Pagi itu saya bergegas ke dokter di tengah kabut asap pekat yang menyelimuti Kota Palangkaraya, setelah gelisah semalaman mendengar istri saya batuk-batuk dan anak saya terus keluar masuk kamar kecil. Setelah menunggu hingga satu jam, dokter mendiagnosa anak saya terkena diare sementara istri saya menderita ISPA, penyakit yang sering menjangkit warga di musim asap setiap tahun.

Sedih, kan? Ternyata selain musim hujan dan kemarau, Indonesia pun punya musim asap setiap tahunnya.

Haze in Central Kalimantan. © Ardiles Rante / Greenpeace

Kabut asap di Kalimantan Tengah, 2015. 
Asap dari kebakaran hutan dan lahan mengancam kesehatan jutaan jiwa, diperkirakan total 110.000 orang di Asia Tenggara meninggal dunia karena gangguan pernapasan di tahun 2015.

Ingatan saya kembali menerawang pada tragedi tahun 2015, dimana kabut asap tebal menyelimuti Palangkaraya hampir 4 bulan lamanya. Saya terpaksa mengungsikan keluarga saya. Bayangkan, ribuan keluarga harus hidup dalam kondisi udara yang 5 kali lipat berbahaya dari indeks standar pencemaran udara yang ditetapkan oleh pemerintah. Inilah yang menjadi latar belakang saya beserta 6 wakil warga Palangkaraya yang tergabung dalam gerakan anti asap menggugat pemerintah. Mereka lalai dan abai menangani bencana kebakaran hutan dan asap sejak tahun 1997.

Kami dijamin oleh konstitusi yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar yang menyebutkan bahwa “Setiap orang berhak hidup sejahtera, lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”; Kesejahteraan dan lingkungan keluarga saya beserta keluarga lainnya terancam akibat kebakaran hutan dan lahan yang terjadi terus menerus. Dasar desakan kami jelas dan berlandaskan legal.

Gugatan pertama kami kepada Presiden Joko Widodo, Menteri KLHK, Menteri Pertanian, Menteri ATR/BPN, Menteri Kesehatan, Gubernur Kalimantan Tengah, dan DPRD Kalimantan Tengah dilayangkan tepat sehari sebelum Hari Kemerdekaan Indonesia tahun 2016. Selama proses persidangan yang panjang kami bergelut untuk menyediakan bukti dan saksi yang cukup kredibel untuk memaparkan fakta- fakta atas kejadian kebakaran di tahun 2015, perjuangan kami hampir terbayar dengan keluarnya putusan Pengadilan Negeri Palangkaraya tanggal 22 Maret 2017 yang menyatakan Presiden Republik Indonesia beserta jajarannya telah melakukan perbuatan melawan hukum dan dinyatakan lalai dalam bencana asap akibat kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan pada tahun 2015.

Forest Fires in Pulang Pisau, Central Kalimantan. © Ulet Ifansasti / Greenpeace

Kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan di Tanjung Taruna, Kab. Pulang Pisau, Kalimantan Tengah bulan Juli 2019. Pemerintah Indonesia menetapkan status siaga darurat kebakaran hutan di 6 provinsi, termasuk Kalimantan Tengah.

Putusan pengadilan mengantarkan pemerintah kepada permintaan untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah dan kebijakan dan upaya penegakan hukum yang tegas untuk atasi kebakaran hutan dan lahan serta dampaknya di Kalimantan tengah, termasuk membangun rumah sakit paru dan memberikan layanan bebas-biaya kepada warga yang terkena penyakit terdampak kabut asap. Sampai di sini, terdengar cukup baik. Namun faktanya saya beserta warga Palangkaraya harus bersiap kembali karena pemerintah mengajukan banding atas putusan sidang tingkat pertama. Meskipun akhirnya pengajuan banding pemerintah ditolak, perjuangan kami belum berakhir dan semakin menantang karena pemerintah terus berkelit dan malah mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.

Siap-siap untuk mendengarkan cerita serupa. Hingga 2 tahun berselang, akhirnya perjuangan warga berbuah manis. Mahkamah Agung menolak kasasi Presiden Joko Widodo beserta jajarannya pada 16 Juli 2019. Kami menang dan merasa inilah titik akhirnya. Akhirnya pemerintah harus mengakui kelalaiannya di masa lalu dan harus segera memenuhi tuntutan kami yang sangat mendesak karena rakyat terus terjangkit berbagai masalah kesehatan akibat kabut asap dari kebakaran hutan dan lahan. Cerita lama muncul kembali, pemerintah mengajukan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung. Tampaknya kesejahteraan rakyat tidak ada dalam pikiran petinggi-petinggi negeri ini.

Kebakaran hutan yang berdampak pada warga Palangkaraya, istri, anak saya, dan saya sendiri membuat batin ini bergejolak karena meskipun putusan pengadilan berpihak pada kami namun harapan untuk bebas dari paparan asap masih sekedar angan jika tidak ada upaya dari pemerintah. Tentunya kebakaran hutan dan lahan bukan nasib yang harus dipasrahkan dan terima, melainkan harus diperjuangkan untuk diubah. Itulah semangat kami untuk tidak akan pernah menyerah. 

Forest Fire Smoke in Palangkarya. © Ulet Ifansasti / Greenpeace

Saipin dan keluarganya menggunakan masker saat Hari Raya Idul Adha 2019 di Masjid Darussalam, Palangkaraya akibat kabut asap yang menyelimuti Palangkaraya, Kalimantan Tengah selama berminggu-minggu.

Tentunya, semangat kami akan semakin hebat dengan dukungan sebanyak-banyaknya. Jika kamu belum bergabung, maukah kamu ikut bergabung bersama kami dan mendesak Presiden Joko Widodo beserta staf jajarannya untuk segera mematuhi putusan sidang Mahkamah Agung?

 

Arie Rompas adalah Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia

Tim Cegah Api: Stop Kebakaran Hutan

Kebakaran hutan tidak hanya mengancam kehidupan manusia, tapi juga mengancam satwa liar asli Indonesia yang terancam punah.

Ikut Beraksi