Dukungan bank-bank internasional untuk industri batubara terus menurun. Lebih dari 30 bank internasional di seluruh dunia telah memberi isyarat untuk berkomitmen mengurangi bahkan sepenuhnya menghentikan pemberian pinjaman kepada perusahaan-perusahaan yang terkait dengan batubara. Penurunan pinjaman ke industri batubara ini akan menjadi tantangan terbesar bagi perekonomian Indonesia yang masih mengandalkan batubara sebagai penyokong pertumbuhan ekonomi.

Tahun ini, bank-bank terbesar di Jerman, Prancis dan Swiss (Deutsche Bank, BNP Paribas, Credit Suisse, UBS) telah mengeluarkan kebijakan berupa pembatasan pinjaman kepada industri batubara. Dari menghentikan semua pembiayaan ke proyek listrik berbasis batubara (BNP Paribas) hingga mengurangi eksposur mereka terhadap perusahaan tambang batubara (Deutsche Bank), institusi perbankan terkemuka telah memilih untuk menjaga komitmen iklim mereka setelah Perjanjian Paris[1] dengan mengubah cara mereka bekerja dengan industri batubara.

Ini memiliki implikasi yang signifikan bagi peta jalan energi Indonesia. Bank-bank Prancis seperti BNP Paribas dan Credit Agricole awalnya masuk dalam daftar kreditur untuk proyek pembangkit listrik tenaga batubara seperti PLTU Cirebon 2 x 1000 MW . Pada bulan Januari lalu, mereka membatalkan dukungannya untuk proyek batubara ini, sehingga menciptakan hambatan pendanaan baru dan penundaan pembangunannya.

Bank-bank internasional melakukan ini karena mereka semakin sadar akan risiko finansial ketika berinvestasi dalam proyek-proyek batubara, dan tahu bahwa mereka akan menghadapi tantangan yang terus-menerus dari masyarakat setempat yang terdampak langsung oleh proyek-proyek batubara tersebut, yang juga didukung oleh kelompok-kelompok  lingkungan yang peduli terhadap kehancuran alam yang diakibatkan oleh batubara. 

Pada konferensi Bank of England tentang perubahan iklim tahun lalu, tiga risiko utama telah dibahas: risiko fisik (timbul dari bahaya terkait iklim), risiko transisi (mislokasi ekonomi dan kerugian finansial dari transisi yang tidak teratur ke ekonomi rendah karbon ) dan risiko kewajiban (kewajiban terhadap penyedia asuransi).[2] Ketiga risiko ini sangat akut di industri batubara karena batubara merupakan bahan bakar yang paling padat karbon. Meskipun pembangkit listrik berbahan bakar batubara sebesar 41% dari produksi energi dunia, namun mereka bertanggung jawab atas lebih dari 70% emisi gas rumah kaca sektor energi.[3]

Pergeseran bank-bank internasional dari pembiayaan batubara itu berarti rencana ekspansi pembangkit listrik tenaga batubara Indonesia mau tidak mau harus dibiayai oleh investor yang lebih kecil. Belakangan ini yang kami lihat adalah sebagian besar rencana proyek pembangkit listrik batubara Indonesia disokong oleh bank-bank Jepang atau China.

Mengapa investor Jepang dan China mau mengucurkan uang mereka ke batubara di saat investor lainnya menarik keluar uang mereka?

Jawaban yang sederhana adalah bahwa China dan Jepang ingin membangun bisnis ekspor mereka untuk perusahaan domestik dan mempromosikan agenda pertumbuhan domestik mereka, dengan mengabaikan dampak terhadap iklim. China, yang telah berkomitmen untuk mengurangi penggunaan batubara untuk pembangkit listrik karena tingkat polusi udara di kota-kotanya, membutuhkan sebuah rumah baru bagi perusahaan konstruksi pembangkit batubara. Jepang, yang populasinya sedang menurun, juga mencari lebih banyak bisnis di luar negeri untuk perusahaan energinya. 

Kita telah melihat, tidak hanya China yang menderita oleh polusi udara, tetapi polusi udara juga telah membuat India mengambil langkah serius beralih dari sumber energi terkotor di dunia ini menuju ke pilihan energi bersih, karena pemerintah ingin menyelamatkan kesehatan rakyatnya.

Ketergantungan Indonesia pada kekuatan batubara untuk pertumbuhan ekonomi menandakan ketergantungan besar pada kedua negara tersebut dan institusi keuangan mereka untuk masa depan kita.

Tidak harusnya seperti ini. Pada tahun 2016, hampir USD 300 miliar investasi baru di energi terbarukan di seluruh dunia. Jelas bahwa investor internasional bersedia dan mampu mendukung proyek energi terbarukan.[4] Ini bukan hanya dikarenakan alasan lingkungan; ini karena energi terbarukan masuk akal secara bisnis.

“Risikonya kecil, sedikit tanggung jawab dan lebih cepat untuk membangun energi terbarukan daripada hal lainnya. Dan energi terbarukan adalah cara yang sangat kompetitif untuk menghasilkan listrik.” Itulah pandangan direktur utama perusahaan pembangkit terbesar di Eropa, Enel, yang menginvestasikan enam setengah kali lebih banyak uang untuk energi terbarukan daripada operasi bahan bakar fosil yang ada.

Bisnis yang bagus di Eropa seharusnya menjadi bisnis yang bagus di Indonesia juga. Itulah sebabnya Engie, raksasa energi Eropa lainnya, baru-baru ini sepakat untuk bermitra dengan perusahaan-perusahaan Indonesia dan menginvestasikan hingga USD 1 miliar untuk proyek-proyek energi terbarukan di Indonesia.[5]

Jika perusahaan seperti Engie bersedia menginvestasikan dana dalam jumlah besar di energi terbarukan di Indonesia tanpa jaminan dan insentif finansial yang didapat batubara, maka bayangkan akan ada banjir investor jika kita benar-benar memiliki regulasi yang mempromosikan energi terbarukan daripada batubara?

Dan sebagaimana telah dibuktikan di Amerika, Jerman, China, India, bahkan negara tetangga kita Thailand, industri solar mereka pun telah berhasil melakukan penyerapan  ribuan tenaga kerja.


[1] https://www.theguardian.com/business/2017/feb/01/deutsche-bank-pulls-out-of-coal-projects-to-meet-paris-climate-pledge

[2] http://www.bankofengland.co.uk/research/Pages/conferences/1116.aspx

[3] 2010 data (Source: World Bank)

[4] https://about.bnef.com/clean-energy-investment/