Perkenalkan saya Jurnas, Image Produser di Greenpeace Indonesia, ini adalah cerita pengalaman saya melakukan perjalanan di Kalimantan Tengah saat terjadi bencana besar kebakaran hutan dan lahan. Ini cerita tentang nestapa di tengah bencana, juga ikatan cinta dalam keluarga.
Senin pagi itu (23/09) waktu menunjukkan pukul 9:00, saya sudah berada di atas motor ojek online untuk menuju Rumah Oksigen di Rumah Sakit Umum Doris Sylvanus. Asap hari itu kebetulan cukup pekat karena memang pada malam harinya banyak terdapat kebakaran hutan dan lahan di sekitar kota Palangkaraya, saya sendiri sempat mengabadikan kebakaran tersebut hingga pukul 10 malam.

A silhouette of a house near big fires that burn the surrounded area, in Palangkaraya city, Central Kalimantan. This year’s nearly 2,000 wildfires are burning across Indonesia, this is the worst since 2015. Oficials estimate that the fires have burned more than 800,000 acres. Greenpeace criticized the government for not taking action against the companies tthat set fires to clear land for planting.
Setiba di Rumah Sakit saya bergegas menuju gedung baru yang diperuntukkan sebagai Rumah Oksigen bagi para korban terdampak asap kebakaran hutan dan lahan yang membutuhkan bantuan oksigen. Pagi itu hanya ada satu warga yang tengah mendapatkan oksigen, menurut perawat yang bertugas biasanya banyak pasien yang datang menjelang siang dan sore hari sepulang jam kerja.
Setelah menunggu kurang lebih satu jam, tiba-tiba muncul sepasang suami istri dengan membawa seorang anak perempuan dan seorang bayi laki-laki. Tampak sang ibu dengan wajah cemas menggendong sang bayi masuk. Perawat pun segera mengarahkan sang ibu dan bayinya ke ruang oksigen khusus anak dan bayi, sementara sang ayah mendapatkan oksigen di ruang dewasa.
Derita Rafa di tengah bencana
Saya diperbolehkan mengikuti ibu dan sang bayi, yang ternyata bernama Rafa dan masih berumur 50 hari. Sang ibu menjelaskan sejak semalam rumah mereka terkepung asap pekat dari kebakaran lahan di sekitar rumahnya, dan sang bayi mengalami kesulitan bernafas sejak semalam. Saat mulai dimasukkan selang oksigen ke hidung Rafa, tampaknya oksigen tidak dapat mengalir ke hidung Rafa, maka diputuskan segera membawanya ke ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD).

Rafa, a 50 days old baby, is held by his mother while he receives oxygen treatment as the air is hit by thick haze from forest fires, at the ICU of Doris Sylvanus public hospital, in Palangkaraya city, Central Kalimantan. This year’s nearly 2,000 wildfires are burning across Indonesia. It is the worst year since 2015.
Officials estimate that the fires have burned more than 800,000 acres. Greenpeace criticized the government for not taking action against the companies that set fires to clear land for agriculture purposes.
Di IGD Rafa mendapatkan penanganan dengan uap untuk melancarkan rongga hidung. Rafa yang sejak tadi terpejam matanya, mulai menangis keras saat uap dimasukkan ke mulut dan hidungnya. Lima belas menit kemudian setelah reda tangisnya, Rafa mulai tertidur pulas di pangkuan sang ibu dengan selang oksigen di hidung, akhirnya sang bayi mulai mendapatkan asupan oksigen bersih.
Setelah Rafa tertidur dengan selang oksigen di hidungnya saya mulai menjauh dari keluarga tersebut, dari luar bilik gorden saya menyaksikan dan mengabadikan sang kakak yang berumur lima tahun mulai mencium adiknya.
Anak-anak yang menjadi korbannya
Menyaksikan bagaimana Rafa dan kakaknya membuat saya emosional, mata saya mulai berkaca-kaca melihat peristiwa ini. Saya teringat anak-anak saya di rumah yang kebetulan juga seumuran dengan mereka berdua, saat ini berada jauh dari lokasi bencana asap ini. Saya mulai membayangkan bagaimana perasaan saya bila yang duduk di dalam IGD ini adalah keluarga saya. Bagaimana jika anak-anak saya juga harus menghirup asap beracun ini.
Tidak diragukan lagi, Rafa, beserta ribuan anak lain korban kebakaran sangat rentan terhadap asap kebakaran yang sangat beracun dan berbahaya ini, mungkin sudah berminggu-minggu hingga berbulan-bulan mereka harus menghirup asap beracun ini tanpa bisa mencegahnya.

A woman lies in bed while she gets oxygen treatment at a haze shelter in Palangkaraya city, Central Kalimantan, as the air is hit by thick haze from forest fires.
This year’s nearly 2,000 wildfires are burning across Indonesia. It is the worst year since 2015.
Officials estimate that the fires have burned more than 800,000 acres. Greenpeace criticized the government for not taking action against the companies that set fires to clear land for agriculture purposes.
Anak-anak dan terutama bayi sangat sulit melindungi diri mereka dari paparan asap, karena jarangnya masker untuk anak dan bayi, selama ini yang banyak tersedia hanya masker dewasa. Selain itu, secara biologis anak-anak dan lansia juga merupakan kelompok paling rentan terhadap polutan. Mereka hanya tinggal menunggu waktu sebelum akhirnya semakin parah dan harus ke rumah sakit atau rumah-rumah oksigen guna mendapatkan perawatan.
Sudahi sesak, saatnya kita bertindak!
Perjalanan ini memberi saya pengalaman langsung bagaimana derita Rafa dan keluarganya serta masyarakat Palangkaraya yang harus berjuang keras hanya untuk bisa bernafas. Ini adalah hak asasi dasar seorang manusia.
Tidak seharusnya bencana seperti ini menjadi agenda tahunan, siklus mematikan ini harus segera di-hen-ti-kan!

Smoke rises from burning peatland at a sanctuary reserve area inside the oil palm concession of PT Globalindo Agung Lestari (GAL) in Mantangai, Kapuas district, Central Kalimantan.
PT GAL is under the group of Malaysian company Genting Plantations Berhad.
Bencana kebakaran hutan dan lahan di seluruh wilayah Indonesia tahun ini merupakan yang terburuk setelah bencana katastropik yang terjadi di 2015. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memperkirakan kebakaran telah menghanguskan kurang lebih 328,722 hektar sejak awal 2019 hingga bulan Juli/Agustus, angka ini belum menghitung area yang terbakar bulan September.
Bulan ini Greenpeace Indonesia mempublikasikan analisa peta tentang tidak adanya sanksi hukum dan administrasi serius yang telah diberikan kepada perusahaan-perusahaan dengan area konsesi yang terbakar dari 2015-2018. Hingga saat ini pemerintah tidak pernah mencabut hak konsesi yang dimiliki oleh perusahaan-perusahaan sawit yang terbukti lalai mencegah terjadinya kebakaran hutan tersebut. Pak Jokowi, sudah saatnya bertindak tegas seperti yang bapak sampaikan tahun lalu “Baik yang perorangan baik korporasi semuanya sudah ada tindakan tegas ke sana”!
Selain itu, mari dukung Tim Relawan Cegah Api Greenpeace Indonesia yang saat ini siaga di lapangan untuk bersama-sama masyarakat berusaha mencegah api datang lagi.
>> Dukung Relawan Tim Cegah Api <<
Jurnasyanto Sukarno
Image Producer
Greenpeace Indonesia

Kebakaran hutan tidak hanya mengancam kehidupan manusia, tapi juga mengancam satwa liar asli Indonesia yang terancam punah.
Ikut Beraksi
Diskusi
Save Paru-paru
Efek dr Kebakaran hutan memang sangat menyiksa, bukan cuma daerah tersebut, tp bisa berefek ke daerah lain. Sudah saatnya pemerintah tegas dalam.menindak perorangan atau company yg melakukannya, maka Greenpeace berfungsi membantu membuat pengaduan ke pemerintah siapa dan apa nama company yg bertanggung jawab akan kejadian ini.
Kebakaran sudah menjadi masalah nasional, sudah waktunya pemerintah, aparat dan seluruh rakyat harus mengambil langkah-langkah pencegahan dini kebakaran hutan. Bagi pelaku, supaya diberikan sangsi yg seberat2nya. Semua harus ikut ambil bagian dan kalau bisa disiapkon pos-pos penjagaan disekitar daerah yang rentan kebakaran hutan.. Seharusnya, dalam penegakan hukum tidak ada pilih-pilih, perusahaan korporasi dan perorangan harus mendapatkan sangsi seberat-beratnya. Stop kebakaran dan jangan dianggap sepele sebelum korban berjatuhan. Terima kasih