Tuna kaleng merek Pams yang berasal dari tangkapan dengan huhate (pole and line). Pams adalah merek rumah tangga untuk Foodstuffs, salah satu dari dua perusahaan supermarket besar di Selandia Baru. Foodstuffs memperkenalkan tuna hasil tangkapan huhate ke Pams pada tahun 2011 setelah peluncuran kampanye Greenpeace yang mendorong merek tuna kaleng dan pengecer di Selandia Baru untuk beralih ke tuna yang ditangkap secara berkelanjutan.

Sustainably Caught Canned Tuna. © Nigel Marple

Apa yang terlintas dalam pikiran ketika Anda mendengar tuna – ikan yang biasanya dimakan di restoran sushi atau dalam kaleng? Camilan yang cepat dan sehat? Atau mungkin makanan hewan peliharaan?

Asia Tenggara mengkonsumsi banyak ikan tuna kalengan. Orang Filipina menyukai merek seperti Century Tuna, sementara masyarakat Thailand pasti tahu Nautilus. Tetapi mayoritas konsumen tuna di wilayah ini tidak tahu bagaimana tuna ditangkap dan di mana ikan itu ditangkap.

Kini konsumen di Asia Tenggara menjadi lebih sadar akan hak dan tanggung jawab mereka sebagai konsumen. Tetapi dengan kondisi lautan dunia yang kritis – dari pemutihan karang, praktik penangkapan ikan yang tidak berkelanjutan yang membahayakan mamalia laut lainnya, hingga polusi plastik di laut – sudah waktunya bagi semua orang untuk peduli tentang bagaimana sumber daya laut dikelola. Konsumen lokal harus menuntut tuna yang mereka makan bebas dari pelanggaran lingkungan dan sosial.

Di sinilah laporan Greenpeace mengenai peringkat perusahaan pengalengan tuna hadir. Selama hampir tiga tahun sekarang, Greenpeace telah melakukan pemeringkatan perusahaan-perusahaan pengalengan tuna dan merek di Filipina, Indonesia, dan Thailand. Ini bertujuan untuk memberikan informasi dan panduan, tidak hanya untuk perusahaan tuna, tetapi juga untuk konsumen. Ketika masyarakat di Asia Tenggara semakin menyadari isu-isu tentang ketertelusuran, keberlanjutan dan perbudakan di laut, laporan ini memberikan informasi lebih dari yang tertera di label produk.

Sebuah pemandangan bawah laut dari sebuah operasi penangkapan tuna Skipjack yang  sedang berlangsung antara kapal jaring Filipina ‘Vergene’ dan kapal ikan/perahu pemasok Filipina ‘Gene-2’ di kantong perairan internasional laut lepas No1. Kapal jaring menggunakan rumpon merupakan metode penangkapan ikan yang sangat merusak yang menurut Greenpeace harus dilarang secara permanen.

Penangkapan tuna adalah industri yang menguntungkan, yang menghasilkan USD 42 miliar per tahun, dan menyediakan ribuan pekerjaan di sektor penangkapan, pengolahan, dan perdagangan di seluruh dunia. Dengan demikian, industri perikanan telah menjadi begitu kuat sehingga kadang-kadang mereka bertindak seperti di atas hukum dan sesukanya.

Filipina dan Indonesia termasuk di antara lima produsen tuna terbesar di dunia, sementara Thailand adalah pengolah tuna terbesar, semuanya menjual tuna ke merek-merek besar di pasar-pasar utama di dunia.

Masalah utama dalam industri tuna adalah penangkapan ikan anakan untuk Tuna Sirip Kuning (Yellowfin) dan Tuna Mata Besar (Bigeye) – jenis tuna yang mungkin Anda makan sebagai sushi.

Anak ikan tuna Yellowfin dari General Santos dijejerkan untuk diukur menggunakan penggaris sepanjang satu meter. Seekor ikan Yellowfin dewasa biasanya memiliki panjang satu meter. Pada konferensi pers, Greenpeace Filipina mengkonfirmasi bagaimana anak-anak tuna Yellowfin dan tuna Bigeye muda diperdagangkan kurang dari ukuran rata-rata dewasa dan juga di bawah batas berat 500g yang ditetapkan oleh Fisheries Administrative Order (FAO) 226.

Indonesia dan Filipina memiliki tangkapan tertinggi anakan atau bayi-bayi tuna dengan ukuran panjang antara 20 hingga 50 cm. Menangkap anak-anak tuna berdampak buruk bagi populasi ikan untuk tumbuh dan berkembang biak. Tertangkapnya anak-anak ikan ini sangat erat kaitannya dengan penggunaan rumpon yang digunakan oleh kapal jaring – kapal-kapal besar dengan jaring lebar. Jika masalah penangkapan anakan ikan ini tidak ditangani, maka bisa terjadi kurangnya pasokan tuna Bigeye dewasa dan itu akan menimbulkan masalah bagi ekosistem dan industri tuna.

Laporan Greenpeace juga menyoroti masalah “standar ganda” dalam pemasaran merek dan perusahaan pengalengan. Beberapa merek tuna menerapkan aturan ketat bagi pasar luar negeri. Jadi sekaleng tuna yang dijual di Thailand biasanya akan memiliki sedikit informasi (jika ada) tentang tuna jenis apa yang ada di dalam kaleng. Lalu perusahaan yang sama itu juga menjual satu lagi produk tuna yang lebih berkelanjutan, dengan label berbeda yang ditujukan untuk pasar Amerika Serikat. Ketika konsumen di Asia Tenggara mulai memahami bahwa mereka memiliki kekuatan untuk melindungi lautan, standar sumber dan informasi yang sama juga harus berlaku bagi konsumen di pasar domestik.

Setelah tiga tahun terus berkampanye dan melakukan dialog kolaboratif di kawasan ini, kita sekarang memiliki lima perusahaan yang masuk dalam kategori peringkat Hijau, ada peningkatan dari ketika pertama kali Greenpeace memulai peringkat regional dengan nol perusahaan di kategori tersebut. Kita senang bahwa sekarang ada lebih banyak perusahaan menangkap tuna secara berkelanjutan dan itu adalah kabar baik untuk kita dan lautan. Namun demikian, masih banyak pekerjaan yang harus kita lakukan bersama. Bantu kami menjaga para merek melakukan tanggung jawabnya!

Ephraim Batungbacal adalah Koordinator Regional Riset Laut untuk Greenpeace Asia Tenggara, yang berbasis di Manila.