RD mengatakan, “Dampak ini mungkin tidak terlalu terasa saat ini, tapi untuk masa depan bagi anak dan cucu kita akan menderita,” Mereka merasa masa depan bangsa dan anak cucu berada ditangan mereka, sehingga mereka berani menyuarakan atas semua ancaman yang akan membuat Indonesia menjadi negara yang dikuasai oligarki.

Keempat: Apakah kamu marah dengan pemerintah?

Demo besar terjadi, api amarah tersulut dan berakhir ricuh di puluhan kota. Menurut RA, pangkal persoalannya adalah proses serba tertutup dan terkesan curi-curi saat pandemi. “Iya, karena dalam proses pengesahannya. Masyarakat tidak dilibatkan secara penuh (tidak transparan),”  Pengesahan RUU Cipta Kerja yang terkesan tergesa-gesa di masa pandemi, dan tidak transparan kepada rakyat membuat mereka semakin marah dengan pemerintah. 

Hal serupa disampaikan MP, “Sangat (marah), mereka tidak mendengarkan kita sebagai rakyatnya padahal RUU Ciptaker ini sudah di tolak dari berbagai lapisan masyarakat dari wanita, buruh, manusia adat, akademis, pemuka agama. Masalah yang lebih urgensi ada di depan mata yaitu Covid-19 tapi malah terkesan “terburu-buru” untuk mengesahkan RUU,” tegasnya.

Kelima: Saat ikut aksi, apakah kamu mengindahkan protokol kesehatan? 

Demonstrasi di tengah kondisi dunia yang sedang tidak baik-baik saja tentu berbeda, dan mereka sangat sadar untuk mengikuti protokol pandemi Covid-19. Bahwa negerinya sedang tidak sehat, maka penting untuk mereka menjaga kesehatan dirinya. Mengindahkan protokol kesehatan yang telah dianjurkan menambah keyakinan bulat mereka untuk tetap berjuang, namun dengan tetap menjaga kesehatan. Seperti yang diungkapkan, RA, “Iya saya sangat mengindahkannya, karena tidak ingin menularkan penyakit kepada keluarga saya. Menggunakan masker hingga 2 lapis, mengenakan lengan panjang dan sarung tangan, serta memaksimalkan penggunaan hand sanitizer,”.

Sama seperti RA, RD juga mematuhi protokol ketat selama ikut aksi “Yang saya lakukan saat aksi menggunakan masker bedah double, menggunakan hand sanitizer, dan face shield,” ungkapnya. Beberapa yang lain juga berusaha menemukan tempat cuci tangan sebisa mungkin. 

Setelah berbicara dengan mereka saya yakin bahwa mereka tidak asal-asalan ikut turun ke jalan. Saat ini negeri kita sedang tidak baik-baik saja, dan mereka menyadari inilah waktunya bergerak; turun ke jalan untuk menyuarakan pendapat. Setelah berbicara dengan mereka, saya makin sadar anak-anak muda ini sangat mencintai Indonesia dengan semangat membara. Meski dilanda kecewa, mereka terus berusaha untuk saling jaga dan mematuhi aturan yang ada. 

Untuk kamu yang membaca sampai akhir, terima kasih. 

Semoga lekas pulih Indonesia!

P.S Jika kamu sependapat dengan kami, tambahkan namamu di sini. Mari bersama kita minta kepada Presiden: Pak Jokowi, dengarkan suara rakyat, batalkan UU Cipta Kerja.

Ditulis oleh Ulfah M. Hikmah, Mahasiswi Universitas Airlangga yang sedang melakukan magang di Greenpeace Indonesia.