Terik. Hampir setiap saat saya memicingkan mata karena teriknya matahari pagi ini. Sesekali saya mencoba berteduh di bawah bayangan gedung-gedung tinggi yang berdiri di sekitaran Bundaran HI ini. Tak jarang pula peluh bercucuran. Membasahi helai pakaian yang menempel di kulit.

Namun ribuan manusia di hadapan saya tampak tetap bersemangat. Mereka berkoar meneriakan “TOLAK PLTU BATUBARA!”, dan juga sorakan-sorakan lainnya yang menyuarakan penolakan terhadap energi kotor dan harapan untuk peralihan menuju energi bersih.

Ribuan pasang kaki tetap melangkah, meski terkadang sesak karena udara yang mereka hirup telah terpapar polusi dari PLTU batubara terdekat di Jakarta. Namun kini ribuan langkah ini terhenti.

Saya menatap mobil komando yang dilengkapi dengan pengeras suara yang berada di bagian paling depan barisan, mencoba mencari informasi kenapa barisan para pejuang ini berhenti. Saya pun kemudian mengalihkan pandangan ke sebelah kiri barisan. Tampak gedung megah berdiri, bertuliskan “Kedutaan Besar Jepang”.

Manusia-manusia yang menyusun barisan panjang karnaval ini mulai bersuara. Mereka menyuarakan penolakan terhadap investasi Jepang untuk pembangunan PLTU batubara. Jepang adalah investor terbesar dalam proyek keistrikan di negeri kita selama ini, dan juga dalam rencana kedepannya. Bersaing dengan China yang berlomba-lomba ingin ikut dalam pusaran bisnis besar batubara.

Ternyata selama ini investasi asing begitu merajalela. Tidak hanya mengeruk batubara dari Bumi Indonesia, tapi juga menguasai kebutuhan utama pembangunan, yaitu kelistrikan. Sedangkan rakyat kita ditinggalkan begitu saja dengan segala dampak buruknya. Para petani kehilangan lahannya, nelayan hancur ekonominya karena limbah batubara juga mencemari laut kita, juga kita semua menghirup polusinya.

Ternyata selama ini kita telah membayar mahal listrik yang kita konsumsi. Karena dampak dari PLTU batubara yang menjadi sumber listrik itu akan merusak lingkungan kita, udara yang kita hirup, laut indah yang kita jaga, sawah penghasil makanan pokok kita tercemar limbah beracun. Dan dampak buruk ini akan berlangsung lama, akan mewariskan kerusakan alam dan kesehatan yang buruk bagi penerus kita di generasi selanjutnya.

“PRIIIIIIITTTTTT!!!!” terdengar semuanya serempakan membunyikan peluit. Ini adalah simbol, agar pemerintah Jepang segera mengehentikan investasinya dalam pembangunan energi kotor di Indonesia.

Setelah cukup lama terhenti dan bersuaara di depan Kedutaan Besar Jepang, pasukan penyelamat iklim ini kembali melangkahkan kakinya. Lebih dari 3.000 orang menyusun barisan, mereka terdiri dari warga yang terdampak langsung oleh PLTU batubara, juga komunitas-komunitas pendukung peralihan menuju energi bersih. Mereka berasal dari Cirebon, Indramayu, Batang, Jepara, Labuan, Bandung, Sukabumi, dan Semarang.

Kali ini mereka mencoba melakukan aksi global, untuk menyuarakan penghentian penggunaan energi fosil. Aksi ini tidak hanya berlangsung di Indonesia, tapi juga di seluruh dunia. Ya, seantero dunia ingin Bumi ini segera Break Free (bebas lepas) dari energi fosil.

Aksi global dengan tajuk Break Free 2016 ini merupakan respon masyarakat dunia, terhadap perjanjian pemimpin-pemimpin dunia di Paris. Di COP 21 Paris mereka berjanji, akan segera beralih ke penggunaan energi terbarukan. Kini saatnya kita, juga menagih janji pemimpin negara ini untuk menuntaskan kewajibannya dalam membela dan menjungjung kesejahteraan rakyat.

Tak terasa setelah dua kilo lebih berjalan, saya melihat kilau keemasan yang tidak jauh dari keberadaan kami. Monumen Nasional. Kami berjalan mengitari areal Monas, kemudian berhenti tepat di hadapan tempat petinggi negeri ini menikmati kenyamanannya di Istana Negara.

Meski lelah, namun semangat mereka tidak surut. Untuk membangkitkan kembali semangat pasukan iklim ini, Marjinal mencoba menghibur dengan tembang-tembang perjuangannya yang haru. Mereka bernyanyi dengan dibantu peralatan musik yang dialiri listrik dari panel surya.

Pasukan iklim ini kembali menyuarakan keluh kesah mereka karena kampung halaman mereka tercemar dampak buruk PLTU batubara, mereka terus bersuara untuk meminta pemimpin negeri ini segera memberi keputusan untuk beralih ke energi terbarukan. Mereka terus berusaha, berharap pemimpin negeri ini mendengar.

Pemerintah seharusnya menyadari, batubara dari hulu ke hilir tidak pernah memberikan dampak yang baik. Bekas tambang batubara di Kalimantan seringkali ditinggalkan tanpa tanggung jawab. Menyisakan racun yang telah menyebabkan kematian 24 anak akibat tercebur ke lubang bekas tambang. Bahkan hingga digunakan menjadi bahan baku PLTU pun, pencemarannya telah mengancam pangan, udara, dan seluruh aspek pendukung kehidupan kita yang telah dianugerahi oleh alam semesta.

Dampak buruk PLTU batubara tidak hanya mencemari lingkungan sekitarnya. Tapi paparannya telah menjangkau kota-kota tempat kita tinggal. Ingin tahu seberapa buruk kotamu tercemar dampak buruknya? Kamu bisa cek di www.revolusienergi.org dan sadari bahwa polusi dari PLTU batubara bukanlah solusi.