Nama saya Lara. Lengkapnya Larasati Wido Matovani. Lahir di kota pelabuhan Dumai, Provinsi Riau, 25 tahun lalu. Di usia lima tahun, sebagaimana diceritakan orangtua saya, bahwa langit Kota Dumai waktu itu memerah. Berminggu-minggu sinar matahari tertutup kabut asap. Saya tidak tahu apa yang terjadi. Yang saya ingat waktu itu ibu meminta saya untuk tidak keluar rumah. Hanya satu kali dalam seminggu ibu pergi ke luar rumah untuk membeli kebutuhan makanan untuk tujuh hari ke depan.
Baru di usia 20 tahun saya paham bahwa peristiwa itu adalah kebakaran hutan dan lahan gambut. Kerugian negara pada saat kebakaran hutan besar tahun 1997 itu melebihi dari nilai kerugian akibat Tsunami Aceh 2004.
Sekolah pun ditutup akibat kebakaran hutan. Ini berlangsung setiap tahun, dan kini menjadi dua kali dalam setahun. Kabut asap tahun 2015 menjadi yang paling parah dampaknya pada pendidikan. Hampir satu bulan sekolah ditutup.

Saya pindah ke Pekanbaru untuk kuliah tahun xx. Meski jaraknya 177 kilometer dari kota Dumai, sepertinya kabut asap terus mengikuti saya. Dan kembali, saya hanya bisa berdiam diri di rumah walau saya sadar asap tetap masuk melewati ventilasi rumah. Setiap kali asap datang mengepung kota tempat saya tinggal, setiap itu juga saya khawatir.
Namun kini, setelah saya tahu apa sesungguhnya kebakaran hutan gambut dan bagaimana itu terjadi, kekhawatiran malah berubah jadi keberanian. Kebakaran hutan dan gambut terjadi karena penggundulan dan pengeringan air gambut melalui kanal-kanal yang dibangun.
Jika api gambut sudah besar, tidak ada lagi yang dilakukan untuk memadamkannya. Alaminya gambut itu basah karena terbentuk dari endapan fosil organik selama jutaan tahun. Kedalamannya bisa lebih dari tiga meter. Namun gambut dikeringkan untuk ditanam sawit dan akasia.
Asap beracun yang diproduksi kebakaran hutan dan gambut menurut penelitian Universitas Harvard dan Universitas Colombia Amerika Serikat diduga telah menyebabkan 100 ribu kematian dini.  Saya berpikir untuk ikut andil menghentikannya. Bencana yang dibuat manusia ini harus segera dicegah. Ketakutan itu berubah menjadi keberanian.
Kini saya bergabung bersama Tim Cegah Api Greenpeace. Kami adalah kumpulan orang-orang yang terpapar asap bertahun-tahun. Jumlah kami 25 orang. Rata-rata usia kami masih muda. Namun ada juga ada seorang bapak dari dua anak dari Kalimantan Barat yang juga korban paparan asap.  Kami diberi pengetahuan tentang kebakaran hutan oleh Greenpeace. Kami dilatih oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah Riau untuk memadamkan api. Kami juga dibekali bagaimana melakukan pertolongan pertama pada kecelakaan, menangani korban dari kebakaran. Ilmu ini diberikan oleh Palang Merah Indonesia Pekanbaru.
Pada Oktober lalu, kami ditugaskan memadamkan api. Awalnya kami ragu ada kebakaran hutan di saat musim penghujan. Melalui situs Kepo Hutan Greenpeace kami memantau informasi titik panas. Setelah patroli di lapangan, ternyata ada titik panas yang tidak terdeteksi oleh satelit padahal kebakaran tengah berlangsung berhari-hari.
Kami tahu bahwa api gambut bisa bertahan di kedalaman gambut yang kering. Temuan kami lainnya adalah lokasi yang terbakar ada pemiliknya, namun tidak ada penegakan hukum. Sementara di lokasi lainnya justru tidak diketahui milik siapa. Meskipun kami sudah mengkonfirmasi kepemilikan lahan ke aparat pemerintah setempat. Tidak ada yang bisa dimintai tanggungjawab. Selama 20 hari penugasan, kami berhasil memadamkan kebakaran hutan dan lahan gambut di Rokan Hilir. Itu yang membuat saya sangat senang.

Asap kini bukan lagi sesuatu yang menakutkan bagi saya. Asap justru membuat saya berani karena kalau bukan saya, lalu siapa? Kalau bukan sekarang, kapan?

Saya tahu, pemerintah pun telah bergerak. Tapi tampaknya belum efektif. Manusia yang menjadi pemicu utama kebakaran hutan kini kian tak terkendali. Mereka haus akan harta yang berlimpah atas hasil perusakan hutan.

Mari gabung bersama kami di hutantanpaapi.org untuk melakukan pencegahan agar impian puluhan juta masyarakat di Kalimantan dan Sumatera bisa hidup tanpa asap beracun. Jangan biarkan kami sendiri, kita bisa karena bersama!  

Larasati Wido Matovani
Volunteer Greenpeace
Anggota Tim Cegah Api