Ini bukan saatnya kita tutup mata dan telinga lagi. Terlalu naif menyangkal: Jakarta saat ini terancam oleh sampah masyarakatnya sendiri!

Jakarta sebagai kota berpenduduk sebanyak  lebih dari 10 juta jiwa dan selalu bertambah setiap tahunnya, tentu akan menghasilkan sampah yang jumlahnya lebih banyak lagi jika kesadaran dan kerjasama antara pemerintah, produsen dan masyarakatnya tidak terbangun.

Saat ini sekitar 6.500-7.000 ton sampah dihasilkan di Jakarta per harinya, atau sekitar 4% dari total timbunan sampah nasional. Berdasarkan data Pemerintah DKI Jakarta tahun 2016, komposisi sampah di tahun 2011 sebanyak 14.02% adalah sampah plastik.

Melihat Jakarta darurat sampah plastik, 16 September 2017 lalu Greenpeace Indonesia dan Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) bersama relawan dan komunitas peduli lingkungan melakukan audit sampah plastik di Pulau Bokor, Kepulauan Seribu.

Tahun 2016 mereka juga melalukan bersih pantai di 3 pulau di Kepulauan Seribu; Pulau Air, Pulau Karang Congkak, dan Pulau Bokor. Kenapa audit ini hanya fokus di pulau? Karena sampah yang tiba di pulau-pulau tersebut dapat dipastikan sebagai bukti sampah yang sebelumnya telah “terombang-ambing” di laut hingga akhirnya terdampar di pulau.

Kegiatan tersebut adalah bagian dari gerakan global #BreakFreeFromPlastic dan bertujuan untuk memberikan penyadartahuan kepada masyarakat mengenai dampak nyata dari konsumsi berlebih plastik dan kemasan sekali pakai.

Minggu (8 Oktober 2017), di Ibis Budget Hotel, Menteng, Jakarta, hasil audit sampah di pulau-pulau tersebut dipublikasikan dengan tujuan membuka mata publik dan mendesak pemerintah untuk mempercepat efektifitas penanganan pengelolaan sampah nasional dan daerah.

Sebenarnya sudah ada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Kebijakan ini mengedepankan strategi pengurangan timbulan sampah dan penanganan sampah yang sulit terurai oleh alam, seperti plastik, dengan mengamanatkan secara substantif pentingnya perluasan tanggung jawab produsen (Extended Producers Responsibility/ERP). Namun sayangnya hingga kini rasanya pemerintah kurang bijak menerapkannya.

Bertepatan dengan publikasi audit sampah di Kepulauan Seribu, di hari yang sama juga digelar Clean Up Jakarta Day untuk terus meningkatkan kesadaran masyarakat agar tidak membuang sampah sembarangan.

Peluncuran hasil audit sampah #BreakFreeFromPlastic ini menghadirkan pembicara Arifsyah Nasution (Juru kampanye Laut Greenpeace), Rahyang Nusantara (Koordinator Nasional Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik), Luthfi Rofiana (Ketua Tim Riset Relawan Greenpeace Indonesia), Yusen Hardiman (Kasudin Suku Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Administrasi Kep. Seribu, Provinsi DKI Jakarta), dan E.P Fitratunnisa (Kepala Bidang Tata Lingkungan & Kebersihan Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta).

Disampaikan oleh Luthfi, kategori sampah plastik termasuk kemasan dan botol plastik paling mendominasi di Pulau Bokor. Sampah-sampah tersebut tentu datang dari berbagai penjuru dan berbagai merek. Adapun merek-merek yang paling banyak ditemukan di Pulau Bokor berasal dari beberapa perusahaan diantaranya: Unilever, Wings, Indofood, Danone, dan Orang Tua.

Menurut Rahyang, produsen memiliki peran yang sangat vital untuk bertanggung jawab mengambil tindakan atas sampah pasca konsumsi produk mereka. Salah satunya adalah dengan mendesain ulang kemasan sehingga memiliki nilai daur ulang yang tinggi, juga menarik kembali kemasan-kemasan pasca konsumsi untuk didaur ulang. Selain produsen, pemerintah juga harus mendorong dunia usaha melakukan perubahan tersebut.

Disampaikan oleh Yusen, ternyata sampah-sampah yang menumpuk di Pulau Bokor dan kepulauan lain ini tidak hanya datang dari pariwisata dan Jakarta, tapi dari sampah rumah tangga kiriman dari Bogor, Bekasi, dan juga Tangerang. Ada 13 sungai di Jabodetabek yang jadi tempat bermula sampah rumah tangga hingga akhirnya terdampar ke Kepulauan Seribu.

Di momen penting ini, hadir pula pihak produsen dari Danone dan Nestle. Melihat urgensi pengelolaan sampah plastik, mereka menyampaikan telah mencoba untuk bertindak meskipun masih belum optimal, seperti mengusahakan pendekatan 3R (Reduce, Reuse & Recycle) dan mengedukasi pengelolaan sampah sejak dini di berbagai sekolah. Semoga pihak produsen akan semakin inisiatif untuk komitmen mengelola sampah pra dan pasca konsumsi.

Lalu apakah ini hanya PR untuk pemerintah dan produsen? Tentu masyarakat juga berperan dalam penanganan sampah plastik. Kita sebagai bagian dari masyarakat perlu lebih sadar mengurangi konsumsi plastik dalam kegiatan sehari-hari. Disamping itu, menurut Arifsyah, pemerintah sebagai pengambil kebijakan menjadi faktor penentu untuk mengendalikan pencemaran plastik dan menciptakan sistem konsumsi yang bertanggung jawab.

Pengurangan konsumsi plastik tentu bukan pekerjaan yang mudah, tapi bukan tidak mungkin untuk dilakukan. Hal yang paling mudah untuk kita lakukan adalah dengan mengurangi pemakaian plastik, yaitu dengan membawa tas belanja, botol air minum (tumbler), dan wadah makanan sendiri saat beraktivitas sehari-hari.

Mari dukung pemerintah untuk menegakkan kebijakan perluasan tanggung jawab produsen, dan jangan menunda lagi untuk mengurangi konsumsi plastikmu!

Jika dulu kita bisa hidup tanpa plastik, ke depannya pasti kita bisa #BreakFreeFromPlastic!