Waktu menunjukkan angka 3:30 pagi ketika Ride, Lurah Desa Margasari, terbangun. 
Ia memang biasa bangun dinihari untuk melaksanakan Shalat Subuh. Tetapi kali ini, ia terbangun karena beberapa warga melaporkan kejadian tidak biasa di kampung. Ada genangan minyak merayap masuk di bawah rumah-rumah mereka.
Sebagian rumah-rumah di Desa Margasari memang berada di atas air.  Memang, desa seluas 50,9 hektar ini, lebih dari setengahnya di bangun di atas permukaan air laut Teluk Balikpapan, Kalimantan Timur, Indonesia.

Sebaran minyak semakin banyak dan pekat. Minyak itu berasal dari pipa Pertamina Refinery Unit V, yang berada 25 meter di bawah permukaan laut. Ride bergerak cepat. Prioritas utamanya adalah menenangkan warga yang mulai panik, dan memperingatkan warga untuk tidak melakukan aktivitas yang berkaitan dengan api. 
“Saya menelepon Babinsa, Babinkamtibmas, juga berkoordinasi dengan Kapolsek dan Danramil, mohon dibantu menenangkan warga dan melakukan himbauan. Jangan dulu melakukan kegiatan yang berkaitan dengan api, misalnya merokok, atau seperti kebiasaan banyak warga di pagi hari membakar ikan, dan sebagainya,” Ride menjelaskan.
Pagi itu semua orang bekerja sama. Terutama membersihkan sampah-sampah penuh minyak yang tersangkut di bawah rumah, di hutan mangrove, dan lain-lain.
Sekitar pukul 10.30 pagi, mereka punya waktu untuk istirahat dan sarapan. Baru saja mengambil nafas, Ride dikejutkan oleh beberapa warga yang berlarian menuju ke arah mereka.
“Pak Lurah, Pak Lurah, itu ada api di laut.”
Berlarian menuju titik terdekat ke arah laut, mereka melihat 400 meter dari pemukiman terdekat, di tengah laut api sudah berkobar. Asapnya membumbung tinggi, dan terlihat api terus menyebar ke mana-mana.

400 meter bukan jarak yang jauh. Tidak heran jika masyarakat khawatir atas keselamatan keluarganya.
“Apakah kita harus pergi dari sini, pak Lurah?”
“Jangan dulu,” tegas Ride. Karena beruntung, saat itu air sedang surut menjauhi pemukiman mereka. Dan beruntung juga, api bisa dipadamkan beberapa jam kemudian.
Tetapi tidak demikian bagi penduduk yang sedang ada di laut, di sekitar kebakaran itu. Kawasan ini memang kawasan sibuk. Ada beberapa kapal nelayan bahkan kapal kargo yang sedang ada di sana.
Seperti sebuah kapal kargo batubara (Kapal Ever Judger) yang tidak bisa menghindari api, puluhan awak kapalnya langsung berloncatan ke laut menyelamatkan diri. Demikian juga para nelayan. Malang, tidak semua orang berhasil menyelamatkan diri. Pada hari keempat (3 April), tercatat akhirnya lima orang meninggal dunia akibat peristiwa ini. 
Padamnya api bukan berarti padamnya masalah. Masalah terbesar yang dibawa tumpahan minyak ini tentu saja adalah masalah kesehatan. “Bau minyak terasa sangat menyengat sejak hari pertama.”
Ride kemudian menjenguk Puskesmas, dan di sana pasien sudah berjubel. Dari berbagai usia, pria maupun wanita. Menurut dokter, keluhan terbanyak adalah sesak nafas atau Ispa (infeksi saluran pernafasan atas).
“Sekitar 1250 keluarga yang terpapar oleh dampak tumpahan minyak ini, karena berada tepat di atas air,” jelasnya.
Tumpahan minyak memang bukan perkara sepele. Menurut Hilda Meutia, peneliti dan ahli mikrobiologi, tidak hanya dampak langsung seperti yang terjadi sesaat setelah peristiwa ini, tetapi juga membawa resiko dampak akumulasi jangka panjang bagi kesehatan manusia dan juga tercemarnya ekosistem laut dan pantai.

 
“Tumpahan minyak berkontribusi signifikan pada kandungan logam berat dan senyawa  PAH (Polycyclic Aromatic Hydrocarbon) yang bersifat toksik dan karsinogenik. Pada sebuah studi kompilasi kejadian tumpahan minyak di berbagai belahan dunia menunjukkan tercemarnya ekosistem laut dan pantai dengan berbagai jenis logam berat beberapa diantaranya Cd (kadmium), Pb (timbal), V(Vanadium), Ni (Nikel),” jelas Hilda.
“Paparan langsung masyarakat pada air tercemar menyebabkan  dampak langsung seperti gatal pada kulit. Namun lebih lanjut logam berat juga dikenal memiliki dampak akumulasi jangka panjang bagi kesehatan manusia.  Sebagai contoh, Timbal (Pb) dapat menyebabkan gangguan imunitas, repoduksi, sistem syaraf. Kadmium (Cd) merupakan materi karsinogenik, paparan pada logam ini memicu mual, muntah, sakit kepala dan lambung,” imbuhnya.
Saya berkunjung ke Desa Margasari beberapa hari setelah kejadian. Memang, saat saya tiba genangan minyak tidak lagi pekat dan bau menyengat sudah pergi. Tetapi bukan berarti dampaknya juga sudah pergi. Menurut Hilda, “dampak tumpahan minyak akan dialami tahunan bahkan dapat berakhir dengan kerusakan permanen.”
Juga, saat saya tiba nelayan-nelayan masih belum bisa melaut. Dan masih ada juga kerusakan-kerusakan lain, misalnya pada hutan Mangrove yang selama ini juga menjadi sumber mata pencaharian serta paru-paru bagi Desa Margasari. Simak laporan berikutnya mengenai hal ini di artikel berjudul: “Pernahkah Kamu Melihat Mangrove Berwarna Hitam”